Filsafat

Analisis Perbandingan Karakteristik Pemikiran Filsafat Islam Klasik dan Modern dalam Konteks Indonesia 

6 Mins read

Filsafat Islam telah mengalami perkembangan peradaban dari zaman ke zaman, setiap zaman tentunya mempunyai karakteristiknya masing-masing dan menjadi sebuah jawaban atas tantangan-tantangan yang di hadapi umat Islam saat itu. Paradigma pemikiran filsafat Islam tidak berdiri di dalam ruang yang hampa. Akan tetapi, melalui proses dialektika yang selalu mengalir tanpa henti.

Pada abad pertengahan, filsafat Islam berada dalam puncak keemasannya dengan banyaknya para pemikir Islam yang mengadopsi unsur-unsur filsafat Yunani dan kemudian menggabungkan unsur filsafat dalam setiap dimensi-dimensi realitas umat Islam saat itu. Tetapi, dengan kemajuan zaman yang signifikan dan pengaruh koloanisme dan imperialisme dunia barat.

Mau tidak mau, muncul sebuah kebutuhan baru untuk mereformasi pemikiran filsafat Islam agar relevan dan eksis dengan perkembangan modern. Pada titik ini, filsafat Islam modern hadir sebagai upaya untuk mendobrak ambang pragmatis yang melanda umat Islam saat itu dengan menggunakan karakteristik yang bersifat dinamis dan humanis.

Filsafat Islam abad pertengahan dan munculnya filsafat Islam modern

Filsafat Islam abad pertengahan di tandai dengan masuknya unsur-unsur filsafat Yunani ke dalam Islam. Sebuah spirit besar untuk menyambut sebuah kerangka epistemologi, sistem berfikir dan falsifikasi baru yang mewarnai dunia islam. Tercatat banyak sejumlah ilmuwan, filosof dan sarjana muslim yang menerjemahkan, memberi notasi, dan bahkan melakukan studi komparatif atas karya-karya klasik milik Socrates, Aristoteles, dan Plato.

Pada abad pertengahan, filsafat Islam berkembang di pusat-pusat intelektual seperti Baghdad, Persia, dan Andalusia, dan banyak dipengaruhi oleh pemikiran Yunani klasik. Para filsuf Muslim pada masa ini, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd, sangat tertarik pada gagasan-gagasan filsafat Yunani, terutama yang dikembangkan oleh Aristoteles dan Plato.

Dalam pandangan mereka, filsafat merupakan sarana untuk mendalami dan memahami kebenaran yang tertuang dalam ajaran agama. Seperti halnya Al-kindi yang berusaha menyelaraskan ajaran Aristoteles dengan Islam. Ia meyakini bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, melainkan keduanya adalah sumber kebenaran yang saling melengkapi.

Begitupun juga dengan Al-Farabi, yang dikenal sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles, memperluas pendekatan Al-Kindi dengan menciptakan sistem filsafat yang menyelaraskan etika Aristotelian dengan ajaran Islam. Ia percaya bahwa kebahagiaan tertinggi dapat dicapai melalui filsafat dan kebijaksanaan, yang sejalan dengan tujuan-tujuan agama Islam.

Selain Al-kindi dan Al-farabi, juga ada Ibn Sina yang mengembangkan konsep metafisik dengan menempatkan Tuhan sebagai “wajib al-wujud” atau “keberadaan yang wajib.” Baginya tuhan merupakan sebuah entitas yang “perlu ada” karena dijadikan sebuah penyebab (asas utama) atas munculnya alam semesta ini. Pada pemikiran ini ibn Sina mengambil konsep Logika deduktif dari Aristoteles. Karena menurut ibnu Sina pemahaman tentang Tuhan dan alam semesta dapat dicapai melalui perpaduan antara filsafat dan teologi.

