KULIAHALISLAM.COM – Awal tuduhan kepada Imam Al Ghazali sebagai penyebab kemunduran sains di dunia Islam muncul setelah ada para orientalis. Salah satunya adalah Ignaz Goldziher yang menyatakan bahwa kemunduran sains di dunia Islam adalah karena suatu conservative religious forces.
Dr. H. Budi Handrianto, M.Pd.I. Benarkah Imam Al Ghazali Penyebab Kemunduran Sains Di Dunia Islam |
Tuduhan Orientalis kepada Imam Al Ghazali
Tuduhan kepada Imam Al Ghazali juga dapat kita lihat dalam tulisan Giorgio De Santillana ketika memberikan pengantar pada buku Sains dan Peradaban di dalam Islam karangan Seyyed Hossein Nasr.
Katanya, “Al Ghazali dengan kebijakan masyhur tidak mencolok secara intelektual seperti adanya, dan bagi kita secara etik tidak mengilhami, mulai membangun pusaran intoleransi dan fanatisme buta yag meruntuhkan bukan saja sains tapi sistem madzab itu sendiri dan sesuatu yang agung, yaitu ijtihad.” Kemudian diikuti ilmuwan Barat modern seperti Steven Weiberg, Richard Dawkins, dan juga beberapa ilmuwan muslim.
Seorang jurnalis Suriah yang menjadi kontributor The National di Abu Dhabi, The Guardian, Foreign Policy dan New York Times bernama Hassan Hassan menulis tentang The Decline of Islamic Scientific Thought – Don’t Blame It on Al Ghazali.
Di awal tulisan dia menyebutkan bahwa melalui Kitab Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of Philosophers, Kerancuan Para Filosof) merupakan penyebab terbunuhnya ilmu filsafat di dunia Islam (“Stabbed falsafa in such a manner that it could not rise again in the Muslim world”).
Dikatakan pula bahwa berkat pengetahuannya yang nyaris tak tertandingi dalam ilmu falsafah dan teologi, Al Ghazali menyuntikkan sikap antipati terhadap sains di kalangan umat Islam yang akhirnya berujung pada kemunduran dan dalam proses tersebut kehancuran peradaban Islam, setidaknya menurut para akademisi dan orientalis.
Kemunduran Islam bukan Salah Imam Al Ghazali
Namun kemudian Hassan menyatakan bahwa kemunduran itu bukan semata-mata salah Al Ghazali, tapi karena pengaruh penguasa Nizhamiah dalam menancapkan kekuasaannya, untuk membatasi pengaruh aliran non-sunni, mengadopsi mazhab Syafii dan meninggalkan sekolah Falsafah serta beralih ke madrasah. Tentu pendapat ini, baik menuduh Al Ghazali maupun penguasa Nizhamiah sebagai penyebab pemunduran sains di dunia Islam kala itu, adalah keliru.
Menurut George Saliba, kebanyakan orientalis mendasarkan tuduhannya pada asumsi terjadinya konflik antara agama dan sains. Paradigma ini mungkin berdasar pengalaman mereka di Eropa pada waktu revolusi ilmiah.
Bagi mereka, Al Ghazali merepresentasikan golongan tradisi ortodoks dalam Islam dan dengan kitab Tahafut yang ditulis pada abad ke-11 Masehi mereka berasumsi bahwa pemikiran ortodoks kaum agamawan memenangkan pertempuran dengan aliran rasional atau pemikiran ilmiah. Dengan asumsi seperti ini mereka beranggapan bahwa kemunduran sains dalam Islam dan dunia Islam tidak lagi memproduksi dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Masih menurut Saliba, asumsi para orientalis tersebut keliru. Pertama, paradigma bahwa di Eropa terjadi konflik antara agama dan ilmu pengetahuan tidak bisa diterapkan dalam masyarakat Islam. Agama Islam sangat mendukung rasionalitas dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tidak ada kontradiksi antara keyakinan dan hukum alam dalam Islam. Jadi, belajar agama dan belajar sains tidak akan menimbulkan konflik dalam diri seorang muslim.
Kedua, ada banyak ilmuwan di dunia Islam yang juga mempunyai otoritas keagamaan (ulama) dalam waktu yang bersamaan. Ulama sekaligus saintis. Untuk sekadar menyebutkan contoh, ada Ibn Nafis, Nasiruddin at-Thusi, Quthubuddin al-Syirazi dan Ibn Syatir.
