(Sumber Gambar: Fitrah) |
Oleh: Fitratul Akbar*
KULIAHALISLAM.COM – Seperti soal
kebangsaan, pengertian tentang kerakyatan bermacam-macam pula, menurut sifat
golongan yang menganjurkannya. Dan kerakyatan yang dipahami oleh Pendidikan
Nasional Indonesia sebagai asas yang kedua padanya berlainan daripada cita–cita kerakyatan yang
biasa, tiruan dari demokrasi Barat.
Dalam pasal 2 daripada dasar disebutkan: “Asas
kerakyatan mengandung arti bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala hukum
(peraturan peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran
yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan haruslah
sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia berlandaskan kedaulatan rakyat.
Asas kedaulatan rakyat ini yang menjadi sendiri pengakuan oleh segala jenis
manusia yang beradab, bahwa tiap–tiap
bangsa mempunyai hak untuk menentukan
nasibnya sendiri”.
Inilah dasar
kerakyatan bagi Pendidikan Nasional Indonesia!. Supaya tercapai suatu
masyarakat yang berdasar keadilan dan kebenaran, haruslah insyaf akan hak dan
harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri dan
bagaimana ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya, cara mengatur pemerintahan
negeri, cara menyusun perekonomian negeri, semuanya harus diputuskan oleh
rakyat dengan mufakat. Pendek kata, rakyat itu daulat alias raja atas dirinya.
Tidak lagi orang–seorang
atau sekumpulan orang pandai atau golongan kecil saja yang meenntukan nasib
rakyat dan bangsa, melainkan rakyat sendiri. Inilah arti kedaulatan rakyat!
Inilah suatu dasar demokrasi atau kerakyatan yang seluas–luasnya. Tidak saja dalam
hal politik, melainkan juga dalam hal ekonomi dan sosial demokrasi, keputusn
dengan mufakat rakyat yang banyak.(Demokrasi
Kita, Bung Hatta, hlm 20-21).
Demokrasi artinya
pemeritahan rakyat, yaitu rakyat yang memerintah diri sendiri. Selain demokrasi,
dalam sejarah dunia terdapat pemerintahan negeri yang berdasar otokrasi, yaitu
kekuasaan orang seorang, dan oligarki, yaitu kekuasaan yang hanya pada suatu
golongan kecil.
Montesquieu,
seorang Ahli Perancis mengatakan bahwa pemerintahan demokrasi tidak dapat
berlaku cepat seperti pemerintahan otokrasi atau oligarki, karena sennatiasa
diadakan lebih dahulu mufakat orang banyak sungguhpun begitu demokrasi masih
lebih baik daripada otokrasi atau oligarki. Dua yang terakhir tersebut mudah menimbulkan
kelaliman. Dalam demokrasi tidak ada revolusi, karena rakyat memerintah
sendiri. Kepada diri sendiri, rakyat tidak dapat berontak.
Montesquieu
membagi kekuasaan yang ada dalam negeri atas tiga jenis. Pertama, kekuasaan
yang membuat hukum negeri. Kedua, kekuasan yang menjalan peraturan peraturan
aturan yang dibuat. Ketiga, kkeuasaan yang menjaga supaya hukum di negeri itu
tidak dilanggar orang. Kekuasaan yang pertama ada pada dewan rakyat, kekuasaan
yang kedua ada pada rakyat, dan kekuasan yang ketiga ada pada dan dilakukan
oleh hakim, yang bebas dari pengaruh
dewan rakyat dan pemerintah.(hlm 22).
Oleh sebab menurut
dasar demokrasi sekarang keputusan yang paling tinggi dalam hal urusan dan
pemerintahan ada pada rakyat dengan perantaraan dewan perwakilannya, maka
pemerintahan yang semacam itu boleh dinamai pemerintahan rakyat. Demokrasi
adalah pemerintahan rakyat.(hlm 24).
Menurut dasar
demokrasi itu, hak rakyat untuk menentukkan nasibnya tidak saja ada pucuk
pemerintahan negeri, melainkan juga pada setiap tempat di kota, di desa dan di
daerah. Tiap tiap golongan persekutuan itu mempunyai badan perwakilan sendiri.
Dengan keadaan yang demikian,
maka tiap-tiap bagian atau golongan
rakyat mendapat otonomi (membuat dan menjalankan peraturan sendiri–sendiri) dan (menjalankan
peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi). Jadinya, bukan saja
persekutuan yang besar, bukan rakyat seluruhnya mempunyai hak menentukan
nasibnya sendiri, melainkan juga tiap–tiap
bagian dari negeri atau bagian dari rakyat yang banyak. Keadaan yang seperti
itu penting sekali, karena keperluan tiap–tiap
daerah dalam suatu negeri tidak sama, melainkan berlain–lainan.(hlm 25).
Kekuasaan Atas
Dasar Permusyawaratan
Kedaulatan rakyat
berarti bahwa kekuasan untuk pemerintahan negara ada pada rakyat. Rakyat
berdaulat, berkuasa penh untuk menetukan cara bagaimana ia harus diperintah.
Tetapi putusan rakyat yang dapat mejadi peraturan pemerintahan bagi orang
semuanya ialah keputusan yang ditetapkan dengan cara mufakat dalam satu perundingan
yang teratur bentuknya dan jalannya. Bukanlah keputusan yang sekonyong–konyong diambil dengan
cara mendadak dalam suatu rapat orang banyak yang tersendiri saja, dengan
menyerukan bersama sama “mufakat”. Di sini tak ada permusyawaratan lebih dahulu,
sebab itu bukanlah keputusan menurut “kedaulatan rakyat”.
Jadinya,
kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat atas nama rakyat
di atas dasar permusyawaratan. Permusyawaratan itu boleh langsung diadakan oleh
semua orang yang deawasa pada satu daerah atau dengan jalan perwakilan, dengan
jalan yang tidak langsung. Permusyawaratan yang langsung hanya mungkin dapat
dilakukan dalam suatu desa yang tidak begitu besar jumlahnya. Akan tetapi,
manakala daerah itu sudah agak besar, maka permusyawaratan selalu dilakukan
dengan jalan perwakilan. Tidak rakyat seluruhnya lagi mengambil keputusan,
melainkan wakil–wakilnya.
Kalau rakyat berkuasa menentukkan peraturan tentang hidup bersama dalam negara,
maka rakyat bertanggung jawab pula tentang segala akibat daripada peraturan
yang diperbuatnya itu.(hlm 51).
Kedaulatan rakyat
memberi kekuasaan yang tertinggi kepada rakyat, tetapi juga meletakkan tanggung
jawab yang terbesar. Dasar pemerintahan yang adil ialah, siapa yang mendapat
kekuasaan dia itulah yang bertanggung jawab. Manakala rakyat sekarang mendapat
kekuasaan menurut kedaulatan rakyat, rakyat itu pulalah yang bertanggung jawab.
Aristoteles
berkata, bahwa pemerintahan negara yang bersifat pemerintahan rakyat lebih kuat
pertahanannya revolusi daripada pemerintahan yang berdasar satu golongan yang
terkecil. Terhadap dia sendiri rakyat tidak akan berontak. Pemerintahan rakyat
hanya mungkin dirobohkan, apabila satu golongan kecil daripada rakyat yang kuat
senjatanya dan baik organisasinya, merebut kekuasaan daripada rakyat dan menanam
diktatornya atas arakyat.(hlm 52).
Tetapi nyatalah
bahwa kekuasan atas orang banyak yang dilakukan oleh orang seorang, yaitu raja,
atau oleh satu golongan kecil, oligarkhi, pada dasarnya oleng kedudukannya.
Kekuasaaan semacam itu tidak dapat dan juga tidak ingin bertanggung jawab, ia
dapat dituntut oleh rakyat tentang cara ia melakukan kekuasannya. Jika ia dapat
dituntut, ia pun dapat dipecat. Pemecatan diktator hanya dapat berlaku dengan
kekerasan, dengan jalan pemberontakan rakyat.
Pemerintahan yang
berdasar kepada kedaulatan rakyat pada hakikatnya lebih teguh, karena ia
dijunjung oleh tanggung jawab bersama. Keinsyafan akan tanggung jawab mendidik
dalam dada manusia perasaan kewajiban. Manakala rakyat seluruhnya merasa kewajibannya
untuk mencapai keselamatan bersama, maka tertanamlah sendiri negara yang kokoh.(hlm 52).
Bahwasannya
pemerintah negara yang berdasar kekuasan orang seorang, kekuasaan raja, tidak
memberikan susunan yang kuat kepada negara, terbukti dalam sejarah segala masa.
Rakyat dalam negeri itu tidak merasa ikut bertanggung jawab. Ia merasa hanya
dibebani dengan kewajiban terhadap negara. Dan kewajiban yang ditimpakkan,
dirasakan oleh rakyat sebagai suatu tindasan.
Rakyat yang
menderita tindasan pada umumnya tidak merasa kewajiban unuk mempertahankan
negerinya. Dia tidak peduli akan siapa yang memerintahnya. Ingatannya yang
terutama ialah kapan akan terlepas dari tindasan itu. Dan selama rakyat belum
mendapat jalan untuk melepaskan dirinya dari tindasan rajanya, selama itu ia
tidak mempunyai jiwa yang ingin berbakti kepada tanah air. Oleh karena itu,
negara yang diperintah oleh seorang
raja dengan dasar kuasa sendiri yang sepenuh penuhnya, mudah sekali gugur.
*)Penulis adalah Mahasiswa Ekonomi Syariah, FAI, UMM. Pegiat Isu-isu Ekomoni, Politik Islam, Kemanusiaan dan Perdamaian.