Sumber gambar : Laduni.id |
KULIAHALISLAM.COM – Apakah manusia dapat memanfaatkan Jin? Demikian
pertanyaan yang tidak jarang muncul. Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya “Jin dalam Al-Qur’an” menjelaskan sebagai berikut.
Ia menyatakan bahwa kalau yang memanfaatkan jin adalah Nabi
Sulaiman Alaihissalam dengan merujuk kepada teks-teks ayat-ayat
Alquran maka penulis (Muhammad Quraish Shihab) dapat mengiyakan. Disebutkan
dalam Alquran :
“Tuhan ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan
yang tidak wajar Engkau anugerahkan kepada selain aku,” (QS. Shad ayat 35)
“Allah telah mengabulkan antara lain dengan menunjukan
sebagian jin yang membangkang perintah Allah untuk tunduk kepada Nabi Sulaiman
akan disiksa-Nya,” (QS. Shad ayat 12).
Selanjutnya, berdasarkan sekian banyak
Hadis, ulama berpendapat bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasalam juga
memperoleh anugerah yang sama yakni dapat menunjukan jin.
Nabi Muhammad Shalallahu alaihi
wasalam pernah bermaksud mengikat jin yang mengganggu ketika salat tetapi
maksud beliau itu beliau batalkan karena mengingat permohonan Nabi Sulaiman memperoleh
anugerah yang tidak wajar diperoleh seseorang pun sesudah beliau.
Keinginan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
mengikat jin dijadikan bukti oleh sementara ulama tentang kemampuan Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Sementara ulama lain menolak pendapat ini
dengan alasan bahwa pembatalan keinginan yang didasarkan atas ingatan beliau
terhadap doa Nabi Sulaiman Alaihissalam itu bukan kemampuan bukan juga karena kerendahan hati, tetapi karena
kesadaran beliau akan tidak mampu setelah Nabi Sulaiman memohon agar kekuasaan yang dianugerahkan Allah kepadanya tidak dianugerahkan Allah kepada siapapun.
Kalau kita berpendapat bahwa Nabi dapat menguasai dan
memperperalat jin, apakah manusia selain Nabi dapat juga menguasai dan
memanfaatkannya ? Penulis (M Quraish Shihab) tidak menemukan ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar
menjawab pertanyaan ini.
Hadis-hadis Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
juga tidak ada yang saya jelaskan dapat dijadikan dalil. Kalaupun ada hadis
yang maknanya dapat mengarah ke Makna tersebut pastilah diperselisihkan kesahihannya dan kandungan maknanya.
Tidak terdapat dalam ayat-ayat isyarat tentang
pendudukan dan pemanfaatan potensi jin, ayat yang berbicara tentang hubungan
Nabi Sulaiman Alaihissalam dengan jin hanya menyatakan.
“Dan dihimpunkan
untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia, dan burung lalu mereka itu diatur
dengan tertib (dalam barisan,” (QS. al-Naml ayat 27).
Atau ayat : “Sebagian jin ada yang bekerja dihadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhanya.
Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan
padanya azab neraka yang apinya menyala-nyala”, (QS. Saba ayat 12)”.
Syihabuddin Mahmud al-Alusi, seorang pakar Tafsir dan
sastra dari Irak dan memiliki kecenderungan Tasawuf (1802-1854), ketika
menafsirkan doa Nabi Sulaiman Alaihissalam di atas, menulis antara lain:
“Yang Hak adalah penunjukan jin yang pasti untuk Nabi Sulaiman Alaihissalam
bukan melalui bacaan ataulah jiwa tetapi penundukan Ilahi tanpa perantaraan
sesuatu serta dalam bentuk yang sangat sempurna, di samping hal itu merupakan
sebagian dari kerajaan yang dimohonkannya. Kelihatannya, kita tidak dapat
mengkafirkan siapa yang mengaku menggunakan jin, bahkan kali berkali-kali tulis
Al-Alusi, telah melihat mereka yang mengaku menggunakan jin dan kami pun
melihat bukti-bukti keberadaan ucapannya dalam bentuk yang tidak dapat
diingkari, kecuali oleh mereka yang bersifat lidah dan kepala batu.”
