Ilustrasi Al Ghazali ( Sumber gambar : Kompas.com) |
KULIAHALISLAM.COM – Sore kemarin mengikuti ngaji online part-2 tentang Psikologi Kebahagiaan Al-Ghazali bersama anak muda hebat Bang Ibnu Rusyd. Ngaji ini membahas salah satu kitab Al-Ghazali “Kim-yai Sa’adah‘ (Kimiawi Kebahagiaan).
Seperti bagian pertama, paparan Ibnu Rusyd di bagian kedua ini juga ‘daging semua’. Dia berbicara secara runtut, mengalir dan dengan pilihan-pilihan diksi yang gurih. Dia juga memberi interpretasi dan komentar-komentar yang berani, lugas disertai contoh aktual.
Seperti diketahui Al-Ghazali adalah pemikir besar. Gagasan-gagasannya hingga hari ini terus dipelajari, diteliti dan dibicarakan tidak hanya di kalangan para sarjana muslim tapi juga pemikir barat.
Beliau meninggalkan jejak pemikiran yang masih terus jadi perdebatan. Al-Ghazali punya banyak pengagum sekaligus pembenci. Gagasan-gagasannya membentang sejak filsafat, kalam hingga tasawuf. Itu jelas menunjukkan kebesaran Al-Ghazali.
Sejarah hidupnya unik dan dengan capaian karier yang mengagumkan. Meski usianya cukup singkat (wafat pada usia 50 tahun) tapi beliau pernah menjadi bagian dari kekuasaan maupun di luar kekuasaan.
Al-Ghazali menjadi guru besar dan rektor Universitas Nizamiyah dalam usia relatif muda: 35 tahun. Sebuah capaian dan karier akademik yang impresif. Tidak hanya sebagai akademisi beliau juga pernah berada dalam kekuasaan sebagai penasihat istana dan hakim.
Al-Ghazali juga adalah seorang ahli mantik dan jago debat. Keunggulan tersebut kemudian seolah jadi berkah bagi penguasa dalam menghadapi serangan pemikiran filsafat Yunani, temasuk yang dilancancarkan pemikir dan filsuf muslim yang terpengaruh filsuf Yunani.
Dalam perkembangan kemudian Al-Ghazali dikenal sebagai salah satu juru bicara dan pembela kaum Sunni paling fasih dalam membantu menyusun argumentasi-argumentasi teologis. Dia pun mendapat gelar “hujjatul Islam“.
Dengan segala kelebihannya tersebut tak heran Al-Ghazali punya banyak sekali fans. Orang mengelu-elukanya di banyak kota.
Sayangnya semua popularitas dan fasilitas tersebut justru membuat Al-Ghazali merasa terasing. Bergelimpangan harta, punya kedudukan tinggi dan popularitas justru tidak membuatnya tenang dan bahagia.
Hanya menjabat tiga tahun sebagai rektor akhirnya dia memutuskan beruzlah. Dia mengembara 10 tahun ke beberapa kota: Makkah, Madinah, Damaskus, Mesir dll.
Jadi popularitas, status sosial, menaklukan lawan debat dan kelimpahan ekonomi justru membuat Al-Ghazali gelisah dan teralienasi.
Begitupun, meski fasih dengan argumen filosofis maupun sebagai mutakkalimin (teolog) terutama dalam menjelaskan soal-soal ketuhanan, tapi Al-Ghazali malah merasa tidak dekat dengan Tuhan yang dibelanya.
Dan di ujung pengembaraannya menjadi titik balik bagi kehidupan maupun karya-karya yang ditulis Al-Ghazali. Beliau menjadi lebih spiritualis. Beliau berbalik arah, “menyerang” filsafat yang sebelumnya dikuasainya.
Dapat dikatakan dia menyerang filsafat dengan meminjam senjata filsafat. Itu yang bisa menjelaskan mengapa argumen dan gagasan-gagasan Al-Ghazali begitu berpengaruh, hingga muncul tuduhan bahwa dia bertanggungjawab atas kemunduran filsafat dan dunia Islam secara umum.
Jadi gagasan dan karya-karya Al-Ghazali tentang cinta, kebahagiaan dan penderitaan harus dibaca dalam konteks pengalaman dan proses pencarian panjang itu.
Dia berpendapat bahwa sumber kebahagiaan sejati tidak dapat diperoleh melalui rasionalitas semata tetapi terletak pada cinta yang tulus kepada tuhan.
Apalagi dalam diri manusia juga terdapat jiwa hewani, nabati, syaitaniyah dan insaniyah. Kecenderungan manusia kepada tiga jenis jiwa pertama—yang cenderung dikuasai nafsu yang buruk—adalah sumber penderitaan manusia.
Sebaliknya, agar bahagia manusia harus didorong kepada jiwa insaniyah karena di dalamnya terdapat unsur-unsur ilahiyah. Salah satunya cinta. Karena berasal dari Tuhan maka cinta itu bersifat abadi dan tak akan hilang.
Mustahil manusia menolak cinta Tuhannya—sebrengsek apapun manusia. Energi cinta itu tetap ada. Manusia akan selalu terdorong untuk kembali kepada Tuhan meski hidupnya penuh noda.
Cinta Itu pula yang menjadi kunci keberlangsungan eksistensi manusia. Manusia seharusnya merupakan spesies yang sudah lama punah karena paling banyak menumpahkan darah sekaligus juga paling rentan dibandingkan spesies lainnya.
Tetapi cintalah yang membuat manusia tetap survive. Cinta itulah yang menyebabkan manusia tetap bertahan.
Tetapi Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa cinta yang salah adalah sumber penderitaan. Lantas apa itu kebahagiaan? Untuk mengetahui kebahagiaan kita harus memahami dulu apa itu penderitaan.
Penderitaan adalah perasaan terluka akibat kehilangan sesuatu yang berharga. Menurut Al-Ghazali manusia mengalami penderitaan fisik karena keliru menempatkan rasa cinta yakni mencintai sesuatu yang nisbi seperti makhluk, harta, jabatan, status sosial dan lainnya termasuk rasionalitas.
Padahal semuanya itu tidak abadi. Agar manusia mencapai kebahagiaan sejati seharusnya dia mencintai sesuatu yang bersifat kekal yakni Tuhan.
Penulis: Ilyas Yasin