Oleh: Kopri Nurzen (Dosen STIQ Zad Cianjur/ Kandidat Doktor Pendidikan
Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) – PTIQ Jakarta.)
Saat ini muslim di Kamboja diperkirakan sekitar 2-4% dari jumlah total
penduduk Kamboja yang mencapai 16,74 juta jiwa. Sebagian besar berasal dari suku
Cham. Sebagian besar suku Cham bertempat tinggal di Provinsi Kampong Cham, Kampot,
Pursat, Battambang, Kandal, dan Kampong Chhnang Tbung
Kmum dan Phnom Penh. Dalam komunitas suku Cham yang ada di Kamboja, selain
kelompok mayoritas yang beraliran Sunni dengan mazhba fiqih Syafi’i, ada
kelompok Chvea yang diperkirakan berasal dari Jawa. Kelompok Chvea tidak
menggunakan bahasa melayu Champa seperti mayoritas anggota kelompok Cham.
Selain itu, ada kelompok Cham lainnya yang disebut sebagai Jahed, yang
berbicara dalam Bahasa Cham dan beragama Islam, namun bersinkretisme dengan
Hindu. Kelompok terakhir ini tidak melaksanakan shalat lima waktu, tidak
menggunakan Bahasa Arab dalam sholat. Dalam penulisan, mereka menggunakan aksara
Cham yang tidak lagi digunakan oleh kelompok Cham lainnya. Kelompok ini umumnya
dikenal sebagai Imam-San, dan jumlahnya sekitar 20.000 orang. Mereka tidak
melaksanakan shalat Jum’at dan puasa Ramadhan seperti umat Islam pada umumnya.
Asal muasal keberadaan Muslim Cham di Kamboja tidak bisa dilepaskan
dari sejarah kerajaan Champa yang kekuasaannya -saat ini- meliputi wilayah Vietnam,
Laos, dan Kamboja. Kerajaan yang berdiri pada abad ke-2 Masehi ini mulai
mengenal Islam pada abad ke-10 Masehi melalui para pedagang muslim yang
melintasi wilayahnya yang terletak di jalur rempah antara China dan Timur
Tengah. Kerajaan Champa berubah menjadi kerajaan Islam secara umum terjadi pada
abad ke-17 Masehi saat sebagian besar keluarga keraajan menganut agama Islam,
lalu diikuti oleh masyarakatnya. Sebelum kerajaan Champa diidentikkan sebagai
kerajaan Islam, pada abad ke-15 Masehi, Raja Champa Indravarman telah
menikahkan Putri Darawati yang beragama Islam dengan Raja Majapahit Prabu
Brawijaya V. Putri Darawati akhirnya dikenal sebagai Putri Campa. Dalam Babat
Tanah Jawa disebutkan, bahwa pernikahan tersebut telah memberikan pengaruh
besar terkait penyebaran Islam di wilayah kerajaan Majapahit hingga lahirnya kerajaan
Islam Demak di pulau Jawa.
Pada abad ke-15, Kerajaan Champa mulai mengalami kemunduran, hingga
pada tahun 1695 hanya menjadi kesultanan otonom di bawah Dinasty Nguyen,
dinasti penguasa Vietnam yang terakhir sebelum menjadi Republik Sosialis
Vietnam. Pada tahun 1832 kesultanan Champa dibubarkan oleh Kaisar Minh Mang,
raja kedua Dinasti Nguyen. Pada saat menghadapi perang menghadapi Dinasti
Nguyen, banyak masyarakat dan aristokrat Champa yang mencari perlindungan ke luar
daerah. Sebagian ada yang bermigrasi ke kerajaan Majapahit di pulau Jawa karena
keberadaan Ratu Campa dan sebagian lagi bermigrasi ke wilayah kerajaan Kamboja.
Di Kamboja mereka disambut dengan baik, bahkan sebagian mendapat kedudukan
tinggi di kerajaan. Di Kamboja mereka dikenal sebagai masyarakat Cham.
