Islam sebagai salah satu agama yang bukan hanya sebagai hukum yang mengikat tentang syariat, tetapi Allah SWT memberikan rasa kasih sayang kepada hamba-Nya. Salah satunya dengan rukhsah, yaitu bentuk keringanan dalam beribadah.
Allah SWT memberikan rukhsah untuk memudahkan hamba-Nya agar ibadah yang dilakukan tidak menjadi beban yang memberatkan. Namun, di sisi lain rukhsah sering dijadikan alasan untuk bermalas-malasan. Bahkan, sering dianggap sepele dan lebih memilih untuk meninggalkan kewajiban ibadah tanpa adanya alasan yang sesuai dengan syariat.
Kapan seseorang bisa mengambil rukhsah?
Rukhsah dapat diambil dalam situasi sakit, safar, ikrah, darurat, lemah fisik, dan haid atau nifas. Apabila ingin mengambil rukhsah, maka harus mengganti dengan mengqadha atau mengqashar jika masih mampu.
Bagi orang yang lemah fisik dan tidak mampu berpuasa, maka penggantinya dengan membayar fidyah. Sedangkan shalat tetap dilaksanakan dengan duduk atau berbaring. Konsep rukhsah merupakan bentuk pengecualian dalam hukum ‘azimah yang bersifat wajib.
Dengan adanya hawa nafsu, manusia cenderung memilih ringan, nyaman, dan enaknya dalam melakukan ibadah. Kasus seperti ini sering terjadi pada orang yang tetap memilih jalan yang mudah, meskipun tidak selaras dengan syariat Islam.
Dalam hal ini, rukhsah sering dimanfaatkan secara berlebihan atau tidak sesuai dengan tujuan aslinya. Akibatnya, dalam menjalankan ibadah menjadi kurang serius, disiplin, bahkan rela meninggalkan dengan alasan adanya rukhsah.
Apa hukumnya jika tidak mengganti ibadah yang ditinggalkan dengan rukhsah?
Jika seseorang mengambil rukhsah dan tidak menggantinya dengan mengqadha, mengqashar, atau membayar fidyah tanpa adanya alasan yang syar’i maka hukumnya berdosa.
Karena kewajiban seorang muslim wajib dilaksanakan, jika sengaja tidak mengganti termasuk dari wujud kelalaian terhadap kewajiban agama. Oleh karena itu, penting bagi umat muslim untuk belajar memahami dan bertanggung jawab dalam menunaikan ibadah yang tertinggal dengan mengganti waktu yang diperbolehkan dalam syariat.
Survei ISEAS-Yusof Ishak Institute (2025) menunjukkan 95,3% pemuda Indonesia menganggap agama penting. Studi Gen Z’s Religiosity Level (2025) mencatat kepatuhan terhadap ibadah harian justru menurun.
Seperti fenomena saat bulan Ramadhan ketika buka bersama yang berubah menjadi obrolan hingga lupa shalat maghrib dengan alasan malas, make up luntur, atau nanti bisa di qadha. Tanpa adanya disiplin dalam ibadah, klaim keimanan mudah berubah jadi sikap menyepelekan agama. Imam al-Qarâfî mengingatkan bahwa memilih jalan pintas hanya menumbuhkan kemalasan dan enggan berusaha dengan sungguh-sungguh.
Dalam kutipan QS. Al-Isra’/17:7 “Jika kamu berbuat baik, maka kebaikan itu untuk dirimu sendiri; dan jika kamu berbuat buruk, maka keburukan itu juga untuk dirimu sendiri”. Menurut tafsir al‑Jalâlayn menunjukkan prinsip aksi dan reaksi amal yang menjadi cermin bagi perilaku meremehkan ibadah.
Diasumsikan bahwa seorang hamba yang menganggap ringan kewajibannya dengan dalih rukhsah, sejatinya mereka sedang meremehkan dirinya sendiri di hadapan Allah SWT. Maka patut dipertanyakan “Jika kamu menyepelekan agama, mungkinkah kiranya kita yang disepelekan oleh Tuhan?”. Logika timbal balik Qur’ani semacam itu menutup ruang bagi sikap abai.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah/2:185 “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu…”. Dalam tafsirnya, Prof. Quroish Shihab menunjukkan bahwa Allah mengehendaki kemudahan bagi manusia dan tidak mengehendaki kesukaran.
Oleh karena itu, rukhsah atau keringanan dalam syariat Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, bukan karena kelemahan iman. Ayat ini menunjukkan dengan adanya rukhsah, syariat Islam dapat disusun sebagai agama yang penuh kemudahan.
Sebenarnya agama tidak melarang kita, cuman kitanya yang harus tahu diri. Adanya keringanan dalam ibadah bukan berarti seenaknya sendiri, melainkan itu sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT yang tetap menuntun tanggung jawab. Rukhsah itu rahmat, bukan celaah.
Dalam QS. Al-Baqarah/2:185 menunjukkan syariat yang memudahkan, bukan memanjakan dan QS. Al-Isra’/17:7 mengingatkan bahwa amal kita berbalas setimpal. Tanpa adanya pemahaman yang benar, semangat beragama bisa tergoyahkan menjadi sikap menyepelekan. Karena dalam kelonggaran ibadah harus dihayati sebagai jalan menuju kedewasaan iman.

