Jika Khawarij dikenal sebagai kelompok paling ekstrem, bagaimana mungkin salah satu cabangnya justru menjadi suatu kelompok yang moderat dan intelektual?
Nama Khawarij sering kali menimbulkan kesan ekstrem bagi banyak orang, meskipun dalam perjalanan sejarahnya kelompok ini berkembang menjadi beragam komunitas dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Ibadiyah adalah salah satu cabang Khawarij yang paling moderat dan masih bertahan hingga saat ini, bahkan berkembang cukup kuat di Oman, Afrika Utara, dan sebagian Afrika Timur.
Muhammad bin Yusuf al-Athfisy adalah salah satu ulama’ terkenal dari kelompok ini, seorang tokoh yang produktif dan berpengaruh dari Jazair yang meninggalkan karya monumental berupa tafsir Hamyan al-Zād ilā Dār al-Ma‘ād. Melalui kehidupan dan tafsirnya, kita dapat melihat Khawarij dari sudut pandang yang lebih rasional, dan tidak seperti gambaran ekstrim yang sering kita dengar.
Dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Hamyan al-Zād ilā Dār al-Ma’ād, al-Athfisy juga memperlihatkan kedalaman karakter dan perjalanan intelektualnya. Nama lengkap al-Athfisy yaitu Muhammad bin Yusuf bin Isa bin Shalih Athfisy al-Wahaby al-Ibady. al-Athfisy lahir di Mizab, Jazair, sekitar tahun 1236 H dan wafat pada 23 Rabi’ al-Akhir tahun 1236 H.
Beliau hidup sekitar 96 tahun. al-Athfisy dikenal sebagai pribadi yang sangat zuhud dan wara’ diantara kelompok Khawarij dalam sekte Ibadiyah, dengan kesehariannya yang dihabiskan untuk menuntut ilmu, belajar dan menulis. Dalam suatu riwayat bahkan disebutkan bahwa beliau hanya tidur maksimal empat jam setiap malam karena begitu tekun menuntut ilmu.
Produktivitasnya sangat luar biasa, Ia telah menulis sekitar 300 kitab yang mencakup bidang fikih, hadis, ushul, bahasa, adab, astronomi, hingga tafsir. Beberapa karyanya yang masyhur antara lain Nazhām al-Mughni, Wafā’ al-Dhamānah, Jāmi’ al-Syamal, dan kitab fikih besar Syarh al-Nayl yang dicetak dalam sepuluh jilid.
Dalam bidang tafsir, dua karyanya yang utama adalah Da’i al-’Amal li Yaum al-’Amal dan Hamyan al-Zād ilā Dār al-Ma’ād, meskipun yang pertama belum sempat diselesaikan sepenuhnya. Di antara seluruh karyanya, Hamyan al-Zād ilā Dār al-Ma’ād menjadi yang paling populer dan banyak dijadikan rujukan oleh komunitas Ibadiyah.
Kitab Hamyan al-Zād ilā Dār al-Ma’ād disusun oleh al-Athfisy saat masih remaja yang kemudian menjadi rujukan penting bagi golongan Ibadiyah dalam kelompok Khawarij. Kitab Hamyan Al-Zad Ila Dar Al-Ma’ad merupakan kitab penyempurna dari kitab Da’i al-’Amal li Yaum al-’Amal yang ditulis namun tidak selesai.
Karya ini terdiri atas 13 jilid, masing-masing jilidnya sekitar 400–500 halaman, dan termasuk kategori tafsir tahlili yang menjelaskan ayat demi ayat secara urut dan mendalam. Sumber utama penafsirannya yaitu al-Qur’an, sunnah nabi, pendapat ulama, riwayat Israiliyyat, serta kekuatan analisis bahasa dan logika.
Sebelum menafsirkan ayat, al-Athfisy biasanya menyebut jumlah ayat, klasifikasi Makkiyyah atau Madaniyyah, keutamaan surat, serta riwayat yang relevan. Ia menafsirkan teks dengan memperhatikan aspek lugah, nahwu, balaghah, fikih, hingga perdebatan ilmu kalam. Dari cara penyajiannya tampak bahwa al-Athfisy bukan hanya seorang mufasir, tetapi juga ahli bahasa dan teologi yang kritis.
