KULIAHALISLAM.COM – Tidak ada yang meragukan bahwa generasi terbaik umat ini adalah generasi pertama yaitu para sahabat Rasulullah Saw. Mereka yang hidup bersama Rasulullah Saw, mendengar sabda-sabdanya, menyaksikan perbuatannya dan mengamati bagaimana beliau menyelesaikan berbagai permasalahan dan menjawab berbagai pertanyaan. Karena itu maka pemahaman mereka yang paling tepat dijadikan sebagai rujukan dalam memahami nash-nash al-Quran dan Sunnah.
Ustadz Yendri Junaidi |
Dalam konteks ini tentu kita sepakat dengan slogan “Kembali pada al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman salaf”, dan salaf yang dimaksud di sini adalah para sahabat.
Namun ada kesan seolah-olah pemahaman salaf itu hanya satu warna saja. Seolah-olah mereka selalu sepakat dalam segala hal. Bahkan ada kesan bahwa mereka hanya berpegang kepada teks atau zhahir semata dan mengabaikan substansi atau ‘illah di balik teks tersebut. Akibatnya muncul persepsi bahwa memahami nash itu mesti dipahami secara kaku sebagaimana yang dicontohkan para salaf, terutama para sahabat.
Kesan dan persepsi ini semakin kuat ketika pihak yang selalu menyuarakan slogan “Kembali pada al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman salaf” adalah pihak yang cenderung kaku, hurufiy, zhahiry dan tekstual dalam memahami nash. Kekakuan itu tampak pada ketidaksiapan mereka untuk berbeda. Sehingga isu-isu yang diangkat setiap tahun, bahkan setiap saat, adalah isu-isu yang sesungguhnya sudah selayaknya kita berlapang dada dan melihat itu sebagai sesuatu yang alami.
***
Benarkah para salaf cenderung kaku melihat sebuah nash? Seragamkah mereka dalam menyikapi sebuah masalah? Satukah sudut pandang mereka dalam memahami nash?
Suatu kali seorang laki-laki bertanya pada Nabi Saw tentang barang temuan (luqathah). Nabi Saw bersabda :
اعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا، ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً، ثُمَّ اسْتَمْتِعْ بِهَا، فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَأَدِّهَا إِلَيْهِ
“Kenali ikatan dan wadah barang temuan itu lalu umumkan selama setahun, kemudian silahkan gunakan. Jika pemiliknya datang serahkan barang itu padanya.”
Laki-laki itu bertanya, “Kalau onta yang lepas bagaimana ya Rasul?” Rasul marah. Mukanya memerah. Beliau bersabda, “Apa urusanmu dengan onta yang lepas? Ia bisa menjaga dirinya sendiri. Ia bisa mencari makan sendiri. Biarkan saja sampai ditemukan oleh pemiliknya.”
Laki-laki itu melanjutkan pertanyaannya, “Kalau kambing yang lepas bagaimana ya Rasul?” Rasul menjawab, “Untukmu atau saudaramu (pemilik aslinya) atau untuk serigala.”
Maksudnya, onta berbeda dengan kambing. Onta bisa menjaga diri sendiri. Sementara kambing tidak. Maka kalau ada onta yang terlepas biarkan saja. Tapi kalau kambing maka silahkan diambil. Karena kalau tidak ia akan dimangsa oleh serigala.
Sabda Nabi sangat tegas dalam hadits ini mengenai onta. Biarkan saja onta itu sampai ditemukan pemilik aslinya. Dan kondisi ini berlangsung sampai kekhilafahan Umar ra.
Namun di masa kekhilafahan Utsman ra, ia melakukan sesuatu yang berbeda dari sunnah Nabi, Abu Bakar dan Umar. Ia memerintahkan agar onta yang terlepas itu diambil, lalu diumumkan. Kalau tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya maka jual onta tersebut. Nanti kalau tiba-tiba pemilik aslinya datang serahkan uang hasil penjualan tersebut kepadanya. Jadi, Nabi melarang untuk mengambil onta itu sementara Utsman memerintahkan untuk mengambilnya, bahkan menjualnya.
