Salah satu klaim pandangan keagamaan (akidah) Asy’ariyah mengenai tindakan-tindakan Tuhan adalah bahwa Tuhan tidak wajib menciptakan makhluk. Namun, ketika Tuhan memutuskan menciptakan makhluk, maka Tuhan boleh-boleh saja tidak memberikan beban moral atau kewajiban (taklif) kepada makhluknya. Semuanya tidak merupakan sesuatu yang harus dilakukan oleh Tuhan. Inilah posisi akidah Asy’ariyah sebagai pegangan umat Islam, kata Gus Ulil.
Sekali lagi, Tuhan tidak wajib menciptakan keberadaan manusia. Dengan kata lain ada dan tidaknya manusia boleh-boleh saja. Demikian juga dikirimi agama, rasul dan kitab suci oleh Tuhan kepadanya boleh-boleh saja.
Namun, pada kenyataannya, Tuhan mengirimkan kitab suci, nabi dan rasulnya untuk membawa pesan moral yang wajib dilakukan oleh manusia, maka hal ini tidaklah merupakan sesuatu yang wajib dilakukan Tuhan. Sekali lagi bukan kewajiban Tuhan, melainkan semuanya murni karena kemurahan dan rasa kasih sayang Tuhan kepada makhluknya.
Alih-alih bukan kewajiban Tuhan, sekelompok dari orang-orang Muktazilah berkata bahwa Tuhan wajib menciptakan makhluk dan memberikan beban moral atau kewajiban. Kenapa Tuhan wajib meciptakan makhluk? Karena menciptakan makhluk itu adalah kebaikan. Tak hanya itu, Tuhan wajib juga mengirimkan rasul dan nabi untuk membawa agama.
Memang, sekilas pendapat Muktazilah masuk akal. Akan tetapi, kata Gus Ulil, Muktazilah kurang beradab. Karena itu, lanjut Gus Ulil, Asy’ariyah dalam hal ini pandangannya lebih tepat dan sesuai dengan adab atau tatakrama kepada Tuhan. Masa kita mewajibkan Tuhan melakukan sesuatu? Tentu saja tindakan seperti ini tidak sopan, karena Tuhan maha mutlak.
Bukan berarti pandangan ini lebih berpihak kepada Tuhan dan mengabaikan manusia; terlalu teosentris, sebuah pandangan yang menempatkan Tuhan sebagai sumber tertinggi dalam ajaran moral dan etika bagi manusia. Tidak kemudian antroposentris, sebuah paham yang menganggap bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta dan memiliki nilai tertinggi.
Ini seperti kritiknya Hassan Hanafi, pemikir muslim rasional asal Mesir, mengkritik pandangan ketuhanan Asy’ariyah yang terlalu “Tuhan sentris” tidak “manusia sentris”. Kata Gus Ulil, memang pokok pembahasannya Tuhan. Akan tetapi, yang namanya akidah maka sudah pasti harus Tuhan sentris, karena akidah selalu berbicara keyakinan kepada Tuhan.
Jika kita mengatakan Tuhan tidak wajib melakukan ini dan itu, maka bukan berarti mengalahkan manusia. Tidak. Di mana letak mengalahkannya? Sementara, jika kita mengatakan bahwa Tuhan boleh mencipta dan tidak, lalu setelah mencipta Tuhan boleh menurunkan hukum moral atau tidak, bukan berarti Tuhan bertindak semena-mena. Tidak.
Sekali tidak. Karena dalam keyakinan Asy’ariyah Tuhan dipahami dan diyakini sebagai yang maha penyayang dan adil (rahman dan rahim). Itu sebabnya, karena kesayangannya, Tuhan mengirim rasul dan hukum moral kepada makhluknya untuk menata hidup. Akan tetapi hal ini bukan kewajiban Tuhan.
