Artikel

Gerakan Pemikiran Reformis Muhammad Abduh Ulama Yang Berpengaruh Abad Ini

7 Mins read

Gambar : Muhammad Abduh

Muhammad Abduh
merupakan Ulama yang gerakan dan pemikirannya banyak mempengaruhi Dunia Islam
dewasa ini.

 Banyak murid-muridnya menjadi Ulama dan Cendikiawan Muslim yang
berpengaruh dan terkenal di Dunia seperti Rasyid Ridha, Farid Wajdi, Syekh Imam
Tantawi Jauhari yang menulis Tafsir Al-Jawahir, Dr. Mohammad Husain Haekal
dengan karayanya yang terkenal “Hayatu Muhammad”.

Selanjutnya, Abbas Mahmud Al-Akkad,
Ibrahim A.Kadir Al-Mazin, Syekh Ali Abd Al-Razik yang pernah menghebohkan Dunia
Islam karena gagasan sekulernya, Sa’ad Zaghlul (Bapak kemerdekaan Mesir), Dr.
Thaha Husein, Imam Mustafa al-Maraghi (mantan Rektor Universitas Al-Azhar,
Mesir dan penulis Tafsir Qur’an Al-Maraghi).

Selain itu
pemikirannya juga mempengaruhi K.H Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, Prof.
Harun Nasution (mantan Rektor IAIN Syarifhidaytullah, Jakarta), Buya Hamka,
Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Partai Jamaat Islami di Pakistan serta banyak
tokoh Islam penting lainnya.

Yang menarik adalah murid-muridnya langsung
terdiri dari berbagai macam aliran dan pemikiran.

Muhammad Abduh
lahir di Mesir tahun 1265 H/1849 M dan wafat di Cairo tahun 1905 M. Muhammad
Abduh merupakan pemikir, teolog, dan tokoh pembaharuan Islam yang hidup pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M. 

Ayahnya bernama Abduh Hasan Khair
Allah, berasal dari Turki dan telah lama menetap di Mesir. Ibunya berasal dari
suku Arab asli yang menurut riwayat silsilah keturunannya sampai kepada Umar
bin Khattab.

Muhammad Abduh
mengawali pendidikannya dengan berguru pada ayahnya dirumahnya. Hanya dalam
jangka waktu dua tahun seluruh ayat Al-Qur’an telah dihafalnya. 

Kemudian pada
usia 14 tahun ia dikirim ayahnya ke Tanta untuk belajar di Masjid al-Alhamidi
(al-jamia’at al-Ahmadi’). Di sini, di samping melancarkan hafalan Al-Qur’annya,
ia juga belajar bahasa Arab dan Fiqih. 

Setelah belajar selama dua tahun,
Muhammad Abduh merasa bosan karena sistem pengajarannya memakai metode hafalan.
Dengan rasa kecewa Muhammad Abduh kembali ke Mahallat Nasr.

Pada tahun 1282
H/1866 M, Muhammad Abduh memasuki hidup berumah tangga. Sekitar 40 hari setelah
menikah, Muhammad Abduh dipaksa ayahnya kembali untuk belajar di Tanta namun ia
mengubah haluan dan pergi menuju Desa Kanisah untuk bertemu dengan pamannya
yaitu Syekh Darwisy Khadr yang merupakan pengikut Tarekat Syaziliah yang
mempunyai wawasan pengetahuan yang luas karena banyak melakukan perjalanan ke
luar Mesir.

Melihat
Muhammad Abduh yang dihinggapi rasa bosan dan kecewa dalam menuntut ilmu, Syekh
Darwisy memberikan memberikan imbauan dan dorongan serta nasihat kepada
Muhammad Abduh agar kembali bersemangat dan bergairah untuk menuntut ilmu.

Berkat kesabaran dan kebijaksanaan Syekh Darwish, Muhammad Abduh akhirnya
belajar kembali. Untuk sementara ia belajar pada Syekh Darwisy dan ilmu yang
ditekuninya kebanyakan menyangkut Tasawuf.

Muhammad
Abduh  kembali melanjutkan studinya di
Masjid al-Ahmadi, Tanta. Beberapa bulan setelah itu, ia pergi Cairo dan masuk
Universitas Al-Azhar tahun 1866. Di Universitas Al-Azhar, ia tidak menemukan
hal yang baru. 

Baca...  Gus Ulil dan Suluk Makrifat ala Al Ghazali

Materi dan metode pengajaran tidak jauh berbeda dengan yang
dijumpainya di Tanta. Syekh Darwisy menyarankan Muhammad Abduh agar menuntut
ilmu kepada Ulama di luar Universitas Al-Azhar.

