Kuliahalislam.Dinasti Bani Seljuk (Salajiqah) bahkan sekelompok keluarga Kerajaan Turki keturunan Seljuk bin Duqaq (Tuqaq) dari suku bangsa Guzz yang berimigrasi dari Turkistan, kemudian menetap di daerah yang terletak diantara Transoksania (mawara’a an-nahr : apa yang ada di belakang Sungai yaitu Transoksania) dan daerah yang ditempati kelompok suku Turki Kirluk yang telah memeluk agama Islam.
Mereka berkuasa sejak abad ke-11 sampai ke-13 dalam wilayah yang luas meliputi Asia dekat dan Asia Tengah. Para ahli sejarah membedakan ada 5 cabang Dinasti Seljuk yaitu Seljuk Iran (Seljuk Besar), Seljuk Irak (al-Iraq), Seljuk Kirman (al-Qawurdiyun), Seljuk Asia Kecil (ar-Rum) dan Seljuk Suriah (asy-Syams).
Seljuk Iran (Seljuk Besar)
Seljuk Iran (Seljuk Besar) adalah nama Seljuk dikaitkan dengan nama pendirinya yaitu Seljuk bin Duqaq (Tuqaq) yang menjadi cikal bakal dinasti. Mereka memeluk Islam sehingga mudah berhubungan dengan negara-negara tetangganya yang telah memeluk Islam. Dalam peperangan yang sering terjadi di antara raja-raja Samaniyah dan Khaniyah, Seljuk berpihak pada raja-raja Samaniyah yang kemudian memperkenankan mereka menyeberangi wilayahnya untuk menuju daerah pinggiran Sungai Sihun (S. Syrdarya, Kazakhstan), kemudian mengambil kota Jund ( daerah sekitar dan Transoksania) untuk dijadikan pangkalan. Seljuk berkembang menjadi kuat dan disegani serta sangat berpegang teguh pada ajaran Islam.
Seljuk bin Duqaq meninggalkan empat putra yaitu Israil, Musa Bigu, Yunus, dan Mikail. Israil, yang menggantikan kedudukan ayahnya tidak mampu menghadapi serangan penguasa Daulah Gaznawiyah (367-583 H/977-1187 M). Di bawah penggantinya yaitu Mikail, orang-orang Seljuk dibawa melintasi daerah Jihun, kemudian menetap di Khurasan.
Mereka kemudian terlibat peperangan dengan Sultan Mas’ud al-Gaznawi. Di bawah panglima Tugril Beg, orang-orang Seljuk berhasil menghancurkan Daulah Gaznawiyah dan menduduki singgasana kerajaan di Nisabur pada tahun 429 H/1038 M. Oleh sebab itu, Tugril Beq dipandang sebagai pendiri Dinasti Seljuk yang sebenarnya. Menduduki jabatan Sultan (429-455 H/1038-1063 M), dia secara resmi mendapat pengakuan dari khalifah Daulah Abbasiyah yaitu al-Qa’im (423-468 H/1031-1075 M), dan namanya kemudian disebut dalam khutbah jumat di kota Baghdad.
Daerah kekuasaan Tugril Beg meliputi Iran dan sekitar Transoxania. Dia dengan mudah mendapat pengakuan dari Baghdad yang pada saat itu dalam keadaan lemah secara militer, politik dan ekonomi. Pada tahun 433-434 H/1041-1042 M, Tugril Beq berhasil memperluas wilayahnya dengan merebut Jurjan, Tabaristan, Rayy, Quzwain dan Zanjan hingga menguasai hampir seluruh wilayah Iran dan kemudian memindahkan ibukotanya ke Rayy.
Selama memegang kekuasaan, Tugril Beq menggalang persatuan yang kuat dengan saudara-saudaranya dan memberikan kepada mereka wilayah kekuasaan tertentu. Pada tahun 442-443 H/1050-1051 M, ia berhasil merebut kota Isfahan dan menghancurkan kekuatan Daylamah di Persia. Kemenangannya lebih disempurnakan lagi dengan merebut Azarbaijan pada tahun 446 H/1054 M dan Hamadan tahun 447 H/1055 M. Hal ini menjadi batu loncatan menuju Baghdad yang pada saat itu dikuasai oleh Dinasti Buwaihi, dengan rajanya yang terakhir adalah Malik ar-Rahim. Tugril Beq berhasil menundukkan kekuatan Dinasti Buwaihi dan menangkap Malik ar-Rahim, kemudian membicarakannya di Rayy, sampai wafat pada tahun 450 H/1058 M.