Pertanyaannya mengapa tindakan Tuhan bersifat serba boleh? Misalnya Anda mengatakan Tuhan wajib menciptakan manusia itu artinya apa? Apakah Jika Tuhan tidak menciptakan manusia akan disiksa? Lalu siapa yang akan menyiksa? Atau, jika Tuhan tidak menciptakan manusia akan menimbulkan kemustahilan? Lalu di mana letak mustahilnya?
Gus Ulil mengatakan bahwa manusia boleh diciptakan dan tidak. Artinya, jika Tuhan tidak menciptakan manusia, maka itu tidak akan melanggar hukum nalar. Demikian juga, jika Tuhan tidak menciptakan manusia, maka tidak akan pernah menimbulkan kemustahilan seperti Anda mengatakan, 1+1=3. Tidak. Sama sekali tidak ada kemustahilan bagi Tuhan.
Syahdan. Sesuatu disebut wajib dalam pengertian karena sudah ada kehendak dan pengetahuan yang sudah terdahulu. Artinya, Tuhan sudah punya pengetahuan dari awal dan kehendak untuk menciptakan alam dan manusia. Karena sudah ada ilmu yang seperti itu, maka alam harus ada. Dengan kata lain, Tuhan sudah mentakdirkan dari awal akan menciptakan alam dan manusia. Ini pasti (wajib) terjadi dan ada.
Al-Ghazali berkata kapada kaum Muktazilah, “Kalian pada akhirnya akan menghadapi jalan buntu.” Kenapa? Semula Anda mengatakan bahwa Tuhan wajib mencipta makhluk dan memberikan taklif, lalu apa makna wajib di situ?
Menurut kami (Al-Ghazali) definisi wajib itu ada tiga. Pertama, wajib dalam pengertian sesuatu yang jika tidak kerjakan akan menimbulkan hukuman, dan ini tidak masuk akan jika diterapkan kepada Tuhan. “Apa iya jika Tuhan tidak mencipta manusia akan dihukum?”
Kedua, wajib dalam pengertian muhal (mustahil), dan ini juga tidak tepat dalam konteks Tuhan. Artinya, jika Tuhan tidak mencipta makhluk ya itu tidak muhal. Boleh-boleh saja Tuhan tidak menciptakan makhluk. Ketiga, wajib dalam pengertian Tuhan wajib menciptakan manusia karena dahulu manusia sudah ditakdirkan akan diciptakan, maka itu benar.
Tak berhenti di sini, Al-Ghazali kembali mencecar orang-orang Muktazilah, “Atau Tuhan wajib mencipta dalam pengertian jika Tuhan mencipta makhluk ada keuntungan yang diperoleh makhluk dari penciptaan itu?”
Kata Al-Ghazali, sesuatu yang menimbulkan faidah (keuntungan) bagi orang lain, tidak bisa membuat Anda mengharuskan melakukan tindakan seperti itu kepada orang lain. Iya, tidak wajib. Kenapa demikian? Karena keuntungannya hanya bagi orang lain, tidak untuk diri sendiri. Sederhananya, sesuatu yang menguntungkan bagi orang lain, dan tidak menguntungkan diri sendiri, maka tidak wajib Anda lakukan.
Seperti, Anda wajib minum obat karena bisa menyembuhkan sakit orang lain. Tentu tidak masuk akal. Bagaimana bisa, Anda yang minum obat, sementara yang sembuh orang lain! Minum obat wajib Anda lakukan jika obat itu bisa membawa manfaat (kesembuhan) bagi dirimu, bukan orang lain.
Memang, obat itu jika di minum orang lain akan membawa kesembuhan, akan tetapi tidak bisa membuat Anda sembuh karena Anda tidak minum. Karena itu, sekali lagi, obat ini wajib Anda minum jika ada manfaatnya bagi diri sendiri. Namun, jika manfaat minum obat hanya untuk orang lain, tidak membuat Anda sembuh dan justru orang lain yang sembuh, maka Anda tidak wajib meminumnya. Wallahu a’lam bisshawab.