Peristiwa yang terjadi di PBNU hari ini sering dibahas bahkan digoreng di media-media sosial. Banyak komentar muncul, termasuk simpati, himbauan, saran, tak terkecuali ironi. Saya percaya bahwa komentar-komentar tersebut sebagian besar berasal dari cinta dan perhatian terhadap Nahdlatul Ulama, yang merupakan organisasi terbesar dan memiliki banyak harapan bagi umat. Ketika harapan tidak terpenuhi, maka kekecewaan adalah hasilnya.
Apa yang seharusnya kita lakukan? Yang jelas, tidak ada alasan bagi umat Islam, khususnya Nadhlatul Ulama, untuk menanggapi perbedaan pendapat ulama secara berlebihan. Dengan kata lain, mengutuk satu orang sambil meninggikan yang lain sangat tidak elok. Selain itu, perbedaan pendapat dan keyakinan yang terjadi di tubuh PBNU saat ini sama sekali tidak terkait dengan persoalan-persoalan akidah.
Yang lebih berbahaya adalah ketika yang fragmentaris itu digunakan untuk adu domba (memecah belah) dan kemudian diangkat menjadi masalah identitas politik, atau ketika pengetahuan tentang NU mengacu pada cara mendominasi dan mendorong mereka menurut aturan kita yang imperialis. Maka kesimpulan yang dihasilkan juga terpecah-pecah di antara berbagai unit pendekatan parokial.
Yang jelas, proses yang terjadi di tubuh PBNU telah terjadi berulang kali. Dinamika NU yang tajam tidak selalu dikaitkan dengan kepemimpinan; lebih sering, itu terkait dengan gagasan, seperti asas tunggal Pancasila. Para ulama pasti akan beristikharah dan meminta petunjuk kepada Allah SWT., seperti yang biasa terjadi di Nahdlatul Ulama. Allah SWT. berfirman:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَاتَفَرَّقُوْا ۖ وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَآءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖۤ اِخْوَانًا ۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَـكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
Artinya: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 103).
“Muqaddimah Qanun Asasi” sudah menekankan bahwa organisasi Nahdlatul Ulama adalah wadah persatuan, kerja sama (ta’awun), dan perbaikan (ishlah). Keputusan Muktamar Semarang tahun 1979 juga menekankan jam’iyah NU sebagai ideologi atau akidah serta sebagai gerakan untuk membina potensi dan kekuatan dalam masyarakat.
Bahasa seperti ini berasal dari beberapa kalimat Kiai Achmad Siddiq dalam Khittah Nahdliyah, termasuk pentingnya organisasi sebagai sebuah gerakan dengan ideologinya yang khusus untuk mengorganisir manusia serta dakwah untuk menggerakkan manusia. Selain itu, ada penekanan pada peran jama’ah NU sebagai pengikut dan pendukung cita-cita dan perjuangan NU.
Muktamar 1979 juga mengadopsi gagasan Kiai Achmad Siddiq tentang jama’ah Nahdlatul Ulama dalam Khittah Nahdliyah untuk digunakan dan dikembangkan menjadi kumpulan yang unggul untuk masa depan Nahdlatul Ulama. Ini menjadi syarat mutlak bagi semua jama’ah Nahdlatul Ulama, terutama para pemimpin, untuk memiliki sifat pejuang, karena jam’iyah pada dasarnya adalah tempat untuk pengabdian dan perjuangan.
Syahdan. Sebenarnya, yang lebih penting adalah bahwa dinamika yang terjadi hari ini di tubuh PBNU tidak boleh mengganggu upaya untuk merawat, memberdayakan, mendidik, dan membimbing masyarakat. Karena NU dilahirkan untuk membantu dan membimbing umat. Wallahu a’lam bisshawab.

