Kita tahu, sebelum menginjak usia lima belas tahun, saat itu Al-Ghazali sudah menguasai bahasa dan tata bahasa Arab, Alqur’an, hadis, fikih, serta aspek-aspek pemikiran dan puisi sufi. Selanjutnya, dia melakukan studi rinci mengenai fikih di bawah bimbingan Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Radhkani di Thus dan Abul Qasim Ismail bin Mas’ada Al-Ismaili, seorang ahli terkemuka dalam bidang ini dalam seminar Jurjan.
Berkat ketekunan dan kerajinannya, pada usia tujuh belas tahun, Al-Ghazali sudah berhasil menyelesaikan pendidikannya dalam bidang fikih dan pulang ke Thus untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.
Menjelang usia dua puluhan, Al-Ghazali berangkat menuju Naishabur untuk mengejar pelajaran lanjutan dalam ilmu-ilmu Keislaman. Dia mempelajari teologi Islam dan fikih dibawah bimbingan “Imam Al-Haramain” Abdul Ma’ali Abdul Malik Al-Juwaini (w. 478 H/1086 M).
Al-Juwaini mengajar dimadrasah Nizamiyyah yang terkenal di Naishabur dan Al-Ghazali menjadi salah seorang murid favoritnya. Al-Juwaini sangat terkesan dengan kecemerlangan intelektual dan kemampuan analisis Al-Ghazali, sehingga ia mencalonkan Al-Ghazali sebagai asisten pengajarnya.
Al-Ghazali berguru kepada Imam Al-Juwaini hingga menguasai ilmu manthiq, kalam, fikih, ushul fikih, filsafat, tasawuf, dan retorika perdebatan. Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut, hingga ia mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya.
Itu sebabnya, karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan “bahr mu’riq” (lautan yang menghanyutkan). Dengan kata lain, kecerdasan dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali membuatnya menjadi populer. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam-diam di hati Al-Juwaini timbul rasa iri.
Tak berhenti di sini, begitu Al-Ghazali mulai mengajarkan fikih, kalam dan hadis di Nizamiyyah, nama dan ketenarannya mulai tersebar di seluruh wilayah Islam. Sebagai pelindungnya, Nizam Al-Mulk secara rutin mengkonsultasikan semua isu agama dan politik penting saat itu.
Kuliah-kuliah harian Al-Ghazali di Nizamiyyah menjadi begitu terkenal sampai-sampai dihadiri oleh tiga ratus orang murid dalam sekali perkuliahannya. Namun, ketika Al-Ghazali mengira telah mencapai semuanya dalam usia yang begitu muda, tiba-tiba dia merasa dirinya terdampar di tengah-tengah krisis intelektual.
Nah, pada titik inilah, Al-Ghazali meragukan semua ilmu yang telah dimilikinya. Keraguan itu mengalami titik kulminasinya yang menyebabkan sang hujjatul Islam itu tidak mampu lagi mengajar, tidak mampu lagi menyuguhkan argumentasi naqliah dan aqliah. Bahkan, begitu akutnya sampai-sampai ia nyaris tidak bisa lagi berbicara.
Dia mengalami gangguan syaraf serius yang sangat memengaruhi kesehatan fisiknya. Dalam hal ini, Al-Ghazali mendambakan wawasan Ketuhanan yang bersifat pasti melalui pengalaman intuitif secara langsung, bukan hanya berdasarkan dalil-dalil naqli bayaniyah dan argumen-argumen spekulatif-filosofis.
Akhirnya, setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M, atau pada Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah, dengan banyak meninggalkan karya tulis.
Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Ghazali menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang yang sangat produktif. Dalam seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasihat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naishabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.
Lalu bagaimana dengan tasawufnya Al-Ghazali?
Kata Gus Ulil, dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Alqur’an dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah. Al-Ghazali menjauhkan tasawufnya dari paham Ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Dalam kitabnya, Al-Ghazali berpendapat bahwa, sosok sufi adalah “Dia yg menempuh jalan kepada Allah SWT, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik. Jalan mereka adalah jalan yg paling benar. Moral mereka adalah yg paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin diambil dari cahaya kenabian.”
Sebagian pemikir ada yang mengatakan bahwa Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Karena itu, ia menyodorkan paham baru tentang “makrifah”, yaitu pendekatan diri kepada Allah SWT (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengannya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal. Sementara buahnya adalah moralitas.