Pada saat yang sama ada persekongkolan antara al-Basasiri ( panglima Dinasti Buwaihi) dan khalifah al-Mustansir, penguasa Daulah fatimiyah di Mesir, (1036-1094 M) untuk menggulingkan khalifah Daulah Abbasiyah yaitu al-Qa’im dan supremasi Daulah Buwaihi di dalamnya. Beberapa wilayah Dinasti Buwaihi kemudian dia gabungkan ke dalam kekuasaan seperti Kirman, Khuzistan, Aman dan Irak Barat.
Al-Basasiri gagal menguasai Baghdad, kemudian meneruskan perlawanannya dari al-Mawsil (Mosul, Irak). Permusuhan itu telah mengambil warna baru yaitu pertentangan antara ahli sunnah (Suni) yang diwakili oleh khalifah Daulah Abbasiyah yaitu al-Qa’im bersama Tugril Beq dan Syiah yang diwakili oleh Khalifah Dinasti Fatimiyah yaitu al-Mustansir, bersama al-Basasiri.
Al-Basasiri pernah berhasil menguasai kota Baghdad dan memaksa Khalifah Abasiyyah menandatangani dokumen yang menyatakan dirinya turun tahta serta tidak adanya hak bagi Dinasti Abbasiyah atasnya dan menyerahkannya kepada Khalifah Fatimiyah yaitu al-Mustansir. Dia juga harus mengirimkan lambang kekhalifahan termasuk mantel dan peninggalan-peninggalan suci lainnya. Sorban dan jendela istananya yang sangat bagus juga dikirimkan sebagai tanda kenang-kenangan ke Dinasti Fatimiyah di Kairo, Mesir.
Al-Basasiri menguasai Istana Baghdad selama 1 tahun (tahun 1058 M), sebelum akhirnya diusir kembali oleh Tugril Beq pada tahun berikutnya. Kursi kekhalifahan dikembalikan lagi oleh Tugril Beq kepada Khalifah al-Qa’im, bahkan dia kemudian menjalin hubungan lebih erat dengan Khalifah dengan menikahi putrinya dan memboyongnya ke ibukota kerajaan Rayy pada tahun 1062 M. Setahun kemudian dia meninggal dunia setelah berkuasa selama 26 tahun. Sepeninggal Tugril Beq, kursi kekuasaannya digantikan oleh kemenakannya yang tertua yaitu Alp Arslan (wafat 1072 M), karena dia tidak mempunyai keturunan laki-laki.
Naiknya Alp Arslan mendapat perlawanan dari saudara-saudaranya yang dipelopori oleh Syihabuddaulah Qutulmisy, anak pamannya yaitu Musa Cagri. Pada tahun 457 H/1064 M, Musa Cagri menguasai daerah Transoxania yang berhasil ditaklukannya. Alp Arslan berhasil menyelesaikan konflik internal dan memerintah dengan pusat pemerintahannya di ibukota Rayy. Dia didampingi oleh seorang perdana menteri kebangsaan Persia yang sangat terkenal sepanjang sejarah yaitu Nizam al-Mulk (wafat 1092 M). Dia juga mendampingi Maliksyah selama 20 tahun. Pada waktu itu seluruh kekuasaan kekonsentrasi pada Nizam al-Mulk, sementara Sultan tidak mempunyai pekerjaan.
Masa pemerintahan Tugril Beq (1038-1063 M), Alp Arslan (1063-1072 M) dan Maliksyah (anak Alp Arslan) merupakan periode kekuasaan Bani Seljuk yang paling cemerlang. Wilyahnya meliputi bagian timur Dunia Islam. Bani Seljuk memperluas daerah penaklukannya sampai ke Asia Barat dan dapat mempersatukannya dengan kerajaan Islam.
Ras baru dari Asia tengah ini berjuang keras untuk menguasai dunia. Pada tahun kedua dari pemerintahannya, Alp Arslan berhasil menguasai Ani yang merupakan ibukota Kristen di Armenia, kemudian juga provinsi Byzantium. Pada tahun 1071 M, dalam peperangan dengan Bizantium, dia berhasil memenangkan pertempuran yang paling menentukan bagi jalannya sejarah Islam di Manzikart (Malazakrid atau Malasyrid), suatu tempat di utara Danau Van di Armenia.
