Keislaman

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Apakah Tindakan-tindakan Tuhan Hasan atau Qabih?

5 Mins read

Kita tahu kaidah utama dalam tindakan-tindakan Tuhan adalah bahwa semua tindakan-tindakan Tuhan bersifat jaiz (boleh). Tidak ada tindakan-tindakan Tuhan kategori dan statusnya adalah wajib dilakukan oleh Tuhan. Karena itu, yang wajib melakukan sesuatu adalah hanya manusia, tidak dengan Tuhan.

Sebagai orang yang beriman manusia memiliki tindakan wajib seperti salat dan sebagainya. Meskipun boleh tidak melakukannya, akan tetapi dengan resiko Anda menanggung akibatnya yaitu dosa kepada Tuhan. Inilah akidah Asy’ariyah-Maturidiyah.

Oleh sebab itu, menurut akidah Asy’ariyah, bahwa semua tindakan-tindakan Tuhan tidak ada yang sifatnya wajib. Tuhan tidak wajib melakukan sesuatu. Bahkan, Tuhan tidak wajib mengganjar makhluknya yang berbuat ketaatan.

Dalam hal ini, meskipun Tuhan Maha Adil, akan tetapi Tuhan bisa memasukkan hamba yang taat ke dalam neraka, dan memasukkan hamba yang berlumuran dosa ke dalam surga. Tentu tidak melanggar kaidah apapun. Tuhan Maha Bebas sebebas-bebasnya; merdeka. Pendek kata, tindakan Tuhan berlandakan al-iradah (kehendak bebas).

Ini berbeda dengan akidahnya Muktazilah dan filosof muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Baginya, sebagian tindakan Tuhan ada yang bersifat wajib. Ketika hamba Tuhan melakukan tindakan keshalehan, maka Tuhan wajib membalasnya (memberi pahala).

Karena pada ngaji sebelumnya sudah diulas/ditulis tentang tindakan-tindakan Tuhan yang wajib, maka kali ini penulis akan fokus membahas (meringkas) mengenai apakah tindakan-tindakan Tuhan itu hasan?

Apakah tindakan Tuhan itu hasan?

Al-Ghazali mengatakan bahwa tindakan hasan (sesuatu disebut hasan) terbagi menjadi tiga. Pertama, tindakan itu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan seseorang yang melakukan tindakan. Misalnya, Anda kepengen kenyang lalu makan. Nah, tindakan ini sesuai dengan tujuannya, yaitu kepengen kenyang. Mencapai tujuan yang dituju. Dengan kata lain, tindakan disebut hasan jika cocok dengan tindakan kita.

Kedua, tindakan yang tidak sesuai dengan yang dicita-citakan. Anda kepengen makan soto, lalu Anda makan bubur. Tentu tidak cocok, karena makan bubur bukan tindakan yang baik. Anda kepengen pergi ke Bali, tiba-tiba malah perginya ke Medan. Inilah yang disebut dengan tindakan tidak baik. Karena menyalahi dari kemauan.

Baca...  Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Menjauhi Dunia dan Memperoleh Qana’ah

Ketiga, tindakan yang tidak memiliki tujuan. Karena tidak mempunyai tujuan, maka tindakannya tidak bernilai apa-apa; tidak baik dan buruk. Misalnya Anda melakukan tindakan karena sekedar ikut-ikutan, manut-manut saja. Kata Gus Ulil, tindakan-tindakan semacam ini tidak bisa dikatakan dan dikategorikan pada tindakan baik dan buruk. Dan semua tindakan ini bisa dinalar tanpa membutuhkan dalil.

Gus Ulil mengatakan, bahwa tindakan yang cocok dan sesuai dengan tujuannya baru bisa dikatakan tindakan yang baik. Sementara tindakan yang tidak sampai kepada tujuannya adalah termasuk tindakan jelek. Dan tingkatan yang seperti ini termasuk tindakan yang sia-sia (abats) dan tidak ada faidahnya.

Tak hanya itu, orang yang melakukan tindakan sia-sia disebut juga dengan orang yang al-safih atau pengung (tolol). Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah untuk menyebut orang yang bodoh. Salah satunya al-jahil (tidak tahu), adalah orang tidak tahu informasi.

Sementara al-safih adalah orang yang tidak mempunyai daya nalar untuk menilai sesuatu dengan tepat. Al-safih bukan karena tidak mempunyai informasi, akan tetapi ia tidak mampu untuk menganalisis sehingga tidak menghasilkan sasaran dan tindakan yang tepat.

Karena itu, kata Gus Ulil, sekali lagi, tindakan itu bisa disebut hasan (baik), buruk atau sia-sia tergantung kepada tujuan pelaku tindakan itu sendiri, atau tergantung orang lain yang menyuruh tindakan itu.

Jika tindakan itu cocok (muwafaqah) terhadap tindakan orang lain, maka tindakan itu disebut hasan terhadap orang lain. Jika tindakan itu berlawanan (mukhalafah) terhadap tujuan orang lain, maka tindakan itu disebut buruk.

Jika tindakan itu cocok bagi si A dan tidak bagi si B (karena manusia berbeda-beda), maka tindakan itu disebut (dalam haknya salah satu) hasan jika cocok bagi si A, dan haknya yang lain (si B) disebut jelek. Satu tindakan haknya ada dua karena faktor kecocokan.

Kata Gus Ulil, sebenarnya tindakan itu sama dan netral. Jika cocok bagi si A maka tindakan itu dianggap baik, jika tidak cocok dengan si B maka dianggap buruk. Kenapa bisa menjadi baik dan buruk? Karena baik dan buruk di sini terkait dengan kecocokan dan ketidakcocokan.

Baca...  Kebijakan Nabi Muhammad Terhadap Yahudi Khaibar (2)

Jika demikian, lanjut Gus Ulil, maka baik dan buruk di sini tidak merupakan sesuatu yang intrinsik di dalam tindakan itu sendiri. Sebab, jika intrinsik, maka tidak mungkin berbeda jika sesuatu pada dirinya memang jelek akan ada perbedaan pendapat.

Seperti mencuri. Tindakan mencuri dengan sendirinya jelek. Namun, sarapan bubur ayam netral; bisa baik dan buruk. Bagi yang suka bubur ayam maka baik, dan yang tidak suka maka buruk. Akan tetapi bubur ayamnya sendiri sama, tidak sesuatu yang berbeda. Dengan kata lain, buruk dan baik di sini bersifat idhafiyyun (sesuatu yang dilekatkan).

Ada juga yang tindakannya sama dan orangnya pun juga sama. Akan tetapi status tindakan itu bisa beda. Misalnya, orang yang sama memakai jaket tebal berbulu, apa itu baik atau buruk? Jika cuaca dingin ya bagus, namun jika cuaca panas maka tidak bagus. Ini membuktikan bahwa, pada konteks satu orang pun tindakan bisa berbeda hanya karena perbedaan situasi.

Tak berhenti di sini, kata Gus Ulil, ada juga tindakan yang orangnya, tindakannya dan waktunya juga sama, akan tetapi statusnya bisa berbeda-beda. Bisa baik dan buruk karena tujuannya berbeda. Misalnya, Anda sebagai orang tua dan ngasik uang ke anak, apakah ngasih uang ini baik atau buruk?

Pelakunya sama, anaknya sama dan waktunya juga sama statusnya bisa beda. Kata Gus Ulil, ini bisa baik dan buruk. Tergantung niatnya. Jika niatnya Anda untuk memenuhi kebutuhan anaknya, maka tindakan memberi uang itu bagus. Akan tetapi, jika tujuan memberi uang untuk memanjakannya, maka bisa menjadi buruk. Tindakan sama bisa menjadi beda secara statusnya karena faktor niat.

Lalu bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai konsep moral (tidak punya agama)?

Jawabannya, maka ia akan menganggap baik akan perzinahan (boleh berzina dengan istrinya orang lain). Bahkan, ia menganggap perzinahan sebagai kenikmatan. Namun, ia menganggap jelek terhadap tindakan orang lain jika aib-nya ketika melakukan perzinahan dibongkar.

Baca...  Intelektual Islam Abad Pertengahan: Panglima Peradaban

Berbeda dengan sementara orang yang mempunyai standar moral hidup, maka ia menganggap orang yang membongkar skandal itu sebagai orang yang mencari ganjaran di mata Tuhan (muhtasib).

Bahkan, tindakan membunuh raja bisa disebut baik dan buruk. Misalnya oleh musuhnya si raja, tindakan membunuh raja ini pasti dianggap baik dan menyenangkan karena sesuai dengan tujuan sang musuh. Sementara pendukung raja akan menganggap buruk tindakan pembunuhan karena menyalahi tujuan.

Demikian juga ada orang yang senang terhadap warna. Misalnya warna cokelat. Tentu saja, yang senang warna cokelat akan mengganggap baik dan mencintai cokelat, tidak warna merah dan seterusnya.

Masih tentang baik dan buruk. Tindakan baik dan buruk sifatnya idhafiy atau relatif. Dengan kriteria waktunya kapan? Orangnya siapa? Wataknya seperti apa? Tujuannya apa? Jadi barangnya sama namun statusnya berbeda. Inilah inti pengertian dari al-hasan dan al-qabih yang dipakai Al-Ghazali.

Kata Gus Ulil, pengertian ini akan kembali untuk memahami pokok persoalan apakah Tuhan itu wajib melakukan tindakan baik dan mengihindari tindakan buruk atau tidak? Tentu saja, jika kita sudah memakai kerangka istilah ini, maka kita bertanya, baik dan buruk itu tergantung tujuannya apa?

Jika Anda mempunyai tujuan A dan memenuhi tujuan tindakan tersebut maka tujuan itu baik. Jika tindakan itu tidak memenuhi tujuan maka tindakan itu jelek. Pendek kata, hasan dan qabih (jelek dan buruk) relatif. Ia perspektif; tergantung dari sudut mana Anda melihatnya, karena kita melihat sesuatu berdasarkan tujuan yang ingin dicapai.

Pertanyaannya adalah, apa Tuhan ketika bertindak punya tujuan tertentu seperti manusia mempunyai tujuan? Jika Tuhan mempunyai tujuan, maka berarti Tuhan tidak mandiri karena didekte oleh tujuan, dan sifat muridun sudah hilang. Di sinilah pentingnya mendudukkan antara hasan dan qabih. Wallahu a’lam bisshawab.

56 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
Keislaman

Mengenal Sekilas Apa Itu Kajian Living Qur’an

3 Mins read
Secara etimologi, living Qur’an merupakan gabungan dari dua kata, yakni living yang bermakna hidup dan Qur’an yang bermakna kitab suci umat Islam….
Keislaman

Fitrah Manusia dalam Perspektif Islam : Urgensi dan Makna Hikakat Fitrah

7 Mins read
Ditinjau dari segi bahasa, fitrah berarti: “ ciptaan, sifat tertentu yang mana setiap yang maujud disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat…
Keislaman

Potret Singkat Mengenai Empat Mazhab

5 Mins read
Kita tahu ulama dari zaman sahabat hingga tabi’in dan seterusnya mengambil hukum fikih dari pokoknya (Alqur’an dan hadis), bukan hanya dari pendapat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Opini

Penerapan Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim dalam Studi Tafsir

Verified by MonsterInsights