Kehidupan Muslim Cham bersama dengan penduduk mayoritas Budha di
Kamboja sepanjang sejarah berjalan harmonis. Pada era 1970an sebelum era Khmer
Merah (Khmer Rough), terdapat sejumlah tokoh Muslim yang menduduki jabatan
penting di pemerintahan Kamboja. Ada yang menjadi diplomat, jenderal militer,
polisi dan sebagainya. Jabatan keagamaan berupa Grand Mufti (Rechea
Thibdei) dan perangkat keagamaan
lainnya juga difasilitasi oleh negara. Sesuai tradisi muslim lainnya, Muslim
Cham juga mengadakan perayaan hari besar Islam, seperti Idul Fitri, Idul Adha,
Maulid Nabi, dan sebagainya.
Menurut peneliti Cham, Farina So dalam bukunya The Hijab of
Cambodia, sebelum tahun 1975, jumlah Muslim Kamboja diperkirakan mencapai 700.000
jiwa atau sekitar 10% dari total penduduk Kamboja saat itu. Mengutip pandangan sejumlah
peneliti, So mengatakan bahwa pada rezim komunis Khmer Merah (Khmer Rouge) di
bawah pemerintahan Pol Pot (1975-1979) angka kematian dari komunitas muslim
Cham diperkirakan antara 100.000 sampai 500.000 jiwa dari total korban
meninggal yang mencapai 2 juta jiwa. Mayoritas korban adalah laki-laki, yang mati
akibat eksekusi, kerja paksa, kelaparan dan penyakit. Pada era tersebut Masjid
dan Pagoda (Wihara) dihancurkan, beberapa di antaranya digunakan sebagai
kandang babi. Rezim Khmer Merah menanamkan kepada masyarakat Kamboja saat itu
bahwa agama Kamboja adalah mempercayai dan berkhidmat kepada Angkar (sebutan
untuk rezim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah).
Pada 7 Januari 1979, tentara Vietnam berkolaborasi dengan Pasukan
Pembebasan Nasional Kamboja (Kampuchean United for National Salvation Forces)
yang dipimpin oleh Hun Sen berhasil menggulingkan rezim Pol Pot. Meskipun rezim
Khmer Merah sudah tumbang, Kamboja saat itu masih belum pulih secara politik
dan ekonomi. Pertikaian antar faksi terus berlanjut hingga tercapai kesepakatan
damai yang disiarkan pada Paris International Conference on Cambodia
(1991), yang mengakhiri konflik bersenjata di Kamboja. Kesepakatan damai tersebut
sejatinya sudah diawali dengan sejumlah pertemuan informal yang diadakan di
Jakarta dan Kamboja. Seperti masyarakat Kamboja pada umumnya, pasca kesepakatan
damai, Muslim Cham juga belum bisa bangkit dari keterpukuran yang mereka alami selama
rezim Pol Pot berkuasa. Namun secara perlahan, dengan fasilitas dan
perlindungan Pemerintah Kamboja serta bantuan sejumlah negara, Muslim Cham kembali
menjalani kehidupan normal seperti semula.
Perkembangan
Kontemporer Islam di Kamboja
Lowy Institute mencatat bahwa perkembangan terbaru terkait aliran Islam yang
berkembang di Kamboja antara lain adalah munculnya gerakan Jamaah Tabligh dan Salafisme.
Hal itu lepas dari misi belajar pemuda Muslim Cham ke sejumlah negara seperti
Thailand bagian selatan, Malaysia, Indonesia dan Timur Tengah. Hubungan Muslim
Cham dengan Thailand bagian selatan dan Malaysia telah ada semenjak abad ke-19.
Hubungan itu diperkuat oleh kemiripan bahasa Cham dengan bahasa Melayu, baik di
Malaysia maupun Thailand bagian selatan. Perkembangan gerakan Jamaah Tabligh di
Kamboja tidak lepas dari pengaruh kelompok Jamaah Tabligh di ketiga negara Asia
Tenggara tersebut. Sedangkan perkembangan pemahaman Salafi dipengaruhi oleh
para pelajar Kamboja yang belajar ke Timur Tengah, khususnya negara Arab Saudi.
Muslim Cham hidup di Kamboja seperti
masyarakat Kamboja pada umumnya. Mayoritas berpenghasilan sebagai nelayan,
petani dan pedagang. Mereka juga memiliki akses untuk menjadi pegawai
Pemerintah (PNS). Saat ini, Muslim Cham ada yang menduduki jabatan menteri,
dirjen, direktur di kementerian, anggota parlemen, dan diplomat. Osman Manan,
Duta Besar Kamboja untuk Kuwait, dalam sebuah pertemuan (25/7) dengan KBRI
Phnom Penh menyatakan, bahwa PM Hun Sen berupaya mengirimkan duta besar untuk
negara-negara Muslim dari diplomat Kamboja yang beragama Islam. Namun demikian,
mayoritas muslim Cham hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian ada yang
tinggal di perahu sampan dan membentuk komunitas di tepian sungai Tonle Sap, di
wilayah Provinsi Phnom Penh.
Untuk urusan agama, Pemerintah
Kamboja memfasilitasi masyarakat Muslim dengan jabatan Mufti untuk mengeluarkan
fatwa terkait urusan keislaman. Sudah menjadi tradisi rezim Hun Sen, setiap
bulan Ramadhan, Pemerintah mengadakan acara buka puasa bersama dengan ribuan
orang yang terdiri dari tokoh dan masyarakat muslim Kamboja serta sejumlah
undangan dari sejumlah negara Muslim. Masyarakat Muslim Kamboja juga mendapatkan
fasilitas pendidikan keagamaan dari negara seperti masyarakat mayoritas yang
beragama Budha. Para guru madrasah (Taman Pendidikan Al-Qur’an) ada yang digaji
oleh Pemerintah.
Konstitusi Kamboja menjamin kebebasan beragama
dan beribadah bagi setiap warganya, selama tidak berdampak negatif atau
bertentangan dengan ketertiban dan keamanan umum. Budha ditetapkan sebagai
agama resmi negara dan kelompok agama non-Buddha dilarang untuk mendakwahkan
ajaran agama mereka dari pintu ke pintu dan menegaskan bahwa sumber-sumber
tertulis ajaran non-Buddha hanya dapat dibagikan di dalam lembaga-lembaga
keagamaan khusus. Konstitusi Kamboja juga melarang penawaran uang atau harta
untuk meyakinkan orang lain agar berpindah agama. Terkait pendirian tempat
ibadah, secara konstitusional disyaratkan bahwa pendirinya merupakan pemilik tanah
dan bangunan rumah ibadah yang didirikan. Rumah ibadah yang dibangun sekurang-kurangnya
memiliki kapasitas minimal untuk 200 orang. Dan aplikasi perizinan harus mendapatkan
dukungan sekurang-kurangnya dari 100 orang. Berdasarkan
data Pemerintah, pada tahun 2016, terdapat sekitar 884 Masjid di seluruh
wilayah Kamboja. Sebagian Masjid tersebut merupakan bantuan dari Muslim luar
Kamboja, utamanya dari Malaysia dan negara-negara Timur Tengah.
Di sektor pendidikan, meskipun
diberi kebebasan dan jaminan secara undang-undang, komunitas Muslim Cham secara
umum masih memiliki banyak ketertinggalan dibanding masyarakat Kamboja lainnya.
Tingkat buta huruf yang tinggi di masih menjadi salah satu masalah krusial yang
dihadapi kelompok Muslim Cham. Sangat sedikit pelajar Muslim Cham yang bisa
mengecap pendidikan tingkat universitas. Faktor utamanya adalah masalah
ekonomi. Hal itu juga berdampak pada maraknya fenomena pernikahan dini di
tengah perempuan Cham. Rata-rata mereka menikah setelah menamatkan pendidikan
bangku SMA. Saat ini, beasiswa dan bantuan luar negeri masih menjadi andalan
utama pelajar muslim Cham untuk bisa melanjutkan pendidikan di tangkat
perguruan tinggi.