Dia berhasil menangkap Kaisar Romanus IV Diagoenes. Bani Seljuk mulai menempati daratan tinggi Asia kecil yang kemudian menjadi bagian dari wilayah negara Islam dan sekaligus meletakkan basis penyebaran bangsa Turki di Asia kecil. Saudara sepupu Alp Arslan yaitu Sulaiman bin Qutulmisy (wafat 479 H/1086 M), kemudian memegang kekuasaan di wilayah baru itu dan mendirikan Kesultanan Seljuk pada tahun 1077 M.
Nicaea (Niqiyah) adalah ibukota di wilayah itu dan dari sana kemudian Qilij Arslan I, anak dari pengganti Sulaiman diserang oleh gabungan tentara salib yang pertama. Setelah itu pada tahun 1084 M, Iconium (Quniyah), kota yang paling kaya dan terbagus Asia kecil juga menjadi ibukota Seljuk.
Sepeninggal Sultan Maliksyah (485 H/1092 M) terjadi perebutan kursi Kesultanan antara Barkiyaruk bin Maliksyah (wafat 1104 M) yang mendapat dukungan dari kaum madrasah Nizamiyah dan saudara bungsunya Mahmud (wafat 1118 M) yang mendapat dukungan dari ibunya Turkhan Khatun, janda Maliksyah.
Mula-mula Mahmud diakui sebagai Sultan pada tahun 1092 M, tetapi atas desakan pengikut Nizam al-Mulk dan murid-murid madrasah Nizamiyah, Barkiyaruk juga diakui sebagai sultan yang berkedudukan di Isfahan. Dalam perkembangan berikutnya, Barkiyaruk berhasil melumpuhkan kekuatan Mahmud. Pada tahun 1997, dia mengangkat Sanjar (wafat 1157 M), saudara seayahnya menjadi penguasa di Khurasan.
Pada tahun 1099 M, Muhammad saudara Sanjar, memproklamasikan diri sebagai Sultan di Hamadan, sehingga pada waktu itu bersamaan ada dua Sultan Bani Seljuk yang diakui Khalifah Abbasiyah. Sepeninggal Barkiyaruk, anak-anak Maliksyah II menggantikan kedudukannya tetapi wilayahnya terletak terbagi-bagi kepada saudara-saudaranya ; bagian timur untuk Sanjar, bagian utara untuk Muhammad, Syam untuk anak-anak Tutusy, Asia Kecil untuk anak-anak anak-anak Qutulmisy dan Kirman dan sekitarnya untuk Seljuk Kirman dan keturunan Qawarud.
Seljuk Irak (al-Iraq)
Sepeninggal Muhammad bin Malik Syah bin Alp Arslan pada tahun 1118 M, munculah banyak Sultan Seljuk. Mereka secara resmi memerintah meskipun kadang-kadang dalam waktu yang sangat singkat dan hanya merupakan kaki tangan dari para Atabeq (bapak asuh) Amir. Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan bahwa para Sultan itu pada umumnya dibesarkan dan diasuh oleh orang-orang Turki terkemuka yang bertindak sebagai ayah kedua yang disebut Atabeq.
Masing-masing Atabeq berusaha memperjuangkan jabatan Sultan bagi ke pangeran yang diasuhnya dalam rangka meningkatkan prestise dirinya. Sebagai akibat timbul perang saudara yang berkepanjangan dan ikut sertanya pihak ketiga dalam pengangkatan para Sultan seperti Sanjar.
Seljuk di Irak berikutnya adalah Mahmud bin Muhammad bin Maliksyah (wafat 1131 M), anak sulung Sultan Muhammad yang berumur 13 tahun. Dia naik tahta pada tahun 118 atas perkenanan dari Sultan Sanjar, pamannya yang memberikan wilayah Kesultanan dari batas Khurasan sampai ke Syam.
Tetapi secara de facto dia hanya berkuasa di Irak. Irak sepeninggal Sultan Mahmud, berturut-turut naik tahta Sultan Daud (1131-1132 M), dan Tugril Beq I bin Muhammad (1132-1134 M). Pada gilirannya Sultan Mas’ud yang terkenal gagah berani menjadi Sultan Bani Seljuk pada tahun 1134-1152 M. Dia pernah memenjarakan Khalifah al-Mustarsyid (Khalifah Abbasiyah, 1138-1135 M) karena adanya pertentangan antara keduanya. Atas desakan Sultan Sanjar, Khalifah Abbasiyah dibebaskan dan menduduki jabatannya lagi.
