Ilustrasi Sains (Sumber gambar : Jagad.id) |
KULIAHALISLAM.COM – Kalau kita kembali ke prinsip-prinsip dasar sains yang dirumuskan oleh para konseptornya, maka hal prinsip yang bisa kita ketahui perihal sains diantaranya adalah visi dan misi. Tujuan sains mengkonsep bentuk kebenaran empiris yaitu, bentuk kebenaran yang dapat di observasi, di validasi, di verifikasi, serta di definisikan melalui peralatan indrawi.
Dapat di artikan juga bahwa, visi misi sains bukan untuk mengkonsep bentuk kebenaran metafisik seperti, konsep kebenaran rasional dalam filsafat atau konsep kebenaran hakiki menurut konsep agama.
Untuk tujuan demikian maka metode yang dipakai sebagai parameter adalah metode empiris, bukan metode rasionalitas. Sehingga dalam sains yang disebut “kebenaran” adalah kebenaran empiris, bukan kebenaran metafisika atau kebenaran rasional.
Dengan batasan-batasan definisi demikian, jelas sains menjadi konsep ilmu yang dibatasi sehingga tidak bisa merambah persoalan metafisik yang tidak bisa diobservasi memakai metode sains. Apalagi digunakan untuk menghakimi deskripsi-deskripsi metafisika.
Lalu bagaimana bisa sains digunakan sebagian orang untuk menghakimi deskripsi-deskripsi metafisika yang sebenarnya sudah diluar jangkauan metode sains ?
Sebagian orang, misalnya, menghakimi konsep akhirat sebagai ilusi dengan mengatasnamakan sains karena dianggap tidak berdasar bukti empiris. Padahal tidak pernah ada saintis yang bisa observasi ke alam akhirat untuk membuktikan ada tidaknya.
Demikian pula tidak pernah ada observasi sains terhadap Tuhan untuk membuktikan Tuhan ada atau tidak, tapi sebagian orang atas nama sains memvonis kepercayaan Tuhan sebagai hanya ilusi, padahal Tuhan itu bukan wujud materi yang merupakan obyek sains.
Rupanya sebagian orang telah menarik dan membawa sains keluar dari batasan yang telah ditetapkan para konseptornya dan menabrak metode sains yang telah dijadikan sebagai parameter baku dalam sains.
Filosofi Saintisme Membelokkan Sains
Filosofi saintisme membelokkan sains ke arah yang terlalu jauh dengan semboyan “segala suatu harus dan hanya bisa dijelaskan oleh sains untuk dianggap sebagai kebenaran valid”. Sehingga penjelasan-penjelasan lain dari filsafat dan agama tidak diterima sebagai kebenaran maupun ilmu pengetahuan. Lalu mereka membuat rumus, ilmu pengetahuan: sains, dan kebenaran: kebenaran berdasar sains.
Dengan prinsip demikian lalu sains ikut digunakan terlibat dalam beragam kancah persoalan metafisika termasuk soal Ketuhanan, tapi bukan sebagai elemen alat bantu melainkan sebagai parameter utama. Sedangkan dalam ranah metafisika sejati maka sains hanya dijadikan sebagai alat bantu, bukan konseptor utama.
Resiko yang Membunuh Saintisme
Tapi tahukah anda bahwa semboyan saintisme itu akan dibunuh, sebenarnya, oleh prinsip yang ada dalam sains sendiri.
Saintisme membawa sains mencoba melanglang buana ke beragam persoalan metafisika. Ikut larut menceburkan diri dalam persoalan metafisika yang bersifat kompleks yang biasa dibahas para filsuf dan teolog. Uniknya adalah mereka membuat penghakiman-penghakiman terhadap deskripsi serta proposisi metafisika dengan mengatas namakan sains.
Mereka misalnya, menghakimi agama sebagai dongeng, takhayul, ilusi karena menurut mereka sains tidak menemukan adanya Tuhan, afterlife, alam akhirat atau alam gaib lain. Pertanyaannya ; apakah penghakiman mereka itu valid berdasar metode sainstifik atau cuma mengatas namakan semata tanpa menyertakan metode sainstifik ? Atau lebih merupakan penghakiman dengan menggunakan cara pandang filosofis, bukan dengan metode empiris ?
Karena kalau mereka memvonis “Tuhan tidak ada” maka Tuhan harus diposisikan terlebih dahulu sebagai obyek sains—sebagai materi. Kalau Tuhan oleh para metafisikus diposisikan sebagai Dzat non materi lalu di vonis “tidak ada” atas nama sains lalu metode sains apa yang digunakan untuk observasinya ? Karena observasi sains itu harus terhadap obyek sains yang material.
Dengan kata lain resiko ilmiah dari sains bila ingin dipakai untuk membuat vonis terhadap persoalan Tuhan, alam akhirat serta afterlife, maka pertama itu harus diposisikan sebagai obyek sains berada dalam ruang lingkup pengalaman indrawi manusia. Kalau semua itu berada diluar dunia materi diluar ruang lingkup pengalaman indrawi maka sejatinya sains sudah tidak bisa digunakan untuk memvonisnya.
Oleh : Irwan Wiharja