Dalam banyak pengajaran agama, Nabi Adam sering dikenalkan sebagai manusia pertama. Narasinya sederhana, mudah dipahami, dan hampir tak pernah dipertanyakan. Namun bila membuka lembaran tafsir awal Islam, kita menemukan tokoh-tokoh yang tidak sepenuhnya berada di jalur itu.
Sebagian membaca kisah Adam bukan sebagai awal biologi manusia, melainkan sebagai awal kepemimpinan manusia. Salah satu yang paling menarik adalah Nu’man bin Ḥayyūn, mufassir Syiah awal yang hidup pada masa ketika konsep imamah dan kepemimpinan spiritual sedang dirumuskan.
Nu’man bin Ḥayyūn bukan figur besar seperti al-Ṭabarī atau al-Qummī, tetapi ia termasuk generasi yang berada dalam pusaran intelektual Syiah pasca-Imam Ja‘far al-Ṣādiq. Pada masa itu, diskusi tentang siapa yang memikul mandat ketuhanan, siapa yang berhak memimpin, dan bagaimana struktur kosmos diatur oleh pengetahuan ilahi menjadi tema besar.
Tafsir pun tidak hanya dibaca sebagai penjelasan makna teks, tetapi sebagai cara memahami tata spiritual semesta. Karena itu, ketika Nu’man berbicara tentang Adam, ia tidak sedang menulis sejarah manusia, tetapi menafsirkan konsep kepemimpinan ilahi.
Pijakan utamanya terletak pada QS al-Baqarah 2:30 :
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Mayoritas kitab tafsir membaca ayat ini sebagai pengumuman penciptaan manusia. Tetapi Nu’man memiliki fokus yang berbeda: ia memperhatikan kata جاعل, yang menurutnya tidak berarti “menciptakan baru”, tetapi “menetapkan seseorang ke dalam posisi tertentu”.
Pada titik inilah ia menegaskan bahwa ayat tersebut bukan sedang mengumumkan awal spesies manusia, melainkan awal mandat kepemimpinan. Nu’man memahaminya seperti pengangkatan pejabat: sebuah jabatan tidak mungkin diciptakan tanpa adanya umat yang dipimpin. Dengan kata lain, penetapan khalifah mengandaikan bahwa sudah ada kehidupan manusia di bumi sebelum Adam. Yang belum ada adalah figur yang ditunjuk, diberi legitimasi, dan dipasrahkan amanah.
Respons malaikat dalam ayat yang sama أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا, memperkuat alur ini. Nu’man tidak memahaminya sebagai keraguan malaikat terhadap ilmu Tuhan, tetapi sebagai informasi bahwa malaikat pernah menyaksikan kerusakan sebelumnya. Ada makhluk berakal yang melakukan penumpahan darah, ada sejarah yang telah berjalan, dan ada catatan moral yang membuat malaikat tahu bahwa kehidupan di bumi tidak dimulai dari Adam.
Bagi Nu’man, ini bukan bukti bahwa makhluk tersebut lebih hebat dari manusia sekarang, tetapi bahwa mereka hidup tanpa struktur wahyu dan tanpa pemimpin yang ditetapkan. Di sinilah Adam memiliki posisi yang sama sekali baru.
Tafsir Nu’man semakin terasa unik ketika ia masuk pada QS. Al-Baqarah 2:31;
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا
Ia menolak pemahaman bahwa “nama-nama” berarti kosakata atau daftar benda. Baginya, “nama-nama” adalah pengetahuan menyeluruh tentang hakikat sesuatu, sebuah ilmu otoritatif yang membuat Adam layak ditunjuk sebagai khalifah. Adam bukan unggul karena fisiknya, tetapi karena ia menerima pengetahuan yang tidak diberikan kepada makhluk sebelumnya.
Nu’man memberi gambaran bahwa sebelum seseorang memimpin suatu wilayah, ia harus diberi pemahaman tentang struktur, sistem, dan hakikat dari wilayah itu. Pengajaran “al-asma’ kullaha” adalah tahap itu. Maka, pengajaran ini bukan hadiah, tetapi legitimasi.
Nu’man bahkan memandang frasa “kullaha” sebagai penanda kelengkapan mandat. Adam tidak sekadar tahu nama, tetapi tahu bagaimana sesuatu bekerja, bagaimana sesuatu ditempatkan, dan bagaimana sebuah sistem dijalankan.
Ini menjadi pembeda utama antara Adam dan makhluk yang hidup sebelum dia: mereka berakal, tetapi tidak memiliki pengetahuan yang menetapkan mereka sebagai pemikul amanah. Karenanya, ketika para malaikat diperintahkan sujud kepada Adam, Nu’man membacanya sebagai pengakuan terhadap legitimasi, bukan pengakuan terhadap urutan waktu kelahiran Adam.
Hal ini diperkuat lagi dengan membaca QS. Al-A‘raf 7:11
وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ
Susunan ayat ini bagi Nu’man merupakan penegasan bahwa penciptaan manusia secara umum berada pada fase yang lain, sementara sujud kepada Adam adalah tahap penetapan. Dengan demikian, Adam berada pada titik baru dalam sejarah wahyu: seorang manusia yang diberi ilmu agar dapat memimpin manusia-manusia yang sudah ada.
Sebagai mufassir Syiah awal, Nu’man terbiasa membaca Al-Qur’an melalui gagasan bahwa setiap umat memiliki figur terpilih yang dibekali ilmu, dipandu langsung oleh Tuhan, dan diberi legitimasi spiritual. Konsep ini biasanya kita kenal sebagai imamah. Nu’man tidak menyebutnya langsung dalam tafsir kisah Adam, tetapi pendekatannya jelas berasal dari kerangka itu. Ia melihat pola yang sama: pemilihan, pemberian ilmu, dan penegasan otoritas. Maka, tafsirnya terhadap penciptaan Adam bukan sekadar tafsir kosmologi, melainkan tafsir tentang bagaimana Tuhan menetapkan pemimpin di antara manusia.
Pembacaan seperti ini membuat kisah Adam terasa jauh lebih luas daripada sekadar siapa yang pertama hidup. Pertanyaan yang muncul bukan lagi “apakah ada manusia sebelum Adam?”, sebab itu bagi Nu’man bukan inti persoalan. Ia justru mengajak pembaca bertanya: apabila pernah ada makhluk berakal sebelum Adam, apa yang membedakan mereka dari manusia yang kemudian mengikuti petunjuk para nabi?
Apakah mereka manusia yang hidup tanpa wahyu, tanpa struktur bimbingan, tanpa kepemimpinan spiritual? Al-Qur’an tidak mengulas detail itu, dan bagi Nu’man, ruang sunyi itu justru penting: ia menegaskan bahwa fokus wahyu adalah Adam sebagai pemegang mandat, bukan manusia-manusia sebelum itu.
Pendekatan Nu’man bin Ḥayyun membuat kisah Adam menjadi lebih tajam dan fungsional. Adam tidak muncul sebagai figur paleontologis, tetapi sebagai simbol pertama dari manusia yang mengetahui, memahami, dan menata kehidupan berdasarkan amanah Tuhan. Ia bukan “yang pertama hidup”, tetapi “yang pertama ditugaskan”.
Nu’man menggeser pusat gravitasi cerita dari urutan biologis ke struktur kepemimpinan. Tuhan tidak sedang mengawali spesies, tetapi sedang menetapkan seorang khalifah. Pembacaan ini memunculkan model pemahaman baru: bahwa sejarah manusia dalam Al-Qur’an adalah sejarah mandat, bukan sejarah tubuh.
Dan dalam kacamata itu, pertanyaan “Apakah Adam manusia pertama?” bergeser menjadi pertanyaan yang lebih menggugah, “Apakah Adam adalah manusia pertama yang diberi pengetahuan, otoritas, dan amanah ilahi?” Bagi Nu’man, jawaban itu jelas: iya.
Dengan cara baca seperti itu, kisah penciptaan tidak lagi berhenti pada awal dunia, tetapi membuka ruang bagi imajinasi intelektual—tentang bagaimana manusia sebelum Adam hidup, bagaimana dunia sebelum wahyu berjalan, dan bagaimana mandat ilahi pertama kali diturunkan.
Tafsir Nu’man bin Ḥayyūn tidak sekadar menawarkan alternatif, tetapi mengajak pembaca menyelami lapisan-lapisan makna yang selama ini tersembunyi di balik kisah yang tampak sederhana.

