Bhinneka Tunggal Ika begitulah semboyan nasional Negara Indonesia. Menghargai perbedaan dan keberagaman dari sisi manapun, baik dalam suku, agama, ras, dan budaya. Perbedaan bukanlah perselisihan, justru dengan adanya perbedaan menciptakan sebuah keunikan, keberagaman, keindahan dan hal positif lainnya.
Memahami perbedaan dan menerima perbedaan merupakan bentuk perilaku dalam menyikapi hal tersebut. Dengan adanya perbedaan jangan dipaksakan untuk menjadi sebuah persamaan, pancasila pun membuat perbedaan menjadi sebuah kekuatan.
Negara indonesia dengan beragamnya manusia, tidak seluruhnya harus menyakini satu agama saja. Tidak seluruhnya menggunakan bahasa daerah yang sama, dan tidak seluruhnya menciptakan budaya yang sama, dan keseluruhannya tidak harus sama.
Indonesia dengan mayoritas banyaknya jumlah umat muslim, tak jarang pula terdapat pemeluk agama lain didalamnya. Dan itu menjadi sebuah perhatian dalam menghadapi adanya tantangan besar dalam menjaga keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama. Berbedanya tempat ibadah, kitab yang di imaninya, maupun bentuk meminta kepada yang kuasa itu menjadi hal yang tidak perlu diperdebatkan satu sama lain.
Berbagai perbuatan yang dapat memicu adanya ketegangan dan konflik sosial di Masyarakat adalah seperti merendahkan, menghina, atau meyerang agama tertentu.
Lebih parah lagi peristiwa tersebut dapat mengancam persatuan dan kerukunan yang telah lama dijaga ditengah keberagaman yang ada, serta berpotensi merusak stabilitas sosial dan harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Pentingnya berlaku bijak pada seluruh Masyarakat untuk menanggapi isu ini agar kerukunan antar agama masih tetap aman-aman saja.
Tindakan penistaan agama dapat merusak aqidah seseorang. Pelaku perbuatan tersebut dianggap sebagai pelaku dosa besar yang dapat mengakibatkan kerusakan hubungan antara makhluk dengan tuhan-Nya.
Bentuk-bentuk prilaku penistaan agama dapat digambarkan seperti melakukan beberapa tindakan terhadap orang-orang yang beribadah di masjid Allah, merobohkan masjid, dan sebagainya. Dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 120 yang berbunyi:
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۚ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى ۖ وَإِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيجَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Artinya: “ Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.”
Dalam kitab tafsir yang dicetak oleh Departemen Agama ayat diatas menyatakan keinginan ahli kitab yang akan melakukan beberapa tindakan terhadap orang-orang yang beribadah di masjid Allah, merobohkan masjid, menyekutukan Allah, dan mengingkari seruan Nabi Muhammad saw dan mengajak pengikutnya supaya menganut agama yang mereka anut, yaitu agama yang berasal dari agama yang dibawa oleh para nabi terdahulu, tetapi ajaran yang murni sudah diubah-ubah oleh mereka.
Penyebab sikap orang Yahudi dan Nasrani melakukan tindakan tersebut adalah setelah mereka mengetahui kabar yang datang pada mereka tentang agama yang diridhai Allah dan penjelasan syariat ajaran-ajaran agama islam.
Jadi bisa disimpulkan hendaknya kaum muslimin waspada terhadap sikap orang-orang ahli kitab. Orang muslim janganlah ragu-ragu mengikuti petunjuk Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi Nya, bukan petunjuk yang berasal dari keinginan dan hawa nafsu manusia, terutama keinginan dan hawa nafsu dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Pemahaman mengenai penistaan agama dalam penafsiran Al-Qur’an menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesucian ajaran agama dari segala bentuk penyelewengan dan perendahan.