Pada masanya, Khalifah di Baghdad menjadi bulan-bulanan dan tunduk di bawah pengaruhnya. Sepeninggal Khalifah al-Mustarsyid, karena persekongkolan orang-orang Isma’iliyah atau bahkan atas perintahnya menolak pengangkatan ar-Rashid sebagai pengganti dan mengangkat al-Muqtafi pada tahun 1136 dengan persetujuan dari para ulama, ahli fikih dan hakim-hakim di Baghdad yang direkayasa.
Sepeninggal Sultan Mas’ud, semakin banyak terjadi kekacauan sehingga peranan Atabeq semakin besar dalam mengatur pengangkatan sultan-sultan baru. Secara beruntun, Mas’ud digantikan oleh Maliksyah II (1152-1153), Muhammad II (1153-1158 M), Sulaiman Syah (1159-1161 M), Arslan Syah (1161-1175), dan Tugril II (1175-1194 M). Melihat kelemahan para Sultan itu, Khalifah seringkali ingin melepaskan atau mengurangi pengaruh mereka dengan cara mencoret nama-namanya dari khotbah Jumat.
Seljuk Kirman (al-Qawurdiyun)
Nama Kirman dikaitkan dengan pusat pemerintahan yakni daerah asal mereka untuk menduduki daerah-daerah lainnya. Seljuk Kirman dinamakan juga al-Qawurdiyun, nama yang dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Qawurud Qara Arslan Beq bin Cagri Beq Daud bin Mikail. Qawarud adalah saudara seayah Alp Arslan bin Cagri yang pergi ke Kirman ke dengan kelompok Guzz sekitar tahun 1041 M dan beberapa tahun kemudian menduduki ibukota Bardasir.
Sampai dengan tahun 455 H/1063 M, dia telah berhasil mendirikan pemerintahan di daerah Persia. Setelah merasa kuat, dia menunjukkan sikap menentang terhadap kekuasaan saudaranya, Alp Arslan tetapi kemudian surut kembali setelah merasakan keunggulan Alp Arslan. Ketika Maliksyah naik tahta menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 465 H/1072, Qawarud mencoba menggulingkannya karena merasa lebih berhak atas Tahta itu.
Dia kemudian menyiapkan pasukan dalam jumlah yang sangat besar untuk menyerang ibukoa Rayy untuk memerangi kemenakannya tetapi Maliksyah mencegatnya di Hamadan dan berhasil membunuhnya pada tahun 1074 M. Maliksyah mengangkat Sultan Syah bin Qawarud sebagai penguasa Kirman sampai tahun 477 H/1084 M.
Selanjutnya Tahta Kesultanan dipegang oleh Turan Syah (1084-1097 M), Iran Syah (1097-1100 M), Arslan Syah (1100-1142 M), Muhammad (1142-1156 M), Tugril Syah (1156-1169 M), kemudian dua orang memerintah secara bersama-sama yaitu Bahram Syah dan Arslan Syah II (1169-1176 M), Turan Syah II (1176-1183 M) dan Muhammad Syah (1183-1186 M).
Kehancuran Seljuk Kirman disebabkan oleh kedatangan raja-raja Guzz, yang kemudian berhasil mendesak dan menguasai Kesultanan bahkan akhirnya dapat menggulingkan tahta sultan yang terakhir yaitu Muhammad Syah (582 H/1186 M. Mulai tahun berikutnya wilayah Kirman menjadi kekuasaan kelompok Guzz dengan rajanya adalah Malik Dinar.
Seljuk Roma
Seljuk Roma berkuasa sekitar 220 tahun dengan jumlah Sultan kurang lebih 14 orang. Mereka berasal dari moyangnya, Abu al-Fawaris Qutulmisy bin Israil bin Seljuk yang diangkat sebagai penguasa di daerah al-Mawsil (Mosul, Irak), Diyar Bakr dan Syam (Suriah) pada masa penaklukan-penaklukan yang pertama.
Setelah mangkatnya Tugril Beq, dan naiknya Alp Arslan, dia melakukan pemberontakan karena merasa lebih berhak atas jabatan itu tetapi dia berhasil dibunuh oleh Alp Arslan. Atas campur tangan Nizam al-Mulk, keluarga ini selamat dari penghancuran total hanya saja penguasa yang tidak diperbolehkan memakai gelar Amir.