Melalui karya-karya mereka, dapat di ambil sebuah analisis bahwa para filsuf abad pertengahan banyak mengintegrasikan pemikiran Yunani ke dalam tradisi Islam hingga menciptakan aliran pemikiran yang luas dan kompleks. karakteristik utama dari filsafat Islam abad pertengahan terletak pada upayanya untuk mendiskusikan tentang hal ihwal yang berkaitan tentang metafisika, kosmologi, epistemologi, etika dan korelasi (hubungan) akal dengan wahyu. Dan cenderung kurang membahas tentang ketimpangan-ketimpangan sosial yang berkaitan dengan politik.

Baca...  Falsafah Islam: Menilik Konsep Emanasi Ibnu Sina 

Sementara itu, filsafat Islam modern mulai muncul pada abad ke-19 dan ke-20 sebagai respons terhadap tantangan kolonialisme, modernisasi, dan sekularisasi. Tokoh-tokoh filsafat Islam modern, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Iqbal, berusaha menghidupkan kembali semangat Islam dalam konteks yang lebih relevan dengan zaman mereka. Filsafat Islam modern lebih banyak membahas tentang bagaimana Islam bisa beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan, demokrasi, dan pluralisme. Fokus utama mereka adalah untuk menjawab ketimpangan sosial yang terjadi dalam umat islam dan mampu menjawab tantangan globalisasi serta pengaruh budaya Barat.

Pada fase ini filsafat islam mulai membentuk sebuah paradigma baru, dengan lebih memperhatikan isu-isu kontemporer yang di hadapi umat islam saat itu, daripada membincang tentang hal-hal yang bersifat metafisik. Seperti halnya Jamaluddin Al-Afghani yang dengan teguh mempunyai pendirian menolak dominasi Barat yang menurutnya merusak tatanan sosial dan moral dunia Islam. Dia menyerukan umat Islam untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar Islam yang menekankan keadilan, persamaan, dan kemandirian.

Menurutnya, kelemahan umat Islam disebabkan oleh ketidaktahuan dan kemunduran dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, al-Afghani mendorong pendidikan sebagai cara untuk mencapai kemajuan dan kemandirian. Lebih daripada itu jamaludin al-afghani juga mengkritik sikap taklid umat islam, yang menurutnya menyebabkan kemunduran umat islam. Ia mendorong umat islam untuk lebih berani dalam membuka paradigma baru dalam konteks agama (ijtihad) karena jamaluddin al-afghani berangkat dari akar pemikiran bahwa agama islam merupakan agama yang bersifat dinamis dan eksis sepanjang masa.

Lebih daripada itu, ada Muhammad Abduh yang sering di katakan sebagai tokoh awal dari pembaharuan Islam. Abduh mempunyai karakteristik mumpuni terkait gagasan-gagasa reformasi di dalam bidang pendidikan dan keagamaan, karena pada akhirnya abduh mempunyai kontribusi besar di dalam bidang pendidikan.

Abduh menekankan model pendidikan yang inklusif dan modern dengan memasukkan ilmu-ilmu seperti matematika, sains, dan filsafat ke dalam kurikulum pendidikan islam pada saat itu. Karena menurutnya, umat Islam harus memiliki pengetahuan yang luas agar dapat bersaing dengan Barat, tanpa melupakan fondasi agama mereka.

Begitupun juga dalam reformasinya di bidang hukum islam, ia mempunyai konsep yang serupa dengan jamaluddin al-afghani yang menyerukan tentang paradigma baru dalam hukum fiqh dan tidak hanya bertaklid buta terhadap ulama’ terdahulu yang nantinya akan menyebabkan “stagnasi akal.“

Baca...  Menyelami Makna Segitiga Kehidupan dalam Islam dan Filosofis

Dalam konsep politiknya abduh banyak di pengaruhi oleh paham-paham barat yang mencoba memisahkan antara hubungan agama dan politik. Abduh sangat koprehensif dalam menawarkan gagasan ini karena menurutnya urusan politik adalah urusan publik yang harus di kelola dengan menggunakan etika dan rasionalitas yang ideal. Sebaliknya, agama menurutnya merupakan hubungan privat antara hamba dengan tuhan dan merupakan sebuah urusan pribadi tanpa melibatkan politik di dalamnya. Akan tetapi yang ingin di ambil oleh abduh adalah sintesa (penengah) dari kedua hal di atas yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah kehidupan yang harmonis dan sejahtera.

