Kita tahu bahwa kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah lughowiyah. Disebut kaidah istinbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut dipergunakan dalam rangka mengistinbatkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya yang terperinci. Demikian juga disebut kaidah lughawiyah karena kaidah ini merupakan kaidah yang dipakai ulama berdasarkan makna, susunan, gaya bahasa, dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa arab, setelah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dan kesusastraan arab.
Jika ditelisik secara etimologi, al-Qawaid al-Lughawiyyah berasal dari dua suku kata. Pertama al-qawaid/qa’idat merupakan jamaknya lafadz al-qa’idah yang artinya “alas bangunan”, “aturan”, “undang-undang”. Kedua, al-lughawiyyah merupakan bentuk nisbat dari lafadz lughatun yang artinya “bahasa”.
Penambahan ya’ nisbah berfungsi untuk menisbatkan kata qaidah kepada kata lughot yang bertujuan untuk membedakannya dengan qaidah-qaidah lain seperti qawaid ushuliyyah dan qawaid al-fiqhiyah. Sehingga makna dari qawaid lughawiyyah berarti qaidah-qaidah atau dasar-dasar bahasa.
Yang dimaksud qaidah lughawiyyah adalah qaidah yang dirumuskan oleh para ulama berkaitan dengan maksud dan tujuan ungkapan-ugkapan bahasa arab yang lazim digunakan oleh bangsa arab itu sendiri, baik yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan sastra, seperti syair, prosa, dan lain sebagainya.
Artinya, nash-nash al-Qur’an dan hadits adalah bahasa arab. Untuk memahami hukum-hukum yang terkandung di kedua nash tersebut secara sempurna dan benar, para ulama merasa perlu untuk memperhatikan dan melakukan penelitian tentang uslub-uslub (gaya bahasa) arab tersebut serta meneliti cara penunjukkan lafadz nash yang memakai bahasa arab kapada arti yang ditujunya.
Para ulama ushul bekerja keras membuat qaidah-qaidah yang dapat digunakan untuk memahami nash-nash dan menggali hukum-hukum taklify dari nash-nash itu sendiri. Dalam membuat qaidah itu, para ulama berpedoman pada dua hal sebagai berikut. Pertama: al-Madlulat al-Lughawiyyah (pengertian konotasi kebahasaan, dan al-Fahmu al-Araby (pemahaman yang berdasarkan pada cita-rasa bahasa arab terhadap nash-nash hukum dalam kaitanya dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kedua, pedoman (metode) yang dipakai Nabi Saw. dalam menjelaskan hukum-hukum al-Qur’an, dan himpunan hukum-hukum nash yang telah mendapat penjelasan dari sunnah. Dengan adanya tambahan keterangan dari sunnah, lafadz-lafadz nash menjadi jelas pengertianya dan masuk ke dalam lingkup hukum syara’ yang mempunyai kepastian hukum. Bahkan, dengan berpedoman pada dua hal tersebut para ulama ushul menguraikan metode tafsir fiqhy yang dapat dipakai untuk menggali hukum-hukum taklify yang terkandung dalam nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah.
Mereka membuat qaidah yang digunakan untuk mengetahui metode istinbath al-ahkam dan mampu mengkompromikan di antara nash-nash yang dari segi lahiriyyah-nya. Nampak saling bertentangan. Serta mampu mentakwilkan nash-nash yang secara lahiriyyah-nya tidak sejalan dengan ketentuan hukum agama yang pasti serta terhindar dari kesalahan dalam istinbath al-ahkam.
Lebih dari itu, dengan qaidah-qaidah itu pula, mereka akan mampu menangkap tujuan-tujuan syari’ah islamiyyah dari nash-nash yang dipandang sebagai sumber pokok yang pertama dan utama. Qawaid al-lughawiyyah merupakan qaidah yang digunakan sebagai cara untuk memperoleh hukum dengan cara lebih mempertimbangkan aspek maqashid asy-syari’ah-nya.
Ulama-ulama fiqih dalam berijtihad senantiasa memperhatikan qaidah-qaidah kulliyyah yang tidak kurang nilainya dalam prinsip undang-undang internasional, walaupun nama dan istilahnya berlainan. Qaidah-qaidah itu semuanya berkisar sekitar memelihara jiwa Islam dalam menetapkan hukum dan mewujudkan hukum keadilan, kebenaran, persamaan, kemaslahatan dengan memelihara keadaan-keadaan dlarurat.
Oleh karena pentingnya qaidah-qaidah itu, dan besar manfaatnya serta mendalam pengaruhnya dalam memberi petunjuk kepada hukum-hukum furu’ bila kita memerlukan hujjah dan dalil serta mengistinbatkan hikmah, para fuqaha dari segala madzhab memperhatikan sungguh-sungguh qaidah itu. Lalu mereka menyusun berbagai kitab yang menjadi suatu bendaharaan yang berharga untuk kita.
Apakah perbedaan merupakan dasar dari interelasi?
Shihab al-Din al-Qarafi adalah orang yang memaparkan titik perbedaan antara Qawaid Ushuliyah dan Qawaid Fiqhiyah. Terdapat sebuah pertanyaan dalam muqaddimah kita al-Furuq yang mengatakan; bahwa Syari’ah al-Mu’azhomah al-Muhammadiyah memuat Ushul dan Furu’.
Kemudian Ushul Syari’ah dibagi menjadi dua; pertama, yang disebut Ushul Fiqh, yaitu sesuatu yang mayoritas permasalahan di dalamnya tidak lain berupa kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari lafadz-lafadz Arab tertentu (qa’idah-qaidah lafal), serta hal yang berkaitan dengannya Misalnya tentang nasakh, tarjih, al-amru li al-wujub, al-nahyu li al-tahrim, sighat al-khusus li al-umum, dan lain-lain.
Kedua, yang disebut qawa’id fiqhiyyah kulliyah, yaitu putusan-putusan umum yang menyangkup seluruh bagian yang termuat di dalamnya. Qaidah Fiqhiyah merupakan suatu istilah yang banyak jumlahnya, memuat rahasia-rahasia syar’i beserta hikmahnya. Setiap qa’idah dari furu’-nya syariah terdapat permasalahan yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Dan di dalam pembahasannya tidak menuturkan sedikitpun tentang Ushul Fiqh. Sungguhpun secara tersirat kadangkala menyinggung Ushul Fiqh, itupun hanya secara umum saja.
Penciptaan kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i.
Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan, kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul).
Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik al-Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib.
Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i.
Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut. Kaidah ushul adalah kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
Perbedaan tehnis antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’-nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’-nya dalil-dalil sam’iyyah (transmisi verbal). Sedangkan kaidah fiqih maudhu’-nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh. Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qoth’i (absolute). Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat.
Namun, sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, karena sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid alim dan bukan hujjah bagi selainnya. Sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh. Kaidah ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyyah secara induktif.
Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk mengistinbathkan hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il al-Fiqhiya wa Tashiliha (mebersandingkan keberagaman problematika fiqih dan memudahkan untuk meng-aksesnya).Sehingga interelasi dari Qawaid Ushuliyah dan Qawaid Fiqhiyah tampak.
Dan, secara aktual dapat kita simpulkan bahwa, keduanya merupakan penghubung mediator dalam fungsi menjaga interkoneksifitas sumber hukum Islam yang permanent dan absolute dengan problematika kontemporer yang bergerak dinamis.
Mediasi tersebut dalam hal ini merupakan kreatifitas yang terlahir dari kecerdasan nalar manusia yang tentunya sangat varian dan beragam, namun terikat dalam bingkai yang selalu berorientasi untuk tetap tunduk pada apa yang diberikaan pencipta wujud dari spiritualitas seorang muslim yang paripurna. Wallau a’lam bisshawab.

