Esai

Ketika Minoritas Menjaga Amanah: Refleksi Etika Islam dari Muslim Thailand Selatan

3 Mins read

Dalam pandangan Islam, manusia tidak pernah diposisikan semata sebagai objek kekuasaan, melainkan sebagai khalīfah yang memikul amanah moral di muka bumi. Namun dalam praktik demokrasi modern, khususnya di Asia Tenggara, kelompok minoritas sering kali direduksi hanya sebagai objek kebijakan dan statistik elektoral.

Mereka jarang dipandang sebagai subjek etis yang mampu menuntun arah kehidupan publik. Di titik inilah pengalaman masyarakat Muslim di Thailand Selatan—khususnya Patani—menghadirkan pelajaran penting: bahwa iman dapat menjadi sumber etika politik, bahkan ketika dihayati oleh komunitas minoritas.

Menjaga Integritas di Tengah Keterbatasan

Di tengah posisi sebagai minoritas dalam negara mayoritas Thai Buddhis, Muslim Patani tidak memilih diam. Justru dari keterbatasan itulah tumbuh kesadaran bahwa menjaga integritas politik adalah bagian dari menjaga amanah Allah.

Salah satu persoalan utama yang mereka soroti adalah praktik politik uang (risywah), sebuah praktik yang dalam banyak kontestasi politik kerap dinormalisasi. Padahal, dalam Islam, risywah adalah perbuatan yang jelas diharamkan karena merusak keadilan dan mengkhianati amanah publik. Rasulullah SAW bersabda:

“Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud)

Larangan ini bukan semata hukum fikih, melainkan peringatan moral bahwa kekuasaan adalah titipan, bukan komoditas. Kekuasaan yang diperoleh melalui transaksi materi akan melahirkan kezaliman, sebab ia terlepas dari nilai kejujuran dan tanggung jawab di hadapan Allah dan manusia.

Demokrasi dan Prinsip Keadilan

Nilai ini sejatinya sejalan dengan prinsip demokrasi normatif yang menempatkan kebebasan memilih dan kesetaraan politik sebagai fondasi utama. Robert Dahl menegaskan bahwa demokrasi kehilangan maknanya ketika proses politik dikuasai oleh ketimpangan sumber daya, termasuk uang (Dahl, 1989).

Dalam perspektif Islam, kondisi ini tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga menyalahi prinsip ‘adl (keadilan) yang menjadi tujuan utama syariat. Politik uang menjadikan suara rakyat sebagai barang dagangan, bukan kesaksian nurani warga negara. Akibatnya, kebijakan publik lebih dekat pada kepentingan elite daripada kemaslahatan umat (UNDP, 2016).

Baca...  Menyingkap Rahasia Kesehatan Mental:Refleksi Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah

Gerakan Sipil Muslim Patani

Kesadaran inilah yang mendorong masyarakat sipil Muslim Patani untuk bersikap. Pada 25 Desember 2025, perwakilan pemuda Patani bersama jaringan komunitas dan kelompok Projek Sama Sama mengajukan surat terbuka kepada Ketua Majlis Agama Islam wilayah Patani.

Mereka meminta kejelasan dan penegasan hukum agama (hukm shar‘ī) terkait praktik jual beli suara dalam pemilu lokal dan nasional yang akan berlangsung awal 2026 (Wartani, 2025). Langkah ini mencerminkan ikhtiar kolektif untuk menempatkan syariat sebagai sumber etika publik, bukan sekadar simbol ritual.

Di tingkat akar rumput, realitas sosial menunjukkan adanya perbedaan tafsir. Sebagian masyarakat memandang pemberian uang dari kandidat sebagai sedekah atau bantuan sosial, sementara sebagian lain menilainya sebagai risywah yang diharamkan.

Ambiguitas ini menciptakan kebingungan moral dan melemahkan daya tahan umat dalam menjaga integritas demokrasi (Wartani, 2025). Dalam kerangka fiqh siyasah, kondisi semacam ini menuntut kejelasan hukum demi menjaga maslahah ‘ammah dan menutup pintu kerusakan (sadd al-dharā’i‘), sebagaimana ditegaskan oleh Al-Ghazali (1993).