Gus Ulil mengatakan, perjalanan menuju tasawuf menurut Al-Ghazali diawali dengan penyucian hati (tathir al-qalb), serta melepaskan diri dari ketergantungan kepada selain Allah SWT. Iya, hati memang perlu disucikan karena ia adalah media untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin juga Al-Ghazali mengatakan bahwa hati memiliki dua pintu; menghadap ke luar, dan menghadap ke dalam. Pintu yang menghadap ke dunia luar dapat menangkap pengetahuan melalui panca indera. Sementara pintu yang menghadap ke dalam, akan menangkap pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari alam ghaib. Inilah yang disebut Al-Ghazali sebagai makrifah.
Gus Ulil juga mengatakan, Al-Ghazali menganggap makrifah merupakan tujuan akhir yang harus dicapai manusia sekaligus merupakan kesempurnaan tertinggi yang mengandung kebahagiaan hakiki. Makrifah diartikan Al-Ghazali sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan. Lebih dari itu, bahwa makrifah merupakan ilmu yang meyakinkan, sehingga dengannya dapat diketahui rahasia Allah dan peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada.
Jalan menuju maqam makrifat
Proses menuju makrifah harus melalui beberapa tahapan, yang dalam terminologi sufisme dikenal dengan sebutan al-maqamat. Beberapa tahapan atau al-maqamat yang dimaksud adalah taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, dan cinta.
Pertama, taubat. Kata Gus Ulil, dalam pandangan Al-Ghazali, taubat secara ideal harus mencakup kesadaran terhadap bahaya dosa yang menimbulkan penyesalan dan segera diikuti dengan tindakan-tindakan konkret. Artinya, harus meninggalkan semua perbuatan dosa serta mengisinya dengan berbagai kebajikan sebagai penggantinya. Bahkan, lebih jauh Al-Ghazali mengatakan, secara hakiki kita harus bertobat dalam setiap keadaan.
Kedua, sabar. Menurut Al-Ghazali sabar adalah menangnya penggerak agama (ba’itsud din) atas penggerak hawa nafsu (ba’itsul hawa) yang berada di dalam diri kita. Sabar juga merupakan perbuatan kebajikan yang bersumber dari keyakinan bahwa perbuatan maksiat membawa mudharat, dan perbuatan taat membawa manfaat. Tidak mungkin meninggalkan maksiat dan rajin melakukan ketaatan kecuali dengan kesabaran, yakni menggunakan penggerak agama dalam menundukkan penggerak hawa nafsu.
Ketiga, kefakiran. Bagi Al-Ghazali, kefakiran diartikan sebagai kekurangan harta yang dibutuhkan. Menurutnya, banyak harta (kaya) sering mendorong manusia untuk melakukan kejahatan, atau paling tidak akan membuatnya tertambat kepada sesuatu selain Allah. Ia juga mengaitkan kefakiran dengan ilmu, pembawaan, dan amal.
Keempat, zuhud. Secara umum, zuhud diartikan sebagai pengabaian dunia demi kepentingan akhirat. Dunia yang diabaikan itu terutama berkaitan dengan hal-hal yang dibolehkan syariat (mubahat).
Kelima, tawakkal. Secara etimologis, tawakkal berasal dari kata wakala yakilu yang berarti “mewakilkan”, dan dari kata ini juga terbentuk kata wakil yang bisa diterjemahkan dengan “pelindung”. Menjadikan Allah SWT sebagai wakil (mewakilkan kepada Allah), dengan makna bahwa menyerahkan segala persoalan kepadanya.
Keenam, cinta dan kecintaan. Cinta (mahabbah) merupakan sifat terpuji yang tertinggi bagi seorang sufi sebelum mencapai ma’rifah. Paling tidak kata Al-Ghazali, setiap orang wajib mencintai Allah lebih dari apapun yang lain. Mencintai disini terutama berkaitan dengan ketaatan dan kepatuhan manusia kepadanya.
Al-Ghazali menilai bahwa makrifah dalam artian mengenal Allah secara hakiki baru akan didapatkan setelah seseorang mencintai Allah sepenuhnya. Klaim bahwa Allah merupakan puncak tujuan cinta seorang hamba bukan hanya monopoli kaum sufi saja, melainkan juga setiap manusia harus memprioritaskan Allah dalam kecintaannya.
Syahdan. Cara untuk merealisasikan itu semua dalam bertasawuf menurut Al-Ghazali diantaranya adalah dengan cara takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan tajalli (tersingkapnya tabir). Wallahu a’lam bisshawaab.
1 Comment