Pimpinan pemerintahan kemudian dipegang oleh Sulaiman bin Qutulmisy yang Diberi wewenang menguasai daerah Asia kecil atas perkenanan dari Maliksyah. Nama Sulaiman semakin terkenal setelah dia berhasil merebut Antiokia pada tahun 477 H/1085 M dari tangan orang-orang Philaretus Armenia. Sulaiman terlibat peperangan dengan Tutusy bin Alp Arslan yang berakhir dengan kematiannya pada tahun 1086 M.
Maliksyah kemudian mengangkat anak Sulaiman yaitu Qilij Arslan I untuk menggantikan kedudukannya. Dia berkuasa selama kurang lebih 20 tahun sampai wafatnya pada tahun 500 H/1107 M. Secara kronologis para penguasa Seljuk Roma adalah sebagai berikut ; Qilij Arslan I (1086-1107 M), Maliksyah dan Mas’ud (1107-1155 M), Qilij Arslan II (1204-1210 M), Izzuddin Kaika’us I (1210-1219),Alauddin Kaikobad (1219-1237 M), Izzuddin Kaika’us II dengan dua saudaranya (1246-1256 M), Ruknuddin Qilij Arslan IV (1257-1266 M ), Giyasuddin Kaikhusraw III (1266-1282 M ), Giyasuddin Mas’ud II dan Alauddin Kaikobad III (1282-1302 M ).
Kesultanan sejuk ini dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan dinastinasi seljuk yang lain meskipun terjadi berbagai pertentangan internal. Kehancuran Seljuk Asia Kecil ini diawali dengan masuknya orang-orang bangsa Mongol yang lama-kelamaan dapat menguasai pemerintahan dan akhirnya mampu merebut kesultanan di bawah pimpinan Gazan Khan pada masa Sultan Alauddin (702 H/1302 M).
Seljuk Suriah (Asy-Syams)
Nenek moyang kelompok ini adalah Tajuddaulah Tutusy bin Alp Arslan yang telah mulai memerintah Syam pada tahun 470 H/1078 M atas perintah Maliksyah yang memberinya wilayah kekuasaan di damaskus dan sekitarnya. Tutusy berhasil menaklukkan penguasa Damaskus pada tahun 471 H/1078 M. Sepeninggal Maliksyah dia membawa pasukannya menuju Aleppo pada tahun 485 H/1092 M dan atas pengaruh kekuasaannya, penguasa Aleppo yaitu Qasimuddaulah Aqsanqor menyatakan bahwa kualitasnya demikian pula penguasa Antiokiyah, ar-Rayy, dan Haran di Turki. Dia kemudian memakai gelar Sultan dan selanjutnya menaklukkan Azerbaijan dan Hamadan (Iran) sebagai batu loncatan untuk merebut Iran pada tahun 487 H/1094 M.
Tutusy terlibat peperangan dengan Ruknuddin Barkiyaruk, keponakannya tetapi yang disebut terakhir berhasil dikalahkannya dan kemudian melarikan diri ke Isfahan. Untuk kedua kalinya, Barkiyaruk mengadakan perlawanan lagi dan kali ini berhasil menghancurkannya dekat Rayy pada tahun 488 H/1095 M. Anak Tutusy yaitu Ridwan yang bergelar Fakh al-Muluk kemudian menjadi raja di Aleppo tetapi pemerintahan Dinasti ini tidak berumur panjang.
Pada tahun 507 H/1113 M, Ridwan bin Tutusy meninggal dunia dan tidak mempunyai penggantian kuat yang dapat menguasai pemerintahannya. Sementara itu putra Tutusy yang lain Syams al-Mulk Abu Nasr Duqaq, yang menjadi penguasa damaskus meninggal pada tahun 497 H/1104 M. Alp Arslan, putra dan pengganti Ridwan tidak lama memerintah karena dia dibunuh oleh pembantunya sendiri Lu’lu. Nasib yang sama dialami oleh penggantinya dan saudaranya yaitu Sultansyah pada tahun 511 H/1117 M. Kekuasaan di Kesultanan Seljuk Syam kemudian jatuh ke tangan para Atabeq (buri =bupati/walikota) dan Amir (Artaqi = penguasa daerah) dan tidak pernah muncul lagi dalam panggung sejarah.