Selanjutnya yaitu tokoh bernama Muhammad Iqbal, yang di kenal sebagai seorang filsuf, penyair, dan politisi asal Pakistan yang memberikan kontribusi signifikan dalam filsafat Islam modern. Iqbal dikenal karena gagasan-gagasannya yang memadukan elemen-elemen spiritual Islam dengan filsafat Barat. Dalam karya-karyanya, ia banyak terinspirasi oleh filsafat Jerman, khususnya Friedrich Nietzsche dan Johann Wolfgang von Goethe, serta ajaran sufisme Islam.

Iqbal masyhur dengan konsep “khudi” atau “diri”, yang berarti kesadaran individu terhadap potensinya sendiri sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Bagi Iqbal, kesadaran ini penting untuk membentuk umat Muslim yang berani menghadapi tantangan modern dan tidak lagi bergantung pada orang lain. Dalam filsafat politiknya, Iqbal menekankan pentingnya pembentukan negara Islam yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan sosial, persaudaraan, dan egalitarianisme.

Ia percaya bahwa umat Islam perlu memiliki negara yang berdiri di atas nilai-nilai Islam agar dapat menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Namun, Iqbal tidak mendukung penerapan syariat secara kaku, melainkan menyarankan agar hukum-hukum Islam diterapkan dengan fleksibilitas sesuai dengan konteks zaman.

Ketiga tokoh ini, meskipun memiliki pendekatan yang berbeda, tapi tujuan mereka sama yaitu untuk “mendobrak gaya berpikir pragmatis umat islam“ menunjukkan semangat yang sama dalam membangkitkan kembali kejayaan Islam.

Al-Afghani mendorong umat Islam untuk bersatu melawan dominasi Barat melalui nasionalisme dan Pan-Islamisme. Muhammad Abduh memperjuangkan reformasi dalam pendidikan dan hukum Islam dengan membuka kembali pintu ijtihad, sedangkan Iqbal mengajukan pemikiran spiritual yang mendalam melalui konsep “khudi” dan ijtihad dinamis.

Kontekstualisasi Pemikiran Islam Saat Ini

Sedangkan ketika dilihat dari kacamata peradaban Islam sekarang, umat Islam lebih mengandalkan taklid buta, kemudian hanya berani mengkaji ulang terhadap pemikiran ulama-ulama terdahulu tanpa berani untuk mengkritisi pendapatnya, bahkan di dalam pesantren, pusat kajian keilmuan terlalu menitik beratkan terhadap visi Qauliyah saja dan lemah dalam visi Kauniyah seperti halnya khazanah keilmuan fiqih yang terus di pelajari dan di titik beratkan, kemudian melupakan unsur-unsur kajian semacam filsafat, sosiologi, sains, anstronomi, dan seterusnya.

Begitu juga dengan metode hafalan, umat Islam sekarang lebih condong dengan metode hafalan saja, melupakan pemahaman dan pengamalan atas apa yang ia hafal. Umat Islam pada saat ini tidak berani untuk berpikir secara kritis yang mengedepankan rasio ilmiah, hanya terkurung dalam penafsiran secara tekstual/harfiah, dan melupakan penafsiran secara universal serta kontekstual, yang mana hal tersebut bisa menyebabkan terciptanya monoperspektif.

Baca...  Pemikiran Filsuf Mulla Sadra dari Persia

Begitupun dalam bidang teologi, dalam bidang teologi umat Islam hanya masuk pada relung-relung substansi metafisik (abstrak),  tidak berani untuk menyentuh sisi-sisi universal seperti konsep teologi yang di bawa oleh Asghar Ali Engineer, Hasan Hanafi, dan Ali Syariati, atau dari Indonesia sendiri, seperti KH. Abdurrahman Wahid dan Buya Syafi’i Ma’arif.

Sisi-sisi sufistik yang terlalu menekankan sikap pasrah diri, mudah menerima, juga dapat menyebabkan tertidurnya cara berfikir kritis umat Islam dan tidak bisa menciptakan gerakan-gerakan perubahan yang signifikan dalam paradigma pemikiran Islam.

Begiupun dalam bidang politik misalnya, Islam hanya di jadikan alat bagi abdi kuasa,  seperti halnya politik identitas yang mengatasnamakan agama Islam, hal ini bertujuan untuk memikat para simpatisan dan melanggengkan kekuasaan, perkara semacam ini juga dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan seperti yang terjadi pada masa Abbasiyah.

Begitu juga persekutuan antara agama dan negara dengan di perantarai oleh ulama’. Ahmad T. Kuru, seorang peniliti politik Islam berkebangsaan Turki dalam bukunya menjelaskan, para ulama’ yang bekerja sama dengan dikooptasi penguasa otoriter mempunyai keuntungan tersendiri. Meskipun pada awalnya secara strategis para penguasa awalnya berencana memanfaatkan ulama dalam waktu jangka yang panjang, akan tetapi seiring berkembangnya waktu para ulama’ tampak memperoleh manfaat lebih dari hubungan itu dengan mendorong Islamisasi diskursus publik dan akhirnya memperkuat posisi politik dan hukum mereka. Kemudian pada akhirnya berbagai bentuk persekutuan antara penguasa dan ulama’ telah membantu memperkuat rezim otoriter untuk mempertahankan kekuasaannya (kuru T. Ahmad, 2019:72)

Dengan segala problem yang melanda umat Islam era ini, dengan memperhatikan berbagi macam sebab kelemahan dan kemunduran umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya, ada beberapa solusi yang bisa di lakukan. Akan tetapi hal ikhwal yang paling utama adalah bagaimana cara kita bisa menyadarkan kemunduran ini kepada umat Islam, khususnya pada orang awam.

Ada beberapa solusi yang bisa di lakukan. Adapun cara yang paling efektif adalah dengan menitik beratkan terhadap model cara pendidikan ala barat dan kembali mengkaji ulang terhadap pemikiran tokoh modern Islam. Karena tidak dapat di pungkiri bahwasannya barat adalah kiblat keilmuan yang bisa menjadikan majunya sebuah pemikiran dan peradaban Islam, selaras dengan yang dikatakan oleh Muhammad Abduh, “Aku pergi kenegara barat, aku melihat Islam namun tidak melihat orang muslim. Dan aku pergi ke negara Arab, aku melihat orang muslim namun tidak melihat Islam.” Karena pada realitanya umat Islam sekarang telah kehilangan cara berpikir kritis dan rasionalis.

2 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Jurusan Akidah dan Filsafat Islam
Articles
Related posts
Filsafat

Refleksi Kritis Terhadap Degradasi Peradaban Islam

4 Mins read
Refleksi kritis terhadap degradasi peradaban Islam. Perkembangan filsafat Islam mengalami perubahan yang signifikan dari periode pertengahan ke periode modern. Perubahan ini mencangkup…
Filsafat

Filsafat Islam Abad Pertengahan dan Modern: Sebuah Perbandingan dan Tantangan Zaman

5 Mins read
Filsafat Islam adalah salah satu cabang pemikiran terpenting dalam sejarah dunia Islam, dan mencakup berbagai topik dalam metafisika, etika, dan politik. Ada…
Filsafat

Teologi Pembebasan dalam Islam

3 Mins read
Teologi pembebasan (liberal theology) pada awal mulanya adalah gerakan keagamaan yang muncul pada akhir abad ke-20 Katolik Roma yang berpusat di Amerika…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights