KULIAHALISLAM.COM-Fenomena sound horeg—fenomena di mana suara sangat keras diputar terutama di lingkungan publik atau perumahan—tidak hanya menimbulkan keonaran sosial, tetapi juga mengundang konflik yang merefleksikan rendahnya kepekaan sosial masyarakat. Bentrokan antara pihak yang menikmati suara keras dan mereka yang merasa terganggu bukan lagi kejadian langka, bahkan bisa berujung pada kerusuhan fisik dan psikologis. Ini adalah ujian nyata bagi kepekaan sosial khususnya,bagi seorang Muslim yang menjunjung tinggi harmoni, ketentraman, dan kewajiban moral.
Secara ilmiah, suara keras yang berlebihan terbukti sangat merusak kesehatan manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan paparan suara di atas 85 desibel dalam waktu lama bisa menyebabkan hearing loss atau gangguan pendengaran permanen. Selain itu, suara bising terus-menerus memicu gangguan tidur, peningkatan stres, hingga masalah kardiovaskular dan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan. Penelitian oleh Harvard Medicine Magazine mengungkapkan bahwa paparan kebisingan kronis dapat menimbulkan risiko penyakit jantung dan gangguan mental sekaligus memengaruhi perkembangan kognitif anak-anak. Di Amerika Serikat misalnya, sebanyak 104 juta orang diperkirakan terpapar tingkat kebisingan berbahaya >70 dBA, membuat mereka rentan mengalami gangguan pendengaran dan masalah kesehatan lainnya. Di Eropa, Menurut Pusat Data Kesehatan EU kebisingan diperkirakan menyebabkan 48.000 kasus baru penyakit jantung setiap tahun dan mengganggu tidur sekitar 6,5 juta jiwa per tahun 2023.
Dari sisi sosial dan agama, sound horeg yang merusak ketenangan lingkungan adalah bentuk pelanggaran hak sesama manusia. Dalam Islam, kita diajarkan untuk menjaga hak orang lain dan tidak mengganggu ketenangan mereka adalah kewajiban mutlak. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu lemparkan (dirimu) ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri…” (TQS. Al-Baqarah: 195), mengingatkan agar kita tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Rasulullah SAW juga melarang tindakan muslim yang menyebabkan gangguan,seperti dalam sabdanya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka janganlah dia mengganggu tetangganya “ (HR. Bukhari (no.1609); Muslim (no.2463); dan lafazh hadits ini menurut riwayat beliau, Ahmad (no.7236); at-Tirmidzi (no.1353); Abu Dawud (no.3634); Ibnu Majah (no.2335); dan Malik (no.1462)).
Ulama besar seperti Syaikh Ibn al-Qayyim menuliskan bahwa menyebabkan kegaduhan dan gangguan suara adalah suatu bentuk kerusakan yang diharamkan, karena menghilangkan hak orang lain akan ketenangan dan kenyamanan. Syaikh Yusuf al-Qaradawi juga menegaskan bahwa Islam mendorong umatnya mengutamakan tanggung jawab sosial dan keterlibatan aktif untuk saling menjaga keharmonisan dalam masyarakat. Imam Al-Ghazali bahkan menasihati, “Jangan mengganggu orang lain, demi Allah, jangan menyakiti siapa pun.”
Maka dari keseluruhan sudah jelas bahwa pengelolaan suara secara bijak adalah sebuah keharusan. Seorang muslim hendaknya berperilaku baik di masyarakat, terutama dalam hak-hak atas saudaranya. Perilaku mengambil hak, seperti mengambil hak istirahat/ketenangan/kenyamanan dengan cara mengabaikan gangguan suara yang merugikan tetangga,apalagi sesama Muslim adalah bagian dari kedzaliman yang harus dihindari. Sebab setiap Muslim akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatannya, termasuk dampak perilakunya terhadap sesama. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Fenomena sound horeg bukan sekadar masalah suara atau estetika, melainkan tantangan kepekaan sosial dan introspeksi bagi seorang muslim untuk terus bersikap santun, adil, dan penuh empati di lingkungan komunitas masyarakat. Jangan sampai kita berkeras kepada masyarakat untuk “toleran” dengan kebiasaan kita, tapi lupa untuk bersikap memahami dan “toleran” dengan norma yang berlaku di masyarakat umum.
Tak jaluk pengertianmu
Ojo dadi loromu .
(Ku mohon pengertianmu, jangan jadi seperti itu)