Ibnu Taimiyah membagi manusia yang mampu memerintah
jin pada tiga tingkat. Pertama, memerintah jin sesuai dengan yang diperintahkan
Allah yakni beribadah hanya kepada-Nya dan taat kepada Rasul-Nya. Siapa yang
melakukan ini maka termasuk wali Allah yang paling utama.
Kedua, memanfaatkan jin untuk tujuan-tujuan mubah
sambil memerintahnya melaksanakan kewajiban dan menghindari larangan Allah.
Orang seperti ini bagaikan raja, kalaupun itu masuk Wali Allah, peringkatnya di
bawah peringkat pertama.
Ketiga, menggunakan jin untuk hal-hal yang dilarang
oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti syrik dan membunuh. Yang melakukan ini
tertipu oleh setan. Pembagian Ibnu Taimiyah tersebut menunjukkan pendapat bahwa
manusia dapat memerintah jin.
Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi berpendapat
bahwa Allah dengan kodrat-Nya mampu menjadikan jenis makhluk yang rendah
memperalat dan mengatasi jenis makhluk yang tinggi.
Di sini katanya, bukan lagi
persoalan unsur makhluk tetapi ialah kehendak pemberi unsur yakni Allah. Sya’rawi
melanjutkan bahwa kemungkinan yang tergambar dalam benak menyangkut kekuasaan
manusia atas jin adalah terhadap jin yang baik atau jahat.
Jin yang baik tidak
mungkin rela diperalat oleh siapapun. Jika demikian, tidak ada jin yang
ditunjukkan atau diperoleh manusia kecuali yang jahat. Namun itu pasti akan
berakibat buruk buat manusia memperalatnya.
Logika Sya’arawi di atas, kita dapat berkata
pula bahwa manusia yang dapat mempererat jin yang jahat pastilah manusia yang
durhaka pula, bahkan tanpa sadar bukan ia memperoleh jin melainkan justru
jinlah yang memperalatnya.
Di Indonesia, pernah ada berita tentang jual beli jin.
Maka dengan logika Asy-Sya’rawi pula tidak dapat berkata bahwa mereka membeli jin pada hakikatnya tertipu. Pertama, oleh manusia menjual kepadanya dan kedua
oleh jin yang dibelinya. Jin yang dibeli oleh setan yang menjerumuskan.
Ulama-ulama yang berpendapat bahwa jin dapat diperalat
oleh manusia menyatakan bahwa hal tersebut terjadi melalui bacaan
tulisan-tulisan atau pekerjaan tertentu. Muhammad Ibn Ishaq an-Nadim (wafat
sekitar abad 10 M), menyatakan bahwa jin ditundukkan dan ketetapan kepada Allah,
beribadah kepada-Nya.
Juga dengan meninggalkan keinginan-keinginan nafsu.
Adapun para penyihir menunjukkan jenis disebabkan oleh kita ajak mereka
persembahkan atau kedurhakaan yang mereka lakukan.
Ibnu Taimiyah dalam kumpulan fatwanya berpendapat “Manusia membaca jiwanya dalam mendamaikan hal-hal yang berakibat mudarat
baginya. Ia masa lezat bahkan sangat asik sehingga merusak akal, agama dan
menghabiskan hartanya. Sentan sendiri sangat jahat. Bila seseorang mendekat
kepadanya dengan sesuatu yang disukainya, berupa kekufuran dan kemusyrikan itu
menjadi sogokan baginya sehingga sebagian dari pilihan manusia ia penuhi. Ini
seperti seseorang yang membayar orang lain untuk membunuh lawannya.”
Ibnu Taimiyah juga menyatakan bahwa : “ itu sebabnya
manusia yang berhubungan dengan jin menulis firman-peman Allah dengan najis,
darah atau selainnya. Bila itu dilakukan, izin memenuhi sebagian kehendak
penulisnya berarti mencuri uang ketuhanan orang yang durhaka”.
Sekali lagi, persoalan kemampuan manusia memperalat jin diperselisihkan ulama. Namun, terlepas Apakah kita sependapat dengan
pembenaran kemampuannya atau tidak yang pasti agama melarang menggunakan cara
apapun yang mengandung syirik, kufur dan kedurhakaan.