Lain lagi di masa kekhilafahan Ali bin Abi Thalib ra. Ia memerintahkan onta-onta yang lepas atau tersesat untuk diambil dan dikumpulkan di suatu tempat/padang. Lalu onta-onta tersebut dijaga dan diberi makan secukupnya, tidak sampai membuat onta itu gemuk tapi juga tidak membiarkannya kurus. Pembiayaannya diambilkan dari baitul mal. Ketika pemiliknya datang dan bisa membuktikan kepemilikannya maka onta itu diserahkan padanya.
Jadi, Ali bin Abi Thalib ra sepakat dengan Utsman bin Affan ra dalam hal onta itu diambil dan tidak dibiarkan saja. Tapi Ali tidak sepakat kalau onta itu dijual.
Kenapa sampai kedua sahabat mulia ini mengambil langkah yang berbeda dari apa yang telah disunnahkan Rasulullah Saw? Karena ada maslahat dan zaman juga sudah berubah.
Terlepas dari masalah onta sesat atau lepas ini adalah masalah duniawi, namun yang menjadi fokus kita di sini adalah ternyata salaf (para sahabat) yang mulia tidak kaku dalam memahami sebuah hadits. Mereka tetap melihat kepada kemaslahatan dan perubahan zaman atau karakter manusia yang hidup di masa itu.
***
Namun sesungguhnya bukan hanya masalah duniawi semata keragaman pemahaman ini kita temukan dari kehidupan para salaf.
Sebagaimana diketahui, Allah Swt telah mensyariatkan mengqashar shalat dalam safar. Hal ini juga dipraktekkan oleh Rasulullah Saw dalam berbagai perjalanan, termasuk ketika beliau melaksanakan ibadah haji. Karena beliau datang dari Madinah maka beliau mengqashar shalat di Mina. Sunnah ini juga diikuti oleh Abu Bakar dan Umar ra.
Utsman bin Affan, di awal kekhilafahannya juga melakukan hal yang sama ; mengqashar shalat di Mina. Tapi kemudian beliau tidak mengqashar lagi. Ia menyempurnakan shalat di Mina (4 rakaat). Ini tentu berbeda dengan apa yang disunnahkan oleh Rasulullah Saw.
Imam az-Zuhri menjelaskan kenapa Sayyiduna Utsman melakukan hal tersebut. “Utsman menyempurnakan shalat di Mina karena ketika itu orang-orang arab dari kampung banyak yang datang. Utsman tidak ingin mereka mengira bahwa shalat Zhuhur itu hanya dua rakaat. Karena itulah ia sengaja menyempurnakannya agar mereka tahu bahwa shalat Zhuhur itu jumlahnya empat rakaat.”
Di salah satu riwayat, ketika ada yang bertanya kepada Utsman kenapa ia menyempurnakan shalat padahal Rasulullah Saw mengqashar, ia menjawab:
بلى ، ولكني أمام الناس فينظر إلي الأعراب وأهل البادية أصلي ركعتين فيقولون : هكذا فرضت
“Benar, tapi aku jadi sorotan banyak orang. Ketika banyak kalangan arab badui dari kampung melihatku shalat dua rakat mereka akan berkata, “Begitu shalat diwajibkan.” Artinya mereka akan menyangka bahwa shalat Zhuhur itu hanya dua rakaat karena Utsman melakukannya seperti itu.
***
Ketika ada yang mengajak untuk memahami al-Quran dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf, kita mengatakan, “Ya, setuju… Tapi dengan pemahaman salaf yang sesungguhnya, bukan salaf yang Anda maksudkan, yang terpolarisasi pada satu atau dua tokoh, atau ‘hasil seleksi’ yang sesuai dengan kecenderungan Anda, yang kemudian dipakaikan bungkus ‘salaf’ agar terkesan bahwa hanya itulah yang benar dan setiap yang berbeda dengan itu berarti salah.
Generasi salaf adalah generasi terbaik. Pemahaman mereka juga pemahaman yang terbaik. Dan pemahaman terbaik itu adalah yang terbuka, lapang, memperhatikan kemaslahatan dan menimbang perubahan akhlak dan karakter manusia di setiap zaman.
Penulis: Ustadz Yendri Junaidi, Alumni Universitas Al Azhar Kairo, Dosen STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang