Ada kata-kata dalam Al-Qur’an yang selalu terasa lebih dalam dari bahasa. Ruh adalah salah satunya. Ia sering disebut, tetapi jarang benar-benar dipahami. Dekat dengan hidup manusia, namun terasa jauh dari jangkauan akal. Dalam satu ayat, ruh tampil sebagai sesuatu yang tak terjelaskan; dalam ayat lain, kata yang sama justru hadir sebagai sesuatu yang menghidupkan, membangunkan manusia dari kegelapan batin.
Dua ayat itu adalah QS Al-Isrā’ [17]: 85 dan QS Asy-Syūrā [42]: 52, sering dibaca secara terpisah. Padahal, jika didekatkan, keduanya membentuk satu tarikan makna tentang keterbatasan manusia dan tentang kehidupan yang dianugerahkan wahyu. Fakhr al-Dīn al-Rāzī adalah salah satu mufasir yang dengan sabar menelusuri lanskap ini. Ia tidak tergesa-gesa menjinakkan ruh dengan definisi, tetapi juga tidak membiarkannya menjadi teka-teki kosong.
Dalam bacaannya, ruh bergerak dari misteri metafisik menuju prinsip kehidupan dan wahyu. QS Al-Isrā’ [17]: 85 datang sebagai jawaban atas rasa ingin tahu manusia yang ingin menuntaskan segalanya. Tentang ruh, Al-Qur’an tidak memberi uraian panjang. Ia hanya berkata pelan, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku.” Bagi al-Rāzī, jawaban ini bukan penolakan berpikir, melainkan cara Al-Qur’an mendidik manusia agar mengenali batas akalnya (al-Rāzī, 2000: 165). Akal tetap penting, tetapi tidak ditempatkan sebagai penguasa makna.
Ruh, menurut al-Rāzī, bukan bagian dari tubuh dan bukan pula hasil campuran unsur-unsur material. Ia adalah substansi non-fisik yang keberadaannya bergantung pada kehendak Tuhan (al-Rāzī, 2000: 168). Karena itu, upaya memahami ruh sepenuhnya dengan instrumen indra dan rasio pasti menemui kebuntuan. Namun kebuntuan ini bukan kegagalan, melainkan pengingat bahwa tidak semua yang penting harus ditaklukkan oleh definisi.
Pandangan ini sejalan dengan pembacaan Toshihiko Izutsu. Menurutnya, Al-Qur’an tidak selalu bertujuan memberi definisi ontologis yang kaku, melainkan membangun worldview, cara manusia memandang diri dan realitas (Izutsu, 2002: 14). Dalam kerangka ini, ketidakterjelasan hakikat ruh bukan kekurangan, tetapi strategi makna. Kalimat “kalian tidak diberi ilmu kecuali sedikit” bukan penghentian nalar, melainkan etika pengetahuan: mengetahui berarti juga tahu kapan harus merendah.
Jika pembicaraan tentang ruh berhenti di QS Al-Isrā’, kita mungkin akan pulang dengan kesan bahwa ruh adalah wilayah sunyi yang hanya bisa diterima dengan diam. Namun Al-Qur’an tidak membiarkan manusia berhenti di sana. Dalam QS Asy-Syūrā [42]: 52, kata ruh kembali hadir dengan arah yang berbeda:
﴿وكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا﴾
Al-Rāzī membaca ayat ini dengan tegas. Yang dimaksud dengan ruh di sini, katanya, adalah Al-Qur’an. Ia dinamai ruh karena fungsinya: memberi kehidupan dari kematian akibat kebodohan dan kekufuran (al-Rāzī, 2000: 166).
والمُرادُ بِهِ القُرْآنُ، وسَمّاهُ رُوحًا، لِأنَّهُ يُفِيدُ الحَياةَ مِن مَوْتِ الجَهْلِ أوِ الكُفْرِ
Dengan kata lain, Al-Qur’an bukan sekadar teks yang dibaca, melainkan daya yang bekerja. Dalam bacaan ini, Al-Qur’an membangunkan kesadaran, menggerakkan akal, dan memberi arah pada hidup yang kehilangan orientasi. Di sinilah ruh menemukan maknanya yang paling dekat dengan manusia. Bukan untuk diperdebatkan, melainkan untuk dihidupi. Fazlur Rahman membaca wahyu dalam kerangka yang sejalan. Baginya, Al-Qur’an adalah respons ilahi terhadap kondisi moral manusia, bukan kumpulan proposisi teologis yang berdiri di luar sejarah. Wahyu bekerja dalam kesadaran dan pengalaman, membentuk manusia yang hidup secara etis (Rahman, 1982: 5).
Jika dilihat secara semantik, penggunaan kata ruh dalam dua ayat ini tidak bertentangan. Justru sebaliknya, ia menunjukkan konsistensi makna. Izutsu mencatat bahwa kata-kata kunci Al-Qur’an sering memiliki medan makna yang luas, tetapi tetap berporos pada satu inti (Izutsu, 2002: 24). Dalam hal ruh, poros itu adalah kehidupan, bukan sekadar hidup biologis, melainkan hidup yang sadar dan bermakna.
QS Al-Isrā’ [17]: 85 menegaskan bahwa sumber kehidupan itu berada di luar jangkauan penuh manusia. QS Asy-Syūrā [42]: 52 menunjukkan bagaimana sumber itu “diturunkan” agar manusia tidak hanya hidup, tetapi tahu untuk apa ia hidup. Seyyed Hossein Nasr menyebut wahyu sebagai napas metafisis yang menjaga kehidupan manusia agar tidak tereduksi menjadi mekanisme duniawi belaka (Nasr, 1989: 35).
Pada titik ini, pembacaan al-Rāzī memberi pelajaran penting bagi praktik keberagamaan kontemporer. Ketika agama direduksi menjadi slogan, angka, atau kepastian instan, ruh wahyu justru terancam kehilangan daya hidupnya. Al-Qur’an dibaca, tetapi tidak lagi menghidupkan. Ayat-ayat dikutip, tetapi tidak menggerakkan kesadaran. Dalam konteks ini, menyebut Al-Qur’an sebagai ruh menjadi kritik halus terhadap cara beragama yang sibuk menguasai teks, tetapi lupa dihidupi olehnya.
Di zaman yang terobsesi dengan kepastian cepat, pembacaan al-Rāzī terasa kontras. Kita ingin tahu segalanya sekarang juga. Namun Al-Qur’an, melalui kata ruh, justru mengajarkan bahwa tidak semua yang penting harus selesai di kepala. QS Al-Isrā’ [17]: 85 melatih kerendahan hati intelektual. QS Asy-Syūrā [42]: 52 menawarkan jalan hidup. Yang satu menahan kesombongan akal, yang lain menggerakkan jiwa.
Dalam dunia yang dipenuhi informasi tetapi miskin orientasi, Al-Qur’an hadir bukan sebagai ensiklopedia, melainkan sebagai ruh, sesuatu yang menghidupkan dari dalam. Membaca dua ayat ini bersama al-Rāzī mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya soal memahami makna, tetapi soal dihidupi oleh makna itu sendiri. Dua ayat, satu ruh: yang satu mengajarkan batas, yang lain memberi napas.
Referensi
al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. Mafātīḥ al-Ghayb. Beirut: Dār al-Fikr, 2000.
Izutsu, Toshihiko. God and Man in the Qur’an. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002.
Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. Albany: SUNY Press, 1989.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity. Chicago: University of Chicago Press, 1982.