Muhammad Abduj
kemudian mengikuti saran syekh Darwisy, ia belajar ilmu-iilmu umum yang tidak
dipelajarinya di Universitas Al-Azhar seperti Filsafat, Logika dan Matematika
pada Syekh Hasan at-Tawil. 

Muhammad Abduh berkesempatan berdialog dengan tokoh
pe1mbaharuan Islam yaitu Jamaluddin al-Aghani yang kemudian menjadi
gurunya pula.

Melalui Jamaluddin
al-Afgani, Muhammad Abduh mendalami pengetahuan tentang filsafat, matematika,
teologi, politik dan jurnalistik. 

Bidang pengetahuan yang menarik perhatian
Muhammad Abduh adalah teologi terutama teologi Mutazilah. Buku yang
dipelajarinya adalah Syarh at-Taftazani ‘Ala al-‘Aqa’id an-Nafasiyah
(Penjelasan Taftazani tentang kepercayaan aliran Nafasiyah).

Karena tertarik
pada pemikiran Mutazilah, Muhammad Abduh lalu dituduh ingin menghidupkan
kembali aliran ini. Atas tuduhan ini, ia dipanggil menghadap Syekh al-Laisi
(Ulama yang menentang Mutazilah). 

Ketika Muhammad Abduh ditanya, apakah akan
memilih Mutazilah ? ia menjawab dengan tegas bahwa ia tidak bermaksud dengan
aliran manapun dan kepada siapa pun. Ia ingin menjadi pemikir bebas. Peristiwa
ini nyaris membuatnya gagal memperoleh Ijazah Universitas Al-Azhar, Mesir.

Setelah tamat
dari Al-Azhar pada tahun 1877, Muhammad Abduh memulai karirnya sebagai pengajar
di Al-Azhar. Selain itu, ia mengajar di Universitas Dar al-Ulum dengan memegang
mata kuliah sejarah.

 Buku yang diajarkannya adalah kitab Muqaddimah karya Ibnu
Khaldun. Sedangkan di Universitas Al-Azhar, ia mengajar logika, teologi dan
filasafat.

Selanjutnya, ia
juga mengajar dirumahnya, ia mengajarkan mengenai etika dan sejarah Eropa.
Untuk etika, ia memilih buku Tahzib al-Ahlaq (Pembinaan Ahlak) karya Ibnu
Maskawih dan buku Sejarah Peradaban Eropa karya F.Guizot. 

Dalam mengajar, ia
menekankan kepada murid-muridnya agar bersikap kritis dan rasional dan tidak
harus terikat kepada suatu pendapat.

Disamping
profesinya sebagai guru, Muhammad Abduh juga menekuni bidang jurnalistik dengan
menulis artikel-artikel di surat kabar terutama al-Ahram (Piramid) yang mulai
terbit tahun 1876.

 Karirnya menanjak menjadi pimpinan Redaksi al-Waqa’i
al-Misriyah (Peristiwa-Peristiwa di Mesir), suatu surat kabar pemerintah yang
banyak memuat artikel-artikel mengenai masalah dan kejadian sosial, politik,
hukum, agama, pendidikan dan masalah-masalah keagamaan.

Saat itu
munculnya gerakan pembaharuan Islam yang menentang penetrasi kekuasaan Barat
yang dipelopori Jamaluddin al-Afgani dengan nama Gerakan Nasionalis
Mesir.Meraka ini banyak mengecam kebijakan pemerintah Mesir yang terlalu
memberi hati kepada penguasa Barat (Inggris dan Prancis). 

Pemerintah dengan
bantuan Barat berusaha menumpas gerakan ini karena dianggap membahayakan. Satu
per satu pemimpin gerakan ini ditangkap termasuk Muhammad Abduh. Setelah
dipenjarakan selama tiga bulan, Muhammad Abduh diasingkan ke luar negeri.

Waktu itu, ia
diusir dari Mesir karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khedewi Tawfik.
Mula-mulaia pergi ke Beirut kemudian ke Paris, Prancis. Di Paris, ia bertemu
dengan Jamaluddin al-Afghani dan mereka membentuk gerakan yang diberi nama
al’Urwah al-Wusqa (Ikatan yang Kuat).