Jihad Moral di Era Digital

Gerakan etika ini diperkuat oleh suara para aktivis lokal. Zahri Ishak, salah satu aktivis masyarakat Patani, menyampaikan bahwa kampanye menolak risywah mulai mendapat respons positif dan menyebar luas. Ia menekankan pentingnya membangun kesepakatan publik untuk tidak menerima uang pemilu sebagai bagian dari menjaga martabat politik umat (Zahri, 2025).

Pernyataan ini mencerminkan kesadaran bahwa amar ma‘ruf nahi munkar dalam politik adalah tanggung jawab kolektif, bukan monopoli ulama atau negara. Menariknya, dakwah etika ini juga memanfaatkan ruang digital sebagai medan jihad moral kontemporer.

Projek Sama Sama mendorong generasi muda untuk menggunakan media sosial sebagai ruang musyawarah dan tabayyun: mengumpulkan aspirasi warga, memeriksa kebenaran informasi, serta membangun narasi politik dari sudut pandang umat sendiri (Projek Sama Sama, 2025).

Baca...  Bacalah Sejarahmu Agar Tak Sekadar Jadi Penonton

Dalam konteks ini, demokrasi dipahami bukan hanya sebagai prosedur elektoral, tetapi sebagai proses pengambilan keputusan yang harus dijaga dengan nilai kejujuran dan tanggung jawab spiritual.

Dari perspektif etika Islam kontemporer, praktik ini sejalan dengan pandangan Yusuf al-Qaradawi yang menegaskan bahwa korupsi politik, termasuk suap dalam pemilu, adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah publik dan bertentangan dengan maqāṣid al-sharī‘ah, khususnya dalam menjaga keadilan, harta, dan kehormatan masyarakat (Al-Qaradawi, 1997).

Dengan demikian, penolakan terhadap politik uang bukan sekadar sikap idealis, melainkan ibadah sosial yang bertujuan menjaga tatanan masyarakat yang adil dan bermartabat.

Kesimpulan

Pengalaman Muslim Patani menunjukkan bahwa menjadi minoritas tidak menghalangi peran sebagai penjaga nilai. Justru dari posisi tersebut, mereka mampu menghidupkan kembali etika politik berbasis iman. Ketika minoritas Muslim berani menegaskan nilai amanah, kejujuran, dan keadilan, demokrasi tidak lagi sekadar mekanisme kekuasaan, tetapi menjadi sarana menunaikan tanggung jawab di hadapan Allah SWT.

Dalam konteks masyarakat multikultural, refleksi dari Patani melampaui batas wilayahnya. Ia mengingatkan bahwa demokrasi yang sehat tidak hanya ditopang oleh hukum dan institusi, tetapi oleh kesadaran spiritual warga. Ketika minoritas berbicara tentang etika Islam, sesungguhnya mereka sedang mengajak seluruh masyarakat—lintas agama dan identitas—untuk menjaga martabat demokrasi sebagai ruang keadilan bersama.

1 posts

About author
Awardee KNB Scholarship – Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
Articles
Related posts
Esai

Mengenal Jumlah Hitungan Ayat Yang Terdapat dalam Al-Qur’an

2 Mins read
Di tengah masyarakat, beredar anggapan populer bahwa jumlah ayat Al-Qur’an mencapai 6.666 ayat. Pandangan ini sering memicu perdebatan di berbagai forum diskusi…
Esai

Al-Qur'an Itu Up to Date: Memahami Keajaiban Kitab Suci yang Tak Lekang Oleh Zaman

5 Mins read
Diskursus tentang Al-Qur’an sebagai kitab suci yang relevan sepanjang zaman selalu menghadirkan pembahasan yang menarik dan mendalam. Banyak kalangan mempertanyakan bagaimana mungkin…
EsaiFilsafat

Hermeneutika Sebagai Filsafat Penafsiran di Era AI

2 Mins read
Dalam buku terbarunya yang berjudul Hermeneutika: Pengantar ringkas, Prof. Bambang Sugiharto–salah seorang filsuf terkemuka di Indonesia–mencoba menjelaskan urgensi hermeneutika sebagai bukan hanya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Silsilah Az-Zahab Dalam Ilmu Hadis

Verified by MonsterInsights