KeislamanTafsir

Dekonstruksi Akidah dalam Tafsir Babiyah dan Bahaiyah

3 Mins read

Dalam sejarah panjang peradaban Islam, penafsiran Al-Qur’an selalu menjadi wilayah yang dinamis, multiinterpretatif, dan penuh perdebatan intelektual. Namun, tidak semua penafsiran dapat diterima dalam koridor teologis Islam. Di sinilah konsep al-dakhil fi at-tafsir menjadi relevan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan masuknya unsur-unsur luar, baik berupa ideologi, klaim spiritual, maupun kepentingan politik, ke dalam penafsiran ayat-ayat suci. Infiltrasi seperti ini sering kali menghasilkan pemaknaan yang jauh dari pesan Al-Qur’an yang sebenarnya.

Salah satu contoh paling menarik sekaligus kontroversial dari fenomena ini terlihat pada penafsiran yang dikembangkan oleh dua aliran keagamaan yang muncul di Persia abad ke-19, yaitu Babiyah dan Bahaiyah. Kedua aliran ini lahir dari tradisi Syiah Itsna Asy’ariyah, tetapi berkembang menjadi gerakan teologis yang akhirnya dipandang keluar dari Islam. Dalam perjalanannya, kedua aliran ini tidak hanya membawa doktrin baru, tetapi juga memproduksi penafsiran Al-Qur’an yang menyimpang suatu bentuk dekonstruksi akidah yang menggeser makna asli teks suci.

Akar Historis Babiyah: Ketika Pemimpin Menjadi Pusat Kebenaran

Aliran Babiyah didirikan oleh Mirza Ali Muhammad Asy-Syairazi, seorang pemuda dari Syairaz yang mengklaim dirinya sebagai Al-Bab, “pintu” menuju Imam Mahdi yang ghaib. Dalam situasi sosial-politik Iran yang kacau, klaim ini dengan cepat mendapatkan pengikut. Lebih jauh lagi, Mirza Ali Muhammad mengangkat dirinya sebagai Al-Mahdi Al-Muntazhar, sosok yang ditunggu-tunggu dalam tradisi Syiah.

Klaim ini menjadi fondasi dari penafsiran Babiyah, yang kemudian menjadikan figur pimpinan sebagai tokoh sentral dalam membaca Al-Qur’an. Banyak ayat dipaksakan maknanya agar sesuai dengan doktrin mereka.

Contoh penyimpangan tafsir: QS. Al-Isra’ (17): 82

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang beriman…”

Baca...  Ragam Motif Orientalisme dalam Kajian Keislaman

Menurut Babiyah:

  • “Al-Qur’an” = Nabi Muhammad
  • “Penawar dan rahmat” = Ali bin Abi Thalib

Dengan ini, ayat yang jelas berbicara tentang petunjuk dari Al-Qur’an diarahkan menjadi legitimasi spiritual bagi figur imam tertentu. Hal ini bukan dialog teologis, tetapi upaya memusatkan seluruh makna wahyu kepada sosok yang mereka anggap suci.

Contoh lain: QS. Al-Hadid (57): 13

Ayat tentang dinding pemisah antara mukmin dan munafik ditafsirkan sebagai:

  • dinding = Nabi Muhammad
  • pintu = Ali
  • rahmat = kewalian Ali

Dengan demikian, hubungan antara iman dan kemunafikan yang menjadi pesan inti ayat tergantikan oleh simbolisasi hubungan antara Nabi dan Ali. Ini adalah bentuk al-dakhil yang jelas ketika doktrin internal kelompok menggantikan makna teks.

Bahaiyah: Dari Pengembangan Doktrin Menjadi Agama Baru

Bahaiyah muncul dari perselisihan internal Babiyah setelah wafatnya Al-Bab. Tokoh utamanya adalah Mirza Husain Ali An-Nuri, yang kemudian dikenal sebagai Baha’ullah. Ia bukan saja mengklaim sebagai penerus Al-Bab, tetapi juga sebagai manifestasi Tuhan dan pemilik “ruh ilahi”.

Klaim ini membuat arah penafsiran Bahaiyah semakin jauh dari Islam. Penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an direkayasa untuk mendukung posisi Baha’ullah sebagai figur spiritual tertinggi.

Contoh paling jelas: QS. Yusuf (12): 4

“Aku melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”

Bahaiyah menafsirkan:

  • Yusuf = Husein bin Ali
  • Matahari = Fatimah
  • Bulan = Nabi Muhammad
  • Bintang = para imam mereka

Padahal ayat ini berbicara tentang mimpi Nabi Yusuf, dengan konteks sejarah dan naratif yang lengkap. Bahaiyah memutus kisah ini dari konteksnya dan menjadikannya sebagai simbolisasi tokoh-tokoh dalam keluarga Nabi Muhammad. Ini adalah penafsiran batiniyah ekstrem yang tidak didukung metodologi tafsir apa pun.

Dekonstruksi Akidah: Menggeser Pilar-Pilar Keimanan

Baik Babiyah maupun Bahaiyah tidak sekadar menafsirkan ayat secara keliru. Mereka secara sistematis melakukan rekonstruksi ulang makna akidah Islam, sehingga menghasilkan doktrin baru yang berbeda dari ajaran nabi.

Baca...  Al-Tabarsi dan Konsep Taqiyah dalam Tafsir Majma‘ Al-Bayan: Analisis QS. Ali Imran Ayat 28

Berikut beberapa bentuk dekonstruksi akidah yang tampak jelas:

  1. Mengangkat manusia ke tingkat ketuhanan

Dalam Bahaiyah, Baha’ullah dianggap sebagai manifestasi Tuhan. Ini bertentangan langsung dengan konsep tauhid dalam Islam.

  1. Membatalkan finalitas kenabian

Islam menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Namun kedua aliran ini membuka kembali pintu kenabian dan mengklaim adanya utusan baru setelah beliau.

  1. Mengubah syariat Islam menjadi versi baru

Bahaiyah bahkan mengganti:

  • shalat menjadi 19 rakaat,
  • waktu i’tidal hanya 4 kali,
  • puasa hanya 19 hari di bulan ke-19,
  • kiblat mengikuti lokasi pemimpin.

Ini adalah bentuk penolakan terhadap firman Allah dalam QS. Al-Maidah:3 tentang kesempurnaan syariat.

  1. Menafsirkan hari kiamat sebagai hadirnya pemimpin mereka

Konsep hari kiamat diubah menjadi simbol “kemunculan Baha’ullah”, bukan kehancuran alam semesta seperti dijelaskan Al-Qur’an.

  1. Melahirkan tafsir simbolik tanpa batas

Penafsiran batiniyah digunakan untuk menyelewengkan makna teks dan mengarahkannya pada pembenaran doktrin.

Mengapa Penyimpangan Ini Penting Dikritisi?

Penafsiran Babiyah dan Bahaiyah bukan sekadar perbedaan pendapat. Ia adalah bentuk infiltrasi ideologis yang:

  • menghilangkan esensi tauhid,
  • mengubah konsep kenabian dan wahyu,
  • mengacaukan pemahaman surga, neraka, dan hari akhir,
  • menciptakan agama baru di luar Islam,
  • serta menjadikan Al-Qur’an sebagai alat legitimasi kekuasaan spiritual.

Inilah yang membuatnya menjadi studi penting dalam kajian al-dakhil fi at-tafsir: bagaimana teks suci dapat dimanipulasi ketika metodologi tafsir ditinggalkan dan digantikan oleh doktrin kelompok.

Pelajaran Penting dari Tafsir Menyimpang

Kisah Babiyah dan Bahaiyah mengingatkan kita bahwa penafsiran Al-Qur’an harus mengikuti kaidah yang benar agar tidak jatuh pada penyimpangan akidah. Tanpa metodologi yang kokoh, teks suci dapat menjadi alat untuk membangun agama baru yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah.

Baca...  Syekh Al-Banjari Ulama Kesultanan Banjar

Melalui kajian kritis seperti ini, kita belajar bahwa dekonstruksi akidah tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia terjadi ketika klaim spiritual manusia dikedepankan lebih tinggi daripada wahyu, ketika simbolisme batini mengalahkan makna literal, dan ketika ambisi kekuasaan diselimuti bahasa kesucian.

Memahami penyimpangan tafsir Babiyah dan Bahaiyah adalah bagian dari menjaga kemurnian makna Al-Qur’an dan memastikan bahwa tafsir tetap menjadi jalan menuju kebenaran, bukan alat untuk membelokkan umat.

Related posts
Keislaman

Dari Malcolm X ke Zohran Mamdani: Spektrum Ideologi Konservatif–Liberal dalam Politik Islam Minoritas di Tengah Islamofobia

5 Mins read
Dinamika politik Islam di kawasan minoritas selalu menghadirkan ketegangan antara identitas, representasi, dan strategi menghadapi marginalisasi. Dua figur yang sering dijadikan contoh…
Keislaman

Qisas Dalam Hukum Pidana Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Qisas dalam hukum pidana Islam yaitu memberikan perlakuan yang sama terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana dia melakukannya terhadap korban. Qisas hanya tertuju…
KeislamanKisah

Ketika Psikoanalisis Melihat Nabi Musa

3 Mins read
Sudah mafhum bahwa logis dan rasional adalah kata kunci untuk memahami jalan pikiran Nabi Musa. Selama puluhan tahun, Nabi Musa hidup bersama…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
OpiniPolitik

Ketidakpastian dalam Pilkada Tidak Langsung

Verified by MonsterInsights