Baca...  Muharram Mengingatkan Kita Pada Cucu Nabi: Hasan dan Husen

 Karen Amstrong menyatakan bahwa Muhammad Abduh
membenci pendudukan Inggris dinegaranya tetapi merasa sangat nyaman dengan
budaya Barat setelah mempelajari ilmu-ilmu modern dan membaca karya Guizot,
Renan, dan Herbert Spencer.

Setelah kembali dari Paris, konon ia sengaja
membuat pernyataan provokatif : “ Di Paris saya melihat Islam tapi tidak ada
orang-orang Muslim dan di Mesir saya melihat orang-orang Muslim tetapi tidak
ada Islam”.

Maksud
pernyataan M Abduh ini menurut Karen Amstrong adalah bahwa ekonomi mereka
(Barat) yang telah dimodrenisasi, membuat orang Eropa mampu mengakan keadilan
dan kesetaraan yang lebih dekat dengan semangat Al-Qur’an daripada masyarakat
yang termodernisasi secara setengah-setengah.

Selanjutnya,
salah satu kegiatan Muhammad Abduh adalah menerbitkan Majalah yang diberi nama
al-Urwah al-Wusqa tahun 1884. Karena menadapat tekanan dari pihak Barat,
Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh meninggalkan Paris. Keduanya berpisah
dan bertemu kembali di Beirut melalui Tunisia pada tahun 1885.

Selama di
Beirut, ia memusatkan perhatian dan kegiatannya pada ilmu dan pendidikan. Ia
mengajar Tafsir al-Qur’an di Masjid yang terdapat di kota itu dan di Madrasah
Sultaniah, ia mengajarkan logika, teologi, sejarah Islam dan fiqih. 

Dirumahnya,
ia mengadakan diskusi rutin den pesertanya bukan hanya Muslim tetapi juga orang
Nasrani. Pada tahun 1888, Muhammad Abduh diizinkan kembali ke Mesir tetapi
tidak diizinkan mengajar karena pemerintah Mesir takut akan pengeruhnya kepada
Mahasiswa.

 Pemerintah berusaha agar Muhammad Abduh jauh
dari masyarakat. Karena itu, ia diangkat menjadi Hakim Pengadilan Negeri di
Benha. Dari Benha, ia dipindahkan ke Zagazig, lalu ke Cairo dengan tugas yang
sama. 

Selanjutnya, ia diangkat menjadi penasihat pada Mahkamah Tinggi dan
akhirnya tahun 1899 ia diangkat menjadi Mufti Mesir. Pada tahun itu juga ia
dipilih menjadi anggota Majlis Syura, Dewan Legislatif Mesir.

Sebagai seorang
teolog, corak pemikiran Muhammad Abduh adalah rasional bahkan lebih rasional
dari Mutazilah.

 Hal ini dapat dilihat dari berbagai pendapatnya mengenai 1).
Konsep iman, 2). Sifat-sifat Tuhan, 3). Perbuatan Tuhan, 4). Keadilan Tuhan,
5). Kekuasaan dan kehendak Tuhan, 6). Perbuatan manusia, 7). Kekuatan akal, 8).
Fungsi wahyu.

Tentang iman,
Muhammad Abduh menjelaskan bahwa iman adalah pengetahuan hakiki yang diperoleh
akal melalui argumen-argumen yang kuat dan membuat jiwa seseorang menjadi
tunduk dan pasrah. 

Baginya, iman bukan sekedar tasdiq (pengakuan), melainkan
juga Makrifat dan perbuatan. Iman meliputi tiga unsur : ilmu pengetahuan,
itikad (kepercayaan) dan yakin (keyakinan). Muhammad Abduh membedakan manusia
atas dua golongan yaitu Khawas (orang yang tingkatan ibadahnya sudah tinggi)
dan awam.

Karena itu,
iman pun terbagi dua, iman orang khawas yang disebut iman hakiki dan iman orang
awam yang disebut iman taklidi.

 Bagi orang awam, iman hanyalah tasdiq sedangkan
bagi orang khawas tidak cukup hanya dengan tasdiq tetapi harus disertai amal
baik. 

Mengenai sifat-sifat Tuhan, dijelaskan dalam buku Hasyiyah ‘Ala Syarh
ad-Dawani li-al-‘Aqa’id al-‘Adudiyah (Komentar terhadap penjelasan ad-Dawani
terhadap Akidah-Akidah yang meleset) bahwa sifat Tuhan adalah esensi Tuhan.