Mereka hidup pada abad ke-13 dan ke-14 masehi dan mempunya kontribusi yang signifikan dalam berbagai disiplin ilmu seperti matematika, astronomi, kedokteran, fisika dan filsafat. Mereka dikenal sebagai ulama, namun mempunyai interest yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Ilmuwan muslim di awal Islam bahkan tidak segan-segan untuk mengambil ilmu pengetahuan dari manapun mereka dapatkan, seperti dari peradaban India, peradaban Yunani, atau peradaban Persia. Mereka tidak saja mengambil ilmu dengan cara menerjemahkan buku-buku tapi juga mengkritisi secara komprehensif.
Mereka membuat koreksi dan pengembangan hingga memperkenalkan ilmu baru hasil “racikan” dari ilmu pengetahuan peradaban yang diambil. Mereka telah memperlihatkan ketinggian dan kedewasaan dalam ilmu pengetahuan. Periode kreatif dan perkembangan yang cepat dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam ini dimulai pada abad ke-8.
Tuduhan Keliru Orientalis terhadap Imam Al Ghazali
Saliba menyebut tuduhan kaum orientalis bahwa Al Ghazali bertanggung jawab terhadap kemunduran sains di dunia Islam sebagai “classical narrative”. Hal ini kontradiksi dengan fakta bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang dan tidak pernah berhenti dari awal perkembangannya di abad ke-8 bahkan setelah Al Ghazali wafat.
Ilmu pengetahuan terus berkembang hingga mempengaruhi munculnya revolusi ilmiah di Barat di mana ditemukan ada hubungan kuat antara Copernicus di abad ke-16 dengan Astronom Muslim di abad ke-13 dan 14. Saliba menyadari penemuannya itu akan membuat shock para komunitas ilmuwan yang tidak menghendaki adanya transfer ilmu pengetahuan dari peradaban Islam ke Barat setelah periode Al Ghazali.
Sementara Cemil Akdogan selain menepis tuduhan terhadap Al Ghazali sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kemunduran sains Islam, juga membela Al Ghazali dengan menyajikan fakta bahwa justru Al Ghazali, untuk pertama kalinya, menghancurkan otoritas Aristoteles dan pada saat yang sama menabur bibit-bibit filsafat mekanika, fondasi metafisika untuk sains modern.
Cemil menambahkan, alih-alih menghambat perkembangan sains, Al Ghazali adalah seorang agen dalam memfasilitasi kemajuan yang lebih jauh. Sebagai seorang individu, ia telah mencapai untuk pertama kalinya antara tahun 1094 dan 1108 hal-hal yang sama seperti apa dicapai orang-orang Eropa selama lima abad, yaitu dan akhir abad ke-12 hingga abad ke-17.
Dengan demikian, ia mensimbolisasikan individualisme, suatu pemikiran yang bernilai pada zaman Renaissance, dalam cara yang paling baik dan, alih-alih mengikuti otoritas filsafat, ia menyerang dan menghancurkan ide-ide “bid’ah” Aristoteles dan Aristotelianisme dalam tiga tahun, yaitu dan tahun 1092 hingga 1095.
Maka, tidak jauh berbeda dengan Saliba, Cemil mengungkap ada tiga hal mengapa mereka keliru menempatkan sosok Al Ghazali sebagai orang yang bertanggung jawab atas mundurnya sains di dunia Islam. Yang pertama, sebuah pertanyaan mengemuka bagaimana mungkin Al Ghazali, seorang pemikir religius yang tanpa kuasa politik, mampu menghentikan perkembangan sains hanya oleh dirinya sendiri?
Kedua, bagaimana menjelaskan fenomena makin atau masih maraknya penemuan dan aktivitas sains setelah wafatnya Al Ghazali? Dan ketiga, Cemil menjelaskan bahwa Al Ghazali sendiri tidak pernah menyerang sains, tetapi metafisika Aristoteles yang dikembangkan oleh Al Farabi dan Ibnu Sina.
Menghentikan perkembangan ilmu pengetahuan dan sains dalam sebuah dunia yang luas, yang membentang dari Andalusia hingga di Asia Tenggara –seorang diri, tanpa kekuatan politik dan ekonomi, sungguh sesuatu yang mustahil.
Apalagi dilakukan di sela-sela pekerjaannya yang cukup sibuk sebagai dosen dan birokrat. Maka, menempatkan Al Ghazali sebagai orang yang menyebabkan sains mundur di dunia Islam tidak tepat, apalagi dikatakan Al Ghazali membunuh sains, sungguh sebuah pernyataan yang berlebihan.
Alasan yang tidak dapat ditolak (apabila alasan pertama ingin diperdebatkan) adalah kenyataan bahwa setelah Al Ghazali sains tidak surut tapi justru malah berkembang. Kalau dikatakan Al Ghazali menyebabkan sains Islam mundur tentu bertentangan dengan kenyataan.
Setelah Al Ghazali, sains dalam Islam terus berkembang, terutamanya dalam aritmetika dan astronomi. Misalnya, sekitar dua puluh astronom bekerja sama dalam observatorium Maragha di Timur pada abad ke- 13 dan mengumpulkan data selama dua puluh tahun.
Sejauh yang kita ketahui inilah observatorium terorganisir yang pertama yang di dalamnya terkonstruksi instrumen-instrumen dan juga perpustakaan. Walaupun mereka bekerja di dalam kerangka astronomi Ptolemaik, mereka juga melakukan kritik terhadapnya.
Itulah mengapa kepala observatorium ini, Nashir al-Din al-Thusi dan muridnya, Qutb al-Din al-Shirazi bekerja sama membangun model yang lebih konservatif dalam menerima gerak seragam (uniform motion) ketimbang sistem Ptolemaik.
Belakangan, dalam sistem Copernican, kita juga menemukan sikap konservatif yang sama. Pada abad keempat belas Ibn al Shathir, seorang astronom Damaskus, menyempurnakan model al-Thusi dan al-Shirazi dengan mengembangkan model-model planet yang non-Ptolemaik dan teori lunar (bulan).
Bahkan, baik Saliba maupun Cemil dan juga ilmuwan muslim lain seperti Sevin Tekeli mencoba menemukan koneksi dan hubungan antara dasar-dasar sains Islam (terutama astronomi) yang kemudian dipakai Barat untuk menyusun teori sainsnya hingga akhirnya muncul revolusi ilmiah.
Dan apabila kita membaca Tahafut al-Falasifah dan buku-buku lain karya Al Ghazali, sebagai alasan ketiga, tidak ditemukan ungkapan bahwa Al Ghazali menolak sains. Yang akan kita dapat justru Al Ghazali mendukung sains empiris dan tidak berminat untuk menyelisihinya. Dalam bukunya al-Munqid min adz-Dzalal Al Ghazali menyatakan dukungannya terhadap sains seperti matematika, logika, fisika, dan sebagainya.
Imam Al Ghazali Mendukung Sains Empiris
Al Ghazali juga menyebutkan bahwa fenomena –sebagai contoh, gerhana bulan dan gerhana matahari, di mana ada perubahan posisi antara bulan, bumi dan matahari tidak ada kaitannya dengan agama dan tidak bertentangan mempelajarinya.
“Kita tidak tertarik untuk menolak teori seperti itu karena penolakan itu tidak mempunyai tujuan apa-apa. Orang yang berpikir bahwa tidak mempercayai hal-hal itu (sains) sebagai bentuk kewajiban agama telah bertindak tidak adil terhadap agama dan melemahkan fondasinya.”
Ia pun memperingatkan kaum muslimin untuk tidak menyerang sains. Bahkan ia pun mengatakan, “Pernyataan Anda itu (bahwa sains bertentangan dengan agama) akan mengguncangkan keimanan pada agama.
Perusakan pada agama yang dilakukan oleh ‘penolong agama’ yang tidak metodologis adalah lebih besar daripada oleh musuh yang betapa sengitnya tetap sesuai aturan. Karena seperti yang disebutkan oleh peribahasa, musuh yang bijak lebih baik daripada teman yang bodoh. (Aduwun aqli khairun min shadiqin jahil).”
Jadi, sekali lagi Al Ghazali tidak mengkritik sains namun mengkritik pendapat para filosof. Justru kritikan Al Ghazali terhadap filosof itulah dalam kitab Tahafut yang merupakan bangunan dasar filsafat mekanika, yang kelak diadopsi oleh David Hume dan dijadikan landasan kebangkitan sains di Barat.
Mengenai usaha Al Ghazali dalam mengkritik kaum filosof dia katakan, “Saya menyadari bahwa untuk menolak suatu sistem sebelum memahami dan mempelajari kedalamannya adalah tindakan membabi-buta. Oleh karena itu saya memulai dengan segala keseriusan untuk mendapatkan pengetahuan tentang filsafat dari buku-buku, dengan kajian sendiri tanpa pertolongan dan seorang pembimbing.”
“Demi tujuan ini saya menghabiskan waktu luang saya setelah mengajar ilmu-ilmu agama dan penulisan, karena pada periode ini saya dibebani oleh tugas mengajar dan membimbing tiga ratus murid di Baghdad. Dengan bacaan saya sendiri selama waktu-waktu sibuk tersebut Tuhan telah membuat saya mengerti secara utuh ilmu-ilmu para filosof selama kurang dari dua tahun.”
“Sejak itu saya dengan bersungguh-sungguh terus melakukan refleksi selama satu tahun tentang apa yang telah saya pahami, didiskusikan dalam pikiran saya secara terus menerus dan mengorek liku-liku kedalamannya, sampai saya pahami secara yakin dan pasti sejauh mana ia palsu dan memusingkan dan sejauh mana ia benar dan merupakan representasi dan realitas.”
Kemudian Al Ghazali merangkum seluruh kesalahan pendapat kaum filosof dalam kitab Tahafut dan menyimpulkannya dalam 20 poin. Tiga di antaranya harus dianggap kafir jika mempercayainya dan 17 lainnya termasuk bidah.
Yang tiga pendapat itu adalah pendapat filosof tentang tidak adanya kebangkitan tubuh (fisik) atau hanya ruh saja, mengatakan Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang universal tapi tidak mengetahui yang partikular dan mengatakan bahwa alam ini kekal tanpa awal.
Menurut Cemil, untuk memasuki suatu periode baru seperti Renaissance dan kemudian untuk mencapai Revolusi llmiah, prasyarat pertama adalah menghancurkan pegangan pada pendapat Aristoteles, yang Al Ghazali lakukan secara menakjubkan dalam Tahafut al-Falasifah-nya di penghujung abad ke- 11.
Seperti akan kita lihat, dan tahun 1210 hingga 1277 dan juga pada masa Renaissance, Barat juga mencoba untuk menghancurkan otoritas Aristoteles. Khususnya pada tahun 1277, orang-orang Barat pada hakikatnya mengulangi apa yang Al Ghazali telah capai dengan Tahafut al-Falasifah, tetapi dalam cakupan yang lebih luas.
Imam Al Ghazali Memajukan Sains dan Teknologi
Walaupun Al Ghazali telah menolak dua puluh ide-ide bidah Aristoteles yang didukung oleh Al Farabi dan Ibnu Sina, orang-orang Barat baru menolak ide-ide Aristoteles, Ibnu Rusyd dan Thomas Aquinas sebelum memasuki periode baru.
Dan sudut pandang progresif ala Kuhn, apa yang Al Ghazali capai sebetulnya adalah menghancurkan rintangan-rintangan yang menghalangi kemajuan sains dan teknologi dan mensuplai sains modern dengan fondasi-fondasi metafisika baru, yaitu filsafat mekanika. Kita tahu bahwa tanpa fondasi metafisika, sains tidak dapat berkembang. Itulah sebabnya mengapa pencapaian Al Ghazali itu lebih dari fenomenal.
Pembahasan tentang peran Al Ghazali dalam mengembangkan sains Islam dan juga berkontribusi terhadap kebangkitan sains di dunia Barat sepatutnya mengilhami kaum muslimin di abad modern untuk melakukan kebangkitan di bidang sains Islam.
Dengan kata lain, mengingat hegemoni sains abad modern ini berada di tangan peradaban Barat, umat Islam harus mengislamisasi sains modern melalui proses sebagaimana kaum muslimin awal di abad pertengahan melakukannya, di antaranya adalah Al Ghazali.
Kejayaan peradaban Islam dan kemajuan sains serta teknologinya yang banyak memberikan kontribusi pada peradaban Barat sekarang ini tidak banyak diketahui oleh umat Islam masa kini. Umat Islam zaman sekarang, di tengah keterpurukan di hadapan peradaban Barat, masih jarang yang belajar dan mempelajari kejayaan umat Islam terdahulu terutama di bidang sains.
Umat Islam sekarang bahkan amnesia bahwa dulu kita pernah berjaya hampir 1000 tahun lamanya. Seandainya umat Islam saat ini mengetahui, mempelajari dan mengembangkan sains sebagaimana umat terdahulu, kemajuan Islam akan segera dicapai daripada mengembangkan sains Barat, apalagi hanya melakukan imitasi saja.
Pelurusan sejarah abad pertengahan wabil khusus peran Al Ghazali dalam sains merupakan landasan bagi kebangkitan sains Islam di abad modern jika umat mengetahui dan memahaminya. Dengan landasan yang benar, proses Islamisasi sains Barat modern akan berjalan sesuai dengan rel-nya karena kita pernah melewati jalan yang sama.
Oleh: Dr. Budi Handrianto