Menariknya, Meskipun berasal dari kelompok Khawarij Ibadiyah, al-Athfisy lebih menunjukkan gaya tafsir yang moderat dalam hal-hal yang sensitif, terutama yang berkaitan dengan takfiri atau pengkafiran. Hal ini terbukti ketika ia menafsirkan Surah al-Maidah ayat 44:
وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ
“Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.”
Ayat ini sering dijadikan rujukan oleh kelompok-kelompok ekstrem untuk mengkafirkan siapa saja yang dianggap tidak menerapkan hukum Allah secara menyeluruh. Namun al-Athfisy tidak setuju dengan cara pandang tersebut. Dalam penafsirannya, al-Athfisy menjelaskan bahwa ayat tersebut pada awalnya ditujukan untuk kaum Yahudi dan Nasrani, meskipun maknanya bersifat umum.
Akan tetapi, al-Athfisy membedakan dengan jelas antara kekafiran besar (yang mengeluarkan seseorang dari Islam) dan kekafiran kecil (kufur perbuatan). Menurutnya, seseorang baru dikategorikan kafir besar apabila ia menolak hukum Allah dalam keyakinannya misalnya dengan menganggap hukum Allah tidak layak atau tidak adil.
Namun jika seseorang tidak menjalankan hukum Allah karena kelemahan pribadi, dorongan hawa nafsu, atau sekedar berbuat dosa, maka ia tidak otomatis kafir. Ia tetap Muslim, hanya saja berstatus fasik atau zalim. Sikap ini sejalan dengan pandangan ulama salaf seperti Ibn ’Abbas yang menyebut ayat tersebut sebagai “kufr dūna kufr” (kafir kecil). Bahkan Imam Ahmad juga membedakan antara orang yang menolak hukum Allah secara prinsip dan orang yang sekadar melanggarnya secara moral.
Penafsiran ini sangat penting karena menunjukkan bahwa al-Athfisy dan sekte Ibadiyah secara keseluruhan menolak doktrin Khawarij ekstrem yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Meskipun Ibadiyah memiliki hubungan dengan Khawarij dalam sejarahnya, kelompok ini berkembang menjadi masyarakat yang jauh lebih bijaksana.
Dalam tafsir al-Athfisy, kita melihat Islam yang memahami kelemahan manusia, menekankan keadilan tanpa tergesa-gesa menilai iman seseorang, dan menggunakan pendekatan ilmiah yang tenang. Warisan Khawarij yang berkembang menjadi tradisi moderat dan intelektual adalah karakter kelompok Ibadiyah yang selama ini jarang dibicarakan.
Melalui Kitab tafsir Hamyan al-Zād ilā Dār al-Ma’ād , al-Athfisy memberikan contoh bagaimana teks-teks al-Qur’an dapat dipahami dengan penuh kehati-hatian dan kedalaman analisis. Kitab ini bukan hanya penting untuk kelompok Ibadiyah, tetapi juga untuk siapa pun yang ingin mempelajari perubahan pemikiran Islam dan perkembangan tafsir dari berbagai mazhab.
Al-Athfisy menunjukkan bahwa sejarah Islam tidak dapat dipandang sebagai suatu struktur yang seragam dan kelompok yang pernah dianggap radikal ternyata dapat berubah menjadi mazhab yang matang dan moderat. Selain itu, al-Athfisy mengingatkan kita bahwa pengkafiran bukanlah jalan yang mudah bahkan bagi seorang ulama dari kelompok yang sering dianggap sebagai ’’paling cepat mengkafirkan’’.
Dari uraian di atas, jelas bahwa Muhammad bin Yusuf al-Athfisy dan karya monumentalnya Hamyan al-Zād ilā Dār al-Ma‘ād menawarkan kontribusi penting dalam memahami keragaman corak pemikiran dalam sejarah Islam. Al-Athfisy menunjukkan bahwa Khawarij Ibadiyah telah berkembang menjadi suatu kelompok yang moderat dan intelektual melalui pendekatan tafsir yang rasional dan jauh dari kecenderungan takfiri.
Dengan menafsirkan ayat-ayat sensitif seperti al-Maidah ayat 44, beliau menunjukkan bahwa tidak semua kelompok yang memiliki hubungan historis dengan Khawarij bersikap ekstrem sebagaimana sering digambarkan dalam literatur populer.