Baca...  Teologi Islam dan Aliranya

Untuk itu, ia
mengkritik pendapat Abu Hasan al-Asy’ari (wafat 935 M) pendiri aliran teologi
Asy’ariyah yang hidup pada masa Daulah Bani Abbas yang mengakui adanya
sifat-sifat Tuhan yang berdiri sendiri di luar Dzat-Nya. 

Dalam hal perbuatan
Tuhan, Muhammad Abduh mengakui adanya perbuatan-perbuatan yang wajib bagi Tuhan
dan yang mewajibkan perbuatan itu adalah diri-Nya sendiri.

Tuhan
mewajibkan diri-Nya untuk mengatur alam ini sesuai dengan Sunnah-Nya demi
kepentingan manusia.

 Perbuatan Tuhan yang wajib itu antara lain berbuat baik
kepada manusia dengan tidak membeberikan beban atau tugas di luar kemampuan
nmanusia, mengirim para Rasull untuk memberi contoh teladan dan menempati
janji-janji-Nya memasukan orang mukmin ke dalam surga serta menempati
ancaman-Nya untuk memasukan orang berdosa besar ke dalam neraka.

Mengenal
kekuasaan dan kehendak Tuhan, Muhammad Abduh mengakui bahwa Tuhan itu maha
kuasa dan maha berkendak. Meskipun demikian, Tuhan tidak bertindak
sewenang-wenang karena bertentangan dengan keadilan-Nya.

 Menurut Muhammad
Abduh, manusia diberi kebebasan untuk berkehedak dan berbuat. Ia bebas memilih
perbuatan mana yang hendak dilakukannya.

Untuk itu,
manusia diberi akal untuk berpikir dan dengan akalnya ia mempertimbangkan
akibat dari perbuatannya sendiri secara hakiki.

 Akal dalam sistem teologi
Muhammad Abduh mempunyai kekuatan yang sangat tinggi. Baginya, akal dapat
mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di
akhirat, mengetahui kewajiban bebrbuat baik dan kewajiban memenuhi perbuatan
jahat dan membuat hukum-hukum.

Meskipun akal
mampu mengetahui banyak masalah pokok keagamaan, Muhammad Abduh tetap mengakui
perlunya wahyu diturunkan.

 Menurutnya wahyu mempunyai dua fungsi utama yaitu
menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat dan
menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan
sosialnya.

Selain sebagai teolog, Muhammad Abduh juga dikenal sebagai tokoh
pembaharuan Islam. Di bidang pendidikan, ide dan usaha pemabaharuannya
ditujukan kepada Universitas Al-Azhar, Mesir.

Usaha yang
dilakukannya adalah membentuk Dewan Pimpinan al-Azhar yang terdiri dari
ulama-ulama besar dari empat Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali),
menertibkan adminstrtrasi Al-Azhar dengan menentukan honor yang layak bagi
pengajar, membangun ruangan khusus untuk Rektor, masa belajar diperpanjang dan
masa libur diperpendek, hanya saja Muhammad Abduh gagal mengubah kurikulum
Al-Azhar karena mendapat penentangan yang hebat dari para Ulama Al-Azhar.

 Muhammad Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir dan kedudukannya ini dipegang
hingga ia wafat pada tahun 1905. Karya terkenalnya adalah Tafsir Al Manar yang ditulis dan disusun bersama Jamaluddin al Afghani dan Rasyid Ridha. 



Sumber :
Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru van Hoeve, Harun Nasution dalam
karyanya “Pembaharuan dalam Islam”, dan Karen Amstrong dalam “ Masa Depan
Tuhan” serta Risalah Tauhid karya Muhammad Abduh.

 

2366 posts

About author
KULIAHALISLAM.COM merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Artikel

UMKM Jasa Katering Aqiqah: Solusi Praktis untuk Ibadah Aqiqah

2 Mins read
Layanan Katering Aqiqah Semakin Populer Menyambut kelahiran buah hati dengan aqiqah menjadi salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Kini, banyak…
Artikel

Daftar HP Suport NFC 2024: Pilihan Terbaik untuk Kemudahan Transaksi Digital

2 Mins read
NFC (Near Field Communication) semakin menjadi fitur yang wajib ada di smartphone modern. Teknologi ini memungkinkan pengguna untuk melakukan berbagai aktivitas tanpa…
Artikel

Kenapa Jasa Anti Rayap Diperlukan?

2 Mins read
  Kami Pest Control Indonesia dengan Brand UniPest menawarkan layanan jasa anti rayap untuk melindungi bangunan dari serangan rayap. Rayap merupakan hama yang dapat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights