Al-Malahi di dalam Al-Qur’an berakar
dari kata “Lahw” yang disebutkan sebanyak sepuluh kali. Lima kali
diantaranya digunakan untuk menerangkan sifat dari kehidupan dunia seperti Q.S
Al-An’am ayat 32 yang artinya : “ Dan tiadalah kehidupan di dunia ini selain
dari main-main dan senda gurau belaka”. Raghib Al-Asfahani dalam kitabnya “ Al-Mufradat
Fi Ghraibil Qur’an Jilid 3” menyebutkan bahwa istilah “Lahw” artinya
adalah hiburan yaitu apa-apa yang menyibukan seseorang dari hal penting
baginya, sesuia Q.S Muhammad ayat 36 ;
إِنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
ۚ وَإِن تُؤْمِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْـَٔلْكُمْ أَمْوَٰلَكُمْ
Arab-Latin: Innamal-ḥayātud-dun-yā
la’ibuw wa lahw, wa in tu`minụ wa tattaqụ yu`tikum ujụrakum wa lā yas`alkum
amwālakum.Artinya: Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan
senda gurau. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala
kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.
Selain itu kata “lahwa” juga
digunakan untuk mengartikan segala bentuk yang dapat menyenangkan sesuai firman
Allah dalam Q.S Al-Anbiya ayat 17 : “ Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu
permainan”.Imam Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menyebutkan
bahwa kata “lahwa” sebagai sesuatu yang menyibukan manusia dan
menyebabkan ia lupa mengerjakan sesuatu yang seharusnya dikerjakan.
Al-Malahi Menurut Fuqaha
Kata al-Malahi dalam pembahasan
Ulama Fiqih (Fuqaha) mengacu kepada alat-alat musik yang dapat menyebabkan
orang yang mendengarkannya menjadi lupa terhadap kewajibannya yang lebih
penting. Menurut Muhammad Husain al-Aqbi dalam kitabnya menyatakan Al-Malahi yaitu alat-alat yang mempunyai ritme, melodi
dan harmoni seperti seruling, gitar dan rebab. Alat-alat itu menimbulkan suara
yang merdu dan dapat melalaikan orang untuk mengerjakan sesutu yang lebih
penting.
Hukum Memainkan Musik
Di kalangan Fuqaha terdapat
perbedaan tentang hukumnya mempergunakan alat musik. Imam Syafi’I merupakan
Ulama yang mengharamkan mendengar bunyinya dan memainkan alat musik. Ia
mengatakan haram hukumnya memainkan Nard (alat musik yang terbuat dari batang
kurma), berdasarkan hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam :
“Barangsiapa yang memaikan Nard maka ia telah mendurhakai Allah” (H.R Imam
al-Baihaqi). Akan tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum memainkan
musik dan mendengarkan musik adalah Makruh.
Musik dalam Pandangan Imam
Al-Ghazali
Disamping Fukaha, Ulama Tasawuf
banyak berpendapat perihal hukum mendengarkan dan menggunakan alat musik. Imam
Mujahid abad ke 2 H dan Abu Thalib al-Makki berpendapat tidak menyukai suatu
pesta kecuali didalamnya diperdengarkan nyanyian dan musik. Imam Abu Hamid
Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin jilid 4 pada bab Adab al-Sima wa al-wajd
(tata cara mendengar musik dan menjumpai realitas ghaib/rahasia hati) menjelaskan
secara rinci soal hukum musik, syair dan nyanyian.
Imam Al-Ghazali berpandangan bahwa
sesuatu yang didengar oleh telinga berpengaruh pada hati. Hati adalah gudang
rahasia dan rahasia tersebut dapat dimunculkan melalui pendengaran. Karena itu
ia berpendapat bahwa segala alat musik yang dapat menimbulkan suara yang merdu
dan nikmat didengarakan dapat menggetarkan hati dan mengeluarkan segala rahasia
yang tersimpan didalamnya. Imam Al-Ghazali berpendapat hukum mendengar musik
adalah mubah namun bisa berubah jadi haram, makruh dan sunnah apa bila ada’Ilat
yang membawa kepada hukum-hukum tersebut.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa
mendengarkan suara yang merdu baik yang ditimbulkan oleh alat musik maupun
nyanyian tidak diharamkan. Pendapat Imam Al-Ghazali ini didasarkan pada Q.S
Lukman ayat 19 yang artinya ; “ sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara
keledai”. Menurutnya ayat ini mengandung pujian terhadap suara yang bagus,
selain itu juga didasarkan pada Hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
yang artinya : “Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang Nabi kecuali bagus
suaranya (HR Ibnu Majah). Rasulullah juga memuji sahabat Abu Musa al-asy’ari
karena ia mempunyai serunai, Nabi bersabda : “Sesungguhnya telah diberikan
kepada Abu Musa al-asy’ari serunai dari serunai-serunai keluarga Nabi Daud”
(H.R Ibnu Majah).
Al-Farabi juga mendukung pemakaian
alat musik dalam kehidupan. Menurut Ahmad Fu’ad al-Ahwani (ahli filsafat dari
Mesir) dalam bukunya “Al-Falsafah al-Islamiyah (Filsafat Islam), Al-Farabi
adalah orang pertama yang meletakan sejumlah dasar pelajaran tentang suara.
Dialah orang pertama yang menjadikan musik sebagai ilmu yang berdiri sendiri di
atas sejumlah teori. Selain Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengubah beberapa syair
yang mengungkapkan hikmah filsafatnya, terutama dalam menjelaskan filsafat
jiwa.
Al-Ahwani dalam bukunya “
at-Tarbiyah fi al-Islam (Pendidikan Dalam Islam)” mengatakan bahwa Ibnu Sina
menggunakan seni suara dalam bentuk syair untuk mengajarkan pendidikan akhlak
dan budi pekerti pada anak-anak karena secara kejiwaan anak-anak suka bermain.
Ibnu Sina memuaskan jiwanya dengan cara bersyair yakni menuliskan ajarannya
melalui seni suara dan irama.
Perbedaan pendapat Al-Malahi karena
adanya perbedaan terhadap efeknya. Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah
mengharamkan musik karena banyak melalaikan orang mengingat Allah. Adapun Imam
Al-Ghazali membolehkan alat-alat musik karena dapat memberikan ketenangan jiwa,
dalam suasana itu manusia dapat berhubungan dengan Tuhan. Pada masa Daulah
Abasiyah tepatnya era Khalifah Harun ar-Rasyid, perkembangan musik sangat pesat
karena banyak Ulama menulis kitab tentng musik, seperti Al-Kindi, Ibn Abd
Rabbihi (860-940 M) dari Spanyol telah menulis kitab al-‘Iqd l-Farid yang
menjelaskan para ahli musik terkenal, Abu Faraj al-Asfhani menulis kitab
Al-Agani yang berisi syair dan musik Arab.Teori
musik berkaitan erat dengan fisika dan matematika, antomi dan ilmu suara
sehingga orang yang menguasai musik harus menguasai ilmu tersebut.