Penulis: Alicya Anandha Khoets*
KULIAHALISLAM.COM – Filsafat, seiring waktu tidak hanya berkutat pada rumusan dan hasil pemikiran semata. Dalam ruang lingkupnya, filsafat mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai hakikat segala yang ada, sebab-asalnya, dan hukumnya. Dibalik pemahaman umum yang menyatakan bahwa filsafat hanya berkaitan dengan rumusan pemikiran, terdapat suatu kenyataan bahwa filsafat turut membahas pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari ilmu. Ilmu, pada dasarnya, adalah pengetahuan yang disusun secara sistematis sesuai dengan metode-metode tertentu. Namun, ilmu bukan sekadar pengetahuan sebaliknya, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang disusun secara sistematis. Proses memperoleh ilmu pengetahuan dikenal sebagai epistemologis.
Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan, merambah segala aspek, mulai dari kemungkinan, asal-usul, batas-batas, asumsi, hingga validitas dan reliabilitas. Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dalam konteks Islam, epistemologi hadir dalam tiga aliran besar: bayani, irfani, dan burhani. Aliran burhani, yang akan kita bahas lebih mendalam, menjadi fokus utama pembahasan ini.
Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia pada abad ke-7 hingga ke-15. Namun, masa keemasan ini kemudian mengalami kemunduran. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya variasi aliran pemikiran dalam Islam yang terkait dengan teori pengetahuan atau sering disebut epistemologi. Tiga model sistem berpikir utama dalam Islam yakni bayani, irfani, dan burhani.
Epistemologi Burhani menonjolkan kekuatan rasio dan akal sebagai sarana untuk memahami kebenaran. Pendekatan ini tidak merujuk kepada teks suci atau pengalaman spiritual, melainkan menekankan kemampuan alamiah manusia melalui naluri, pengalaman inderawi, eksperimen, dan konseptualisasi. Fokus utamanya adalah pada kepercayaan bahwa akal mampu menemukan pengetahuan, termasuk dalam ranah agama.
Al Kindi, melalui karyanya “Al-Falsafah Al-Ula,” memperkenalkan konsep nalar Burhani pertama kali dalam dunia Arab Islam. Meskipun terinspirasi dari Aristoteles, upayanya dianggap parsial oleh Abid Al Jabiri karena belum sepenuhnya mengadopsi konsep nalar rasional seperti dalam filsafat Aristoteles.
Epistemologi Burhani berbeda dengan bayani dan irfani, karena burhani mengandalkan kekuatan rasio atau akal. Metodenya melibatkan eksperimen, observasi, dan eksplorasi dengan pemikiran sistematis, logis, dinamis, dan kreatif. Sumber pengetahuannya adalah rasio, bukan teks atau intuisi.
Epistemologi Burhani menggunakan silogisme sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan. Silogisme, atau qiyas, memerlukan beberapa tahap, seperti pengertian, pernyataan, dan penalaran. Tahap-tahap ini memastikan bahwa pengetahuan yang dihasilkan sesuai dengan realitas alam, sosial, dan keagamaan.
Akal dalam epistemologi Burhani menjadi penilaian dan keputusan terhadap informasi yang diperoleh melalui indera. Proses pembentukan konsep (tasawwur) dan pembuktian kebenaran konsep (tasdiq) adalah langkah-langkah kunci dalam epistemologi ini.
Setiap epistemologi memiliki kelebihan dan kekurangannya. Epistemologi Burhani dianggap memiliki keterbatasan karena tidak dapat menjelaskan fenomena yang tidak dapat dijangkau oleh rasio, seperti warna, bau, atau rasa. Kritikan juga muncul terkait dengan pernyataan bahwa setiap atribut harus dijelaskan dengan atribut lain, yang dapat memicu proses tanpa akhir.
Sebagai respons terhadap keterbatasan epistemologi Burhani, muncul aliran isyraqi yang menggabungkan kekuatan rasio dan intuisi. Namun, isyraqi dianggap terbatas pada kalangan elite terpelajar. Mulla Sadra kemudian mengembangkan hikmah al-muta’aliyah, menggabungkan bayani, irfani, dan burhani dalam suatu epistemologi yang mandiri dan unik.
Kesimpulan
Epistemologi Burhani, dengan menekankan kekuatan rasio dan akal, memberikan kontribusi penting dalam pengembangan filsafat Islam. Meskipun memiliki keterbatasan, epistemologi ini memainkan peran kunci dalam membentuk berbagai aliran filsafat Islam yang muncul setelahnya.
Dalam keberagaman pemikiran, filsafat Islam membuktikan bahwa ia bukanlah sekadar tiruan dari filsafat Yunani, melainkan suatu entitas mandiri yang terus berkembang.
*) Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Editor: Adis Setiawan