Kuliahalislam.com- Syekh Sayid Muhammad Rasyid Ridha lahir di Suriah 1865 M dan wafat di Suriah tahun 1935 M. Dia merupakan pemikir dan ulama pembaharu dalam Islam di Mesir pada awal abad ke-20. Dia dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Muhammad Rasyid Ridha berasal dari keturunan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam melalui garis keturunan Husein bin Ali Bin Abi Thalib, Itulah sebabnya ia memakai gelar “Sayid”.
Pendidikannya diawali dengan membaca Al-qur’an, menulis dan berhitung di kampungnya di Qalamun, Suriah. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Muhammad Rasyid Ridha lebih senang menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku daripada bermain. Sejak kecil dia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah lancar membaca dan menulis, Muhammad Rasyid Ridha masuk ke Madrasah ar-Rasyidiyah yaitu sekolah milik pemerintah di kota Tripoli. Di sekolah itu dia belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, ilmu bahasa seperti ilmu nahu dan saraf dan ilmu agama seperti aqidah dan ibadah. Hanya setahun dia belajar di sini, karena ternyata sekolah itu khusus diperuntukkan bagi mereka yang ingin menjadi pegawai pemerintahan, sedangkan dia tidak berminat mengabdi untuk pemerintah.
Ketika berusia 18 tahun, dia kembali melanjutkan studinya dan sekolah yang dipilihnya adalah Madrasah al-Wataniyyah al-Islamiyah yang didirikan oleh Syekh Husain al-Jisr. Dibandingkan dengan Madrasah ar-Rasyidiah, Madrasah ini jauh lebih maju baik dalam sistem pengajaran maupun materi yang diajarkan.
Di sini dia belajar mantiq, matematika dan filsafat, di samping juga ilmu-ilmu Islam. Gurunya, Syekh Husain al-Jisr, dikenal sebagai seorang banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaharuan dalam diri Rasyid Ridha kelak. Diantara pemikiran-pemikiran gurunya sangat mempengaruhi ide pembaharuan Rasyid Ridha adalah bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan Islam dan pendidikan umum dengan menggunakan metode Eropa.
Syekh Husain al-Jisr berpendapat demikian karena sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa dan Amerika di Suriah saat itu banyak diminati anak-anak pribumi. Keadaan ini justru mengkhawatirkan Syekh al-Jisr karena di sekolah-sekolah itu tidak disajikan materi pelajaran keislaman.
Selain menekuni pelajarannya di Madrasah al-Wataniyyah al-Islamiyah, dia juga tekun mengikuti berita perkembangan dunia Islam melalui surat kabar al-‘Urwah al-Wusqa (Ikatan Yang Kuat, surat kabar berbahasa Arab yang dipimpin oleh Jamaludin Al Afghani dan Muhammad Abduh, diterbitkan di pengasingan mereka di Paris,Prancis).
Pertemuan Ridha dan Abduh
Melalui surat kabar ini, dia mengenal gagasan dua tokoh pembaharuan yang sangat dikaguminya yaitu Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Ide-ide pembaharuan yang dikumandangkan oleh kedua tokoh itu melalui surat kabar al-‘Urwah al-Wusqa sangat berkesan dalam diri Rasyid Ridha dan menimbulkan keinginan yang kuat di hatinya untuk bergabung dan berguru pada keduanya.
Keinginan Rasyid Ridha untuk bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani tidak tercapai karena ia lebih dahulu meninggal sebelum dia menemuinya. Sebaliknya, Muhammad Abduh sempat dijumpainya ketika berada dalam pembuangannya di Beirut. Pertemuan dan dialog-dialog antara Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh semakin menumbuhkembangkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya.
Rasyid Ridha banyak menyerap pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan Muhammad Abduh dalam usaha memajukan Islam. Setelah Muhammad Abduh diizinkan kembali ke Mesir, Dia kemudian mengikutinya pada tahun 1898 M. Setibanya di Mesir, dia mengusulkan kepada gurunya, Muhammad Abduh agar menerbitkan sebuah majalah yang akan meninggalkan ide-ide dan pemikirannya. Atas dasar inilah terbit sebuah majalah yang diberi nama “Al-Manar”, yang diusulkan oleh Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh.
Dalam penerbitan perdananya dijelaskan bahwa tujuan Al-Manar sama dengan al-‘Urwah al-Wusqa, yaitu untuk memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala pemahaman yang menyimpang. Setahun setelah Al-Manar terbit, dia kepada gurunya agar menafsirkan Al-qur’an dengan tafsiran yang relevan dengan tuntutan zaman.
Ketika itu Muhammad Abduh itu aktif mengajar Tafsir Al-qur’an di Universitas Al-Azhar, Mesir. Sebagai murid, Rasyid Ridha mencatat kuliah kuliah gurunya, lalu catatannya itu diserahkan kepada gurunya untuk dikoreksi. Setelah selesai diperiksa, catatan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir itu termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudian dibekukan menjadi Tafsir Al-Manar.
Sampai wafatnya, Muhammad Abduh hanya sempat menafsirkan hingga surat an-Nisa ayat 125. Penafsiran ayat selanjutnya dilakukan oleh Muhammad Rasyid Ridha sendiri.
Rasyid Ridha merupakan pengikut tarekat Naqsabandiyah. Berdasarkan pengalamannya di dunia tarekat, dia menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran tarikat yang berlebihan dalam cara ibadah dan pengkultusan seorang guru membuat seseorang mempunyai sikap statis dan pasif. Sikap-sikap seperti ini jelas merugikan umat Islam.
Ide-ide pembaharuan penting yang dibawa Rasyid Ridha adalah dalam bidang keagamaan bidang pendidikan dan bidang politik. Dalam bidang keagamaan dia berpendapat bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktikkan pada masa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan sahabat-sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran sudah banyak bercampur dengan bidah dan khurafat.
Selanjutnya, dia menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Al-qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan tidak terikat dengan pendapat-pendapat ulama terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup modern. Mengenai ajaran Islam, dia membedakan antara masalah pribadatan yang berhubungan dengan Tuhan dengan muamalah yang berhubungan dengan manusia.
Yang pertama tertuang jelas dalam teks Al-qur’an yang Qat’i ( tunjukkannya jelas dan pasti) dan Hadits mutawatir. Menurutnya, untuk hal yang kedua ini akal dapat digunakan sepanjang dia menyimpang dari prinsip-prinsip dan ajaran Islam. Dia juga kemudian menyewati paham fatalisme yang menyelimuti umat Islam pada waktu itu.
Menurutnya, ajaran Islam mengandung paham dinamika bukan fatalisme. Paham dinamika inilah yang membuat dunia barat maju. Dia menjelaskan paham dinamika dalam Islam dengan mengambil bentuk jihad yaitu kerja keras dan rela berkorban demi mencapai kehidupan Allah. Etos jihad inilah yang menghantarkan umat Islam ke puncak kejayaannya pada zaman klasik.
Pemikiran Rasyid Ridha
Idenya yang lain adalah toleransi bermazhab. Dia melihat fanatisme mazhab yang tumbuh di kalangan umat Islam mengakibatkan perpecahan dan kekacauan. Oleh karena itu, perlu dihidupkan toleransi bermazhab, Bahkan dalam bidang hukum perlu diupayakan penyatuan mazhab walaupun dia sendiri pengikut setia mazhab Hambali.
Dalam bidang pendidikan, dia mengikuti gurunya yaitu Muhammad Abduh. Dia sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan. Umat Islam hanya dapat maju apabila menguasai bidang pendidikan. Oleh karena itu, dia selalu menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Menurutnya, membangun lembaga pendidikan lebih bermanfaat daripada membangun masjid. Apa artinya masjid jika pengunjungnya hanyalah orang-orang bodoh. Sebaliknya, lembaga pendidikan akan dapat menghapuskan kebodohan dan pada gilirannya membuat umat Islam menjadi maju dan makmur.
Pemikira Raryid Ridha Bidang Pendidikan
Usaha yang dilakukannya dalam bidang pendidikan adalah membangun sekolah misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader-kader mubaligh yang tangguh sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Kairo dengan nama Madrasah ad-Da’wah wa al-Irsyad. Di sekolah tersebut diajarkan ilmu Islam seperti tafsir akhlak dan hikmah at-tasyri’ ( hikmah ditetapkannya syariat), bahasa Eropa dan ilmu kesehatan. Setelah itu, dia mendapatkan undangan dari pemuka Islam India untuk mendirikan lembaga yang sama di sana.
Pengaruhnya Bidang Politik
Selain aktif di bidang pendidikan, dia juga aktif di dunia politik. Kegiatannya antara lain menjadi Presiden Kongres Suriah pada tahun 1920 M, sebagai delegasi Palestina-Suriah di Jenawa tahun 1921, sebagai anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah pada tahun 1926 dan di Jerusalem tahun 1931. Ide-idenya yang penting di bidang politik adalah tentang ukhuwah islamiyah.
Dia melihat salah satu penyebab kemunduran umat islam adalah perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam. Untuk itu, Dia menyuruh umat Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan dan tunduk kepada satu sistem hukum dalam satu kesatuan yang berbentuk negara. Akan tetapi, negara yang diinginkannya bukan seperti di barat melainkan negara dalam bentuk kekhalifahan seperti Khalifah ar-rasyidin.
Menurutnya, Khalifah haruslah seorang Mujtahid dan dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh para ulama. Hanya dengan sistem Khilafah, ukhuwah islamiyah dapat diwujudkan. Dalam bukunya Al Khilafah, dia menjelaskan secara panjang lebar mengenai Khilafah antara lain disebutkan bahwa fungsi Khilafah adalah menyebarkan kebenaran dan menegakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah-masalah yang tidak dijelaskan dalam nash.
Khalifah bertanggung jawab atas segala tindakan di bawah pengawasan ahl al-hall wa al-hall wa al-‘aqad, selain mengawasi jalannya pemerintahan juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh Khalifah. Lembaga ini berhak menindak khalifah yang kezaliman dan sewenang-wenang.
Pengaruh pemikiran pembaharuan Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh terasa sampai Indonesia. Ide-idenya yang terkandung dalam majalah Al-Manar, pemberantasan Bid’ah dan khurafat banyak mengilhami timbulnya gerakan pembaharuan di Indonesia. Bukti-bukti yang dapat dikemukakan sebagai adanya pengaruh ide-ide ini di Indonesia antara lain terbitnya majalah Al-Munir di Padang yang dikelola oleh ulama-ulama yang pernah belajar di Mekah.