Nur Fadilah1, Aisyah Afifah Rahma2
Abstrak
Dalam tulisan ini akan membahas secara sederhana mengenai bagaimana cara menguji netralitas ilmu pengetahuan dalam filsafat ilmu baik dari nilai maupun etika yang ada. Kita memahami netralitas sebagai sesuatu yang bebas nilai.
Prinsip ini merupakan sebuah tuntutan kepada ilmu pengetahuan. Dengan tujuan ilmu pengetahuan menjadi suatu objek yang dapat berkembang secara independen. Dengan tidak memperhatikan nilai nilai lain diluar ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dimana pernilaian semata mata hanya berdiri pada pertimbang murni dari ilmiah itu sendiri. Sebagai ilmu yang independden dituntuk untuk mampu tunduk pada aturan aturannya.
Dengan ilmu pengetahuan ini, manusia mampu menciptakan peradaban dan dengan ilmu pengetahuan manusia dapat menciptakan malapetak dalammkehidupannya. Sehingga peran netral tidak netralnya ilmu dalam kehiudpan manusia menjaidi tanya tanya besar.
Pendahuluan
Pengetahuan, yang dihasilkan dari kegiatan berpikir, adalah obor dan kekuatan peradaban di mana manusia menemukan diri mereka sendiri dan menghayati hidup dengan lebih baik. Manusia mengembangkan berbagai peralatan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka dengan menerapkan pengetahuan yang mereka pelajari pada berbagai aspek kehidupan.
Namun, apakah ilmu benar-benar membantu kesejahteraan manusia? Seperti yang kita ketahui, ilmu telah berkontribusi pada gejala dehumanisasi. Ilmu pengetahuan bukan lagi sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup, tetapi sebagai sarana untuk menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Jika kita tidak menyadari betapa hebat ilmu, kita justru memperalat diri kita sendiri.
Ilmu pengetahuan sebagai fondasi utama dalam perkembangan manusia. Karena, dari ilmu pengetahuan manusia mampu memahami bagaimana fenomena alam yang terjadi, bagaimana cara perkembangan teknologi, serta memperbaiki kualitas hidup.
Dan dibalik kemajuan duni modern ini, muncul pertanyaan fundamental mengenai netralitas ilmu pengetahuan. Apakah ilmu benar benar berrsifat netral? Ataukah ilmu pengetahuan, secara sadar atau tidak selalu dipengaruuhi oleh nilai nilai budaya, politik, dan etika yang menglingkupinya?
Pertanyaan ini menjadi sangat relevan dalam konteks filsafat ilmu, yang membahas lebih dari hakikat dan metode ilmu, yang akan membahass tentang relasi antara ilmu, nilai, dan tanggung jawab moral dari ilmuwan.
Perkembangan peradaban yang terus tumbuh dan berkembang sangatlah pesat dan cepat. Tanpa disadari telah menghadirkan kerumitan dan komplesitas kehidupan yang beraneka ragam juga. Artinya, semakin berkembang zaman akan semakin berkembang pula ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, pada keyataan lain, perkembangan ilmu pada era modern ini justru menjadi sebuah dilema tersendiri. Apakah perkembangan ilmu pengetahuan yang tercipta pada hakikatnya akan membawa kepada peradabn dunia yang lebih sejahtera dan damai atau justru sebalinya? Dalam kajian filsafat bunyi pertanyaan tesebut akan menjaadi “ netralkah sebuah ilmu pengetahuan itu? “.
Netralitas Ilmu Pengetahuan
Kita menganggap netrakitas sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai. Namun, prinsip prinsip ini sangatlah penting bagi tuntunan ilmu pengetahuan. Tujuannya agar ilmu pengetahuan menjadi sesautu yang dapat berkembang sendiri.
Dengan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan nilai nilai lain diluar ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan prinsip tersebut, bermaksud untuk membuta ilmu pengetahuan beretumbuh untuk ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ada kalanya ilmu pengetahuan terpengaruh oleh pertimbangan lain, seperrti politik, ekonomi, agama dan moral. Kemudian, proses itu sudah menghasilkan output yang tidak otonom. Ia sudah terdistorsi oleh nilai diluar dirinya sendiri “ilmu pengetahuan sudah tidak menjadi murni sama sekali”.[1]
Dengan demikian, netralitas ilmu pengetahuan adalah ilmu itu netral, tidak memihak pada apapun, kepada kebaikan dan keburukan, dan tidak terpengaruhi oleh apapun.[2] Ilmu pengetahuan baru dapat dikatakan netral jika telah memenuhi dua prinsip utama. Pertama, ia harus bersifat mandiri. Kedua, memilik unsur objektivitas, yaitu ia konsisten dengan keputusannnya serta tidak menghakimi orang atau kelompok tertentu.
Latar Belakang Perdebatan Tentang Netralitas Ilmu
Sejarah perdebatan tentang netralitas ilmu setidaknya dapat diklasifikasikan kedalam tiga fase, yaitu fase penemuan Copernicus tentang kesemestaan, fase Albert Enstein tentang penemuan bom atom dan fase filsafat positivisme. Fase fase ini dijealskan dalam uraian berikut :
- Fase penemuan teori heliocentris oleh Nicolaus Copernicus
Nicolaus Copernicus (1473–1543), seorang polymath asal Polandia, dikenal sebagai pelopor teori heliosentris yang merevolusi pemahaman tentang tata surya.[3] Pada awal abad ke-16, Copernicus mengembangkan model astronomi yang menempatkan Matahari sebagai pusat alam semesta, menggantikan pandangan geosentris yang selama berabad-abad menempatkan Bumi di pusatnya.
Ia mulai merumuskan gagasan ini sekitar tahun 1510 dan menyebarkan ringkasan teorinya yang dikenal sebagai Commentariolus kepada beberapa kolega. Dalam teorinya, Copernicus menjelaskan bahwa planet-planet, termasuk Bumi, bergerak mengelilingi Matahari dalam lintasan melingkar dengan kecepatan yang seragam, serta Bumi memiliki tiga gerakan: rotasi harian, revolusi tahunan, dan kemiringan sumbu.[4]
- Fase penemuan bom atom oleh Albert Enstein
Albert Einstein (1879–1955) bukanlah penemu bom atom secara langsung, namun perannya sangat penting dalam sejarah penemuan senjata nuklir tersebut. Pada 2 Agustus 1939, Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt yang berisi peringatan bahwa Jerman Nazi sedang mengembangkan senjata baru yang sangat kuat, yaitu bom atom, berdasarkan kemajuan dalam fisika nuklir, khususnya pembelahan atom uranium yang ditemukan oleh para ilmuwan di Berlin pada tahun 1938.
Surat ini, yang sebenarnya disusun oleh fisikawan Leo Szilard dan ditandatangani oleh Einstein, mendorong pemerintah AS untuk memulai Proyek Manhattan, sebuah usaha ilmiah dan militer besar-besaran untuk mengembangkan bom atom.[5]
- Fase Positivisme
Fase positivisme pada periode 1922-1929 ditandai dengan munculnya gerakan filsafat yang dikenal sebagai Lingkaran Wina (Vienna Circle), sebuah kelompok neo-positivisme atau positivisme logis yang berupaya membangun filsafat ilmiah yang ketat dan bebas dari spekulasi metafisik.
Kelompok ini terdiri dari filsuf dan ilmuwan seperti Rudolf Carnap, Moritz Schlick, Hans Hahn, dan Otto Neurath yang secara rutin berkumpul di Wina sejak 1922. Mereka menolak pernyataan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan hanya menerima pengetahuan yang berdasarkan observasi objektif dan metode ilmiah.
Pada tahun 1929, Lingkaran Wina menerbitkan manifesto penting berjudul Wissenschaftliche Weltanschauung, Der Wiener Kreis yang merangkum pandangan dunia ilmiah mereka dan menegaskan dominasi ilmu pengetahuan yang dapat diverifikasi secara empiris.[6]
Problem Netralitas: Kegiatan Ilmiah vs Nilai Etis
Netralitas dalam ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai prinsip fundamental yang menjamin objektivitas dan kredibilitas hasil penelitian. Dalam konteks ini, kegiatan ilmiah idealnya berlangsung secara bebas dari pengaruh nilai-nilai subjektif, kepentingan politik, maupun tekanan sosial.
Ilmu diharapkan hanya berfokus pada pencarian fakta dan kebenaran empiris tanpa campur tangan nilai etis atau moral. Namun, dalam praktiknya, netralitas ini menghadapi problematika yang kompleks ketika kegiatan ilmiah bertemu dengan nilai-nilai etis yang melekat pada manusia dan masyarakat.
Salah satu problem utama adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah benar-benar terlepas dari konteks sosial dan nilai-nilai yang ada. Pemilihan topik penelitian, metode yang digunakan, serta aplikasi hasil penelitian sering kali mengandung nilai-nilai tertentu yang tidak dapat diabaikan.
Misalnya, penelitian di bidang bioteknologi atau senjata nuklir membawa konsekuensi etis yang besar, sehingga ilmuwan tidak hanya dituntut untuk netral dalam proses ilmiah, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak moral dari hasil kerjanya. Hal ini menimbulkan dilema antara menjaga netralitas ilmiah dan memenuhi tanggung jawab etis sebagai agen sosial.
Selain itu, netralitas ilmiah juga sering diuji ketika hasil penelitian digunakan untuk tujuan politik atau ekonomi yang kontroversial. Dalam situasi seperti ini, ilmuwan dihadapkan pada tekanan untuk memihak atau mengaburkan fakta demi kepentingan tertentu, yang berpotensi merusak integritas ilmu.
Oleh karena itu, kesadaran etis menjadi sangat penting agar ilmuwan dapat menavigasi antara prinsip ilmiah yang menuntut objektivitas dan tuntutan moral yang mengharuskan mereka bertanggung jawab atas implikasi sosial dari ilmu yang mereka hasilkan.[7]
Kesadaran Etis dan Kewajiban Ilmuwan
Kesadaran etis merupakan aspek krusial yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan dalam menjalankan kegiatan keilmuannya. Ilmuwan tidak hanya bertanggung jawab untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan objektif, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak sosial, moral, dan etis dari hasil penelitiannya.
Sebagai bagian dari masyarakat, ilmuwan memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa ilmu yang mereka kembangkan dapat digunakan secara bertanggung jawab dan tidak disalahgunakan demi kepentingan yang merugikan umat manusia.
Etika keilmuan berfungsi sebagai pedoman normatif yang merumuskan prinsip-prinsip moral yang harus dijunjung tinggi oleh ilmuwan, seperti kejujuran, integritas, keterbukaan, dan rasa tanggung jawab terhadap konsekuensi dari penelitian yang dilakukan.[8]
Dalam praktiknya, etika ini menuntut ilmuwan untuk bersikap objektif, menerima kritik, dan berani mengakui kesalahan apabila ditemukan kekeliruan dalam proses atau hasil penelitian. Hal ini penting agar ilmu pengetahuan dapat berkembang secara sehat dan kredibel.
Selain itu, ilmuwan memiliki kewajiban sosial untuk menyampaikan hasil penelitiannya kepada masyarakat dengan cara yang dapat dipahami dan digunakan secara bijak. Mereka harus berperan aktif dalam mengawal pemanfaatan ilmu agar tidak menimbulkan dampak negatif, serta memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan peradaban dan kesejahteraan manusia.
Kewajiban ini juga mencakup sikap profesionalisme, dimana ilmuwan harus mengembangkan keahlian dan disiplin kerja yang tinggi, sehingga dapat menghasilkan karya ilmiah yang bermutu dan bertanggung jawab.
Etika Keilmuan dan Tanggungjawab Sosial: Perspektif Filsafat Ilmu
Merupakan sebuah cabang filsafat ilmu yang mempelajari seputar norma baik dan buruk dalam kepribadian manusia. Yang membahas mengenai pertimbangan dalam menilai sebuah Tindakan yang dilakukan dengan baik atau buruk dalam menjalani hubungan dengan manusia lain agar tidak terbentuk perpecahan dan kesalah pahaman.
Etika disebut dengan ethos yang bermakna adat, Pada dasaranya etika merupakan kajian yang mendalam mengenai sistem dalam penilaian baik buruknya suatu perbuatan, sedangkan moral lebih tertuju pada sebuah Tindakan atau perbuatan baik buruk yang sedang dinilai.
Secara epistemologis kegiatan berpikir ilmiah melengkapi suatu rantai berpikir logis yang merupakan pengkajian sesuatu yang umum general untuk menghasilkan sesuatu yang khusus Spesifik, yang hal itu kemudian kita kenal sebagai logika berpikir deduktif.
Sedangkan logika berpikir induktif adalah logika yang bergerak dari hal-hal yang khusus untuk kemudian menggeneralisasikannya menjadi hal-hal yang umum. Kedua kegiatan berpikir ini memerlukan sarana berpikir. Berpikir deduktif menggunakan sarana matematika sedangkan berpikir induktif memakai sarana statistika, sehingga dapat dikatakan bahwa matematika dan statistika bukan ilmu, melainkan sarana berpikir, dan rantai kegiatan berpikir ilmiah, yang produknya adalah ilmu.
Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu untuk memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: pertama, Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsistendengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; kedua, menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut dan ketiga, melakukan verifikasi terhadap hipotesis tersebut untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual sebagai Logico-hypotetico-verifikatifatau deducto-hypotetico-verificative.[9]
Filsafat ilmu memberikan spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis, maupun aksiologis[10]. Ilmu tidak ada batasnya sedangkan kemampuan manusia terbatas, inilah yang perlu dihayati. Karena itu, pengakuan pada zat yang tidak terbatas semakin penting ketika kita menghayati dan mendalami jagad raya ini.
Filsafat ilmu juga memberikan wawasan yang lebih luas bagi penuntut ilmu untuk melihat sesuatu itu tidak hanya dari “jendela” ilmu masing-masing. Ada banyak jendelayang tersedia ketika melihat sudut pandang sesuatu. Karena itu, tidak boleh ada arogansi dalam sebuah disiplin ilmu, sebab arogansi adalah pertanda bahwa ia tidak kreatif lagi dan ia merasa puas.
Filsafat ilmu memberikan kerangka dasar berfikir dalam berolah ilmu agar proses dan produk keilmuan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah moral, etika dan kesusilaan.[11] Hal ini bisa jadi disebabkan karena akal manusia terkadang salah jalan menuju pengetahuan ang benar, karenabanyaknya kesalahan atau ilusi-ilusi yang dihadapinya.
Karena itu, kita wajib menjelaskan kepada akal tentang kesalahan-kesalahan ini, sehingga kita dapat membantunya untuk menjauhi kesalahan-kesalahan itu atau membebaskan darinya. Dengan begitu, akal akan mampu memperoleh pengetahuan yang benar tanpa kesalahan (Fallasi).[12]
Aksiologi dalam Dimensi Filsafat Islam
Kajian tentang Etika dan Estetika Ilmu Pengetahuan Setiap manusia, untuk menjalankan aktivitasnya dengan sempurna dalam hal apa pun pasti membutuhkan ilmu pengetahuan Dengan ilmu pula, manusia mampu mengenal segenap potensi dan tugasnya sebagai khalifah Tuhan di bumi. Karena itu, setiap orang yang berilmu akan mampu melakukan tugasnya dengan baik dan benar.
Sementara orang yang tak berilmu, dapat dipastikan ia akan melakukan beberapa kesalahan dalam setiap aktivitas yang dilakoninya. Karena itu, tidak heran jika Tuhan berjanji akan memberikan kemulyaan bagi orang-orang yang beilmu bahkan lebih tinggi dari malaikat sekalipun.
Ilmu pengatahuan senantiasa berkembang dengan laju tekhnologi yang telah membawa dua dampak: positif dan pegatif bagi ummat manusia, dalam waktu yang bersamaan. Ia memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi segenap manusia dalam menjalankan aktivitasnya, sekaligus membawa malapetaka.
Ini dapat kita lihat pada perkembangan teknologi persenjataan militer yang satu sisi bisa digunakan menjaga kedaulatan negara, sementara disisi yang lain berakbat jatuhnya ribuan bahkan jutaan ummat manusia dalam kehancuran.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang pada tataran teori diyakini bebas nilai, namun pada tataran praktis justru dipengaruhi bayak hal. Inilah yang menjadi tanggungjawab bagi para ilmuan untuk mengisinya dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan, sehingga ilmu pengetahuan dan tekhnologi tersebut dapat mengabdi untuk kemanusiaan dan membantu meningkatkan kesejahteraan ummat manusia, bukan justru untuk merusak dan membinasakan kemanusian beserta alam sekitar Inilah yang menjadi titik fokus kajian Aksiologi, menelaah bagaimana sebuah ilmu dipraktekkan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, untuk apa ilmu pengetahuan tersebut dipergunakan, apa manfaat dari adanya sebuah ilmu pengetahuan tersebut, dan bagaimana kaitannya dengan kaidah-kaidah moral (etika dan estetika) dalam kehidupan manusia. Kajian tersebut setidaknya.
Dilatar belakangi adanya realitas pesatnya perkembangan ilmu pengetauan yang justru merugikan umat manusia, bahkan terkadang justru mencideria karakter manusia itu sendiri. Secara bahasa, Aksiologi berasal dari kata axios Yunani yang berarti nilai dan logos yang berarti teori.
Jadi Aksiologi adalah teori tentang nilai-nilai. Nilai yang dimaksudkan dalam kajian filsafat adalah sesuatu dasar-dasar nilai universal pertimbangan yang ada dalam kehidupan manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang akan dinilai. Sejatinya, dalam kajian filsafat etika memiliki dimensinya tersendiri.
Hanya saja, karena keduanya memiliki keterikatan dan keterkaiatan yang mendalam diantara keduanya, maka banyak kalangan menggabungkan diantara keduanya. Filsafat etika mencoba menjabarkan
lebih detail mengenai penerapan nilai dalam aktivitas sehari-hari yang itu tercermin dalam tata aturan prilaku etika kehidupan manusia yang pasti menyangkut persoalan “nilai” tersebut.
Sekilas tentang Nilai: Etika dan Estetika dari berbagai pemikir Filsafat
Pembahasan tentang nilai value dan moral telah lama menjadi topik sentral dalam kajian ilmu filsafat, dan ilmu sosial lainnya. ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk mempertanyakan kegunaan ilmu pengetahuan kajian Aksiologi muncul beriringan dengan perkembangan keilmuan itu sendiri.
Hanya saja, konsepsi tentang nilai sangat beragam dan tergantung dengan aspek ontologi dan epistimologi yang diyakininya. Konsep tentang sesuatu itu baik ataupun buruk senantiasa menjadi perdebatan yang tak pernah terhendi dikalangan para filosof, bukan untuk membenarkan diri sendiri melainkan untuk menunjukkan kebenaran yang sebenarnya.
Pada dasarnya, nilai sangat tergantung pada sudut pandang subjectivitas seseorang. Tentu hal ini juga berkaitan dan berhubungan dengan teologi diyakini oleh seseorang dalam memberikan penilaian. Namun demikian, beberapa pakar pemerhati filsafat tatanan Aksiologis berupaya merumuskan standart nilai secara umum dan luar, antara lain Nilai bersifat abstrak karena hal itu merupakan kualitas, Inheren dengan objek, artinya proses penilaian tersebut tidak bisa dipisahkan dari objek yang bisa menampakkan adanya nilai tersebut. Nilai juga mengandung unsur kebaikan dan keburukan dalam satu kepaduan, selain juga bersifat keindahan, jelek, maupun benar dan salah.
Etika keilmuan
Ciri utama dalam era globalisasi adalah perubahan terjadi semakin cepat, semakin kompetitif, semakin tajam, semakain beragam atau pluralis, dengan kata lain semakin kompleks namun semakin kreatif dan semakin bermutu. Dalam kondisi demikian maka ada beberapa paradigma baru dalam keilmuan menurut Mastuhu[13] yakni.
- Ilmu pengetahuan dalam era globalisasi akan terus berkembang semakin cepat dan Berbagai disiplin ilmu akan terus bermunculan tanpa dapat dicegah maupun dilarang.
- Tidak ada monopoli penyelenggaraan atau pengasuhan ilmu, artinya siapapun mempunyai peluang yang sama dalam mengasuh dan mengembangkan Hal itu sangat tergantung pada kemampuan dan ketepatan menangkap momentumnya
- Fungsi ilmu adalah : memahami makna fenomena, baik fenomena alam maupun fenomena sosial, baik God Mademaupun Man Made. Menjelaskan fenomena. Maeramalkan kejadian kejadian yang bakal terjadi bila muncul Menyatakan berbai peluang dan kemungkinan –kemungkinan yang dapat terjadi.
- Dalam melaksanakan keempat fungsi tersebut, ilmu cenderung menyederhanakan dan membatasi masalah, mensistematisir dan membuat ukuran dan mengkwalitatifkanmutu dalam rangka memberi penjelasan dan mengukur kemajuan-kemajuan yang telah dicapai; sejak disini ilmu memiliki kekurangan yang tidak dapatdihindariyaitu mereduksi makna dan menghadapi berbagai perbedaan, bahkan kontradiksi antara suatu pendapat dengan pendapat yang Inilah juga yang menyebabkan mengapa ilmu hanya mampu menemukan kebenaran relatif atau kebenaran sementara yang syarat dengan waktu, tempat dan manfaat atau kegunaan.
- Namun ilmu memiliki sifat dan semangat yang “pantang mundur”yaitu selalu mendekonstruksi pendapat dan temuan-temuannya, atau memeriksa ulang untuk mendapatkan derajat kebenaran yang lebih pasti
- Mempelajari ilmu tidak pernah selesai karena semakin banyak yang diketahui maka akan semakin banyak lagi hal mesterius yang tidak pernah berhenti.
Perkembangan ilmu yang begitu spektakuler disatu sisi dan nilai-nilai Etikayangmerupakan cabang aksiologifilsafat ilmumembicarakan masalah-masalah, betul dan salah dalam arti susila dan tidak susila. Dalam hal menuangkan ide kreatifnya ilmuwan memerlukan etika, etika inilah yang akan menjawab pertanyaan apakah yang menyebabkan perbuatan yang baik itu baik?
Bagaimanakah cara kita melakukan pilihan yang baik diantara yang baik. Menurut Haidar Baqir Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (atau moralitas). Namun meskipun sama-sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Moral lebih condong kepada pengertian nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri sedangkan etika berarti ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk.[14]
Sementara moralitas menurut W. Poespoprodjo adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu banar atau salah, baik dan buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia. Moralitas pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua yakni moralitas subjektif dan moralitas objektif.
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Pengembangan kemampuan berpikir kritis adalah salah satu kontribusi utama filsafat ilmu. Dengan membekali individu dengan alat untuk menganalisis argumen dan informasi, filsafat membantu mereka untuk tidak menerima informasi secara mentah-mentah. Ini menciptakan individu yang lebih skeptis dan analitis, mampu membedakan antara fakta dan opini, serta memahami berbagai perspektif dalam diskusi.
Dalam filsafat ilmu, berpikir kritis membantu individu mempertanyakan asumsi dasar, menguji kebenaran informasi, dan mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai perspektif.
Strategi Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
- Jangan Menelan Informasi Mentah-mentah: Penting untuk selalu memverifikasi sumber informasi sebelum menerimanya. Ini mencakup mengecek keandalan sumber dan memastikan bahwa informasi tersebut berasal dari penelitian atau ahli yang kredibel.
- Ajukan Pertanyaan yang Mendasar: Mengajukan pertanyaan mendasar dapat memicu pemikiran yang lebih dalam dan kreatif. Pertanyaan ini sering kali berfungsi untuk menggali lebih jauh ke dalam topik yang sedang dibahas.
- Perbanyak Membaca: Membaca buku, terutama nonfiksi, dapat memperluas wawasan dan melatih kemampuan berpikir kritis. Buku-buku ini sering kali menyajikan argumen secara terstruktur, memungkinkan pembaca untuk memahami dan menganalisis informasi dengan lebih baik
- Diskusi dengan Orang Lain: Mengadakan diskusi dengan teman atau kelompok belajar dapat membantu melihat suatu masalah dari berbagai sudut Diskusi ini mendorong individu untuk mempertimbangkan argumen yang berbeda dan merumuskan pendapat mereka sendiri.
- Praktik Memecahkan Masalah: Latihan memecahkan teka-teki atau kasus-kasus nyata dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Ini melibatkan penerapan teori ke dalam praktik dan mengembangkan solusi kreatif terhadap masalah yang kompleks. Dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan berpikir kritis memungkinkan individu untuk:
- Membuat Keputusan yang Lebih Baik: Dengan menganalisis informasi secara mendalam, individu dapat membuat keputusan yang lebih informasional dan rasional
- Menghadapi Tantangan Kompleks: Berpikir kritis membantu dalam mengidentifikasi solusi inovatif untuk masalah yang sulit dipecahkan
- Berpartisipasi Secara Aktif dalam Diskursus Sosial: Keterampilan ini memungkinkan individu untuk berkontribusi pada diskusi sosial dan politik dengan cara yang lebih terinformasi dan konstrukti
Meningkatkan kemampuan berpikir kritis adalah proses berkelanjutan yang memerlukan latihan dan konsistensi. Dengan menerapkan strategi seperti verifikasi informasi, bertanya mendasar, membaca luas, berdiskusi aktif, dan berlatih memecahkan masalah, individu dapat memperkuat keterampilan ini.
Dalam konteks filsafat ilmu, berpikir kritis tidak hanya memperdalam pemahaman tentang konsep-konsep ilmiah tetapi juga membekali individu untuk menghadapi tantangan kehidupan dengan cara yang lebih efektif dan reflektif.
Hubungan Interpersonal yang Sehat
Filsafat ilmu juga berperan dalam membangun hubungan interpersonal yang lebih sehat. Dengan memahami prinsip-prinsip etika dan tanggung jawab moral, individu dapat berinteraksi dengan orang lain dengan lebih empati dan menghargai perbedaan. Kesadaran akan nilai-nilai ini sangat penting dalam menciptakan komunitas yang harmonis dan saling mendukung.
Hubungan interpersonal yang sehat dalam ilmu filsafat merupakan topik yang dapat dikaji dari berbagai sudut pandang filsafat, terutama dalam bidang etika, filsafat eksistensial, dan filsafat komunikasi. Berikut ini penjelasan singkat mengenai konsep tersebut:
- Dalam Perspektif Etika
Etika adalah cabang filsafat yang membahas tentang nilai baik dan buruk, benar dan salah dalam tindakan manusia. Dalam konteks hubungan interpersonal:
- Etika Deontologis
Menekankan pada kewajiban moral. Hubungan yang sehat harus didasari oleh penghormatan terhadap martabat manusia. Prinsip “memperlakukan orang lain sebagai tujuan, bukan alat” menjadi dasar penting dalam relasi yang sehat.
- Etika Utilitarian
Relasi interpersonal dinilai sehat jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Artinya, interaksi harus saling menguntungkan secara emosional dan sosial.
- Etika Kebijakan
Hubungan sehat dibangun di atas kebajikan (virtue) seperti kejujuran (honesty), keberanian (courage), kesabaran (patience), dan keadilan (justice).
- Dalam Perspektif Filsafat Eksistensial
Mengkritik bagaimana manusia cenderung mengobjektifikasi orang lain. Hubungan yang sehat harus melampaui “tatapan” (the gaze) yang menguasai, dan menuju pada co-existence yang setara.
- Dalam Perspektif Filsafat Komunikasi
Relasi yang sehat dibangun di atas komunikasi yang rasional dan bebas dominasi. Hubungan yang baik adalah hasil dari dialog yang didasarkan pada kejujuran, kejelasan, niat baik, dan keadilan dalam berkomunikasi.
Kesadaran Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Moral
Di era modern ini, kesadaran akan keberlanjutan lingkungan menjadi semakin penting. Filsafat ilmu mendorong individu untuk memahami bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari tanggung jawab moral mereka. Prinsip-prinsip etika lingkungan menekankan pentingnya menghormati alam dan mempertimbangkan dampak tindakan manusia terhadap ekosistem. Beberapa prinsip etika lingkungan yang sering dibahas dalam konteks filsafat ilmu meliputi:
- Tanggung Jawab Moral: Manusia memiliki kewajiban untuk menjaga kelestarian alam.
- Solidaritas Kosmis: Menyadari bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar, sehingga perlu menjaga keseimbangan alam
- Kasih Sayang terhadap Alam: Mengembangkan sikap peduli terhadap lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial.
Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam pengambilan keputusan sehari-hari, individu tidak hanya berkontribusi pada keberlanjutan tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga planet kita.
Filsafat Ilmu Berperan Penting dalam Membentuk Sikap Kritis terhadap Praktik Ilmiah yang Dapat Berpotensi Merugikan Masyarakat
Filsafat ilmu memainkan peran penting dalam kemajuan pemahaman dan praktik ilmiah dengan memberikan landasan teoritis dan sarana untuk mengembangkan sikap kritis terhadap metode ilmiah yang dapat merugikan masyarakat. Dasar konseptualisasi yang kokoh bagi pengembangan gagasan dan prosedur ilmiah disediakan oleh filsafat ilmu. Peneliti mungkin mengajukan pertanyaan yang lebih baik dan lebih relevan ketika mereka memiliki pemahaman yang kuat tentang ide-ide dasar filsafat ilmiah.. Filsafat ilmu membantu dalam.
- Pembentukan Konsep dan Teori: Filsafat ilmu membimbing ilmuwan dalam membangun teori-teori ilmiah yang sistematis dan logis. Ini mencakup pemahaman tentang epistemologi teori pengetahuan, ontologi teori tentang apa yang ada, dan aksiologi teori tentang nilai yang sangat penting dalam penelitian.
- Pengembangan Metode Ilmiah: Metode ilmiah, yang mencakup observasi, hipotesis, eksperimen, dan generalisasi, didasarkan pada pemikiran kritis yang berasal dari filsafat. Filsafat menyediakan prinsip-prinsip objektivitas dan ketelitian yang diperlukan dalam penelitian.
Filsafat ilmu tidak hanya berfungsi sebagai panduan teoritis, tetapi juga sebagai alat untuk mengkritisi praktik-praktik ilmiah. Dalam konteks ini, filsafat ilmu berperan penting dalam :
- Mengidentifikasi Dampak Negatif: Filsafat ilmu memungkinkan para ilmuwan untuk merenungkan dan mengevaluasi dampak sosial dari penelitian Misalnya, perkembangan teknologi seperti bioteknologi dapat membawa manfaat besar, tetapi juga memiliki potensi risiko yang signifikan bagi masyarakat jika tidak dikelola dengan baik
- Mendorong Pertanggungjawaban Etis: Filsafat ilmu mengajarkan pentingnya etika dalam penelitian. Hal ini termasuk tanggung jawab ilmuwan untuk mempertimbangkan implikasi moral dari penelitian mereka, serta dampaknya terhadap masyarakat(Rosita Dongoran et al., 2024). Dengan demikian, filsafat ilmu berfungsi sebagai pengingat akan tanggung jawab sosial para ilmuwan.
- Kritik terhadap Paradigma Ilmiah: Filsafat ilmu juga memberikan ruang bagi kritik terhadap paradigma-pada paradigma ilmiah yang ada. Ini penting untuk memastikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak terjebak dalam dogma atau asumsi yang tidak lagi relevan dengan konteks sosial dan kultural saat ini.
Singkatnya, pertimbangan filosofis dalam metode ilmiah memainkan peran penting dalam mendorong kemajuan pengetahuan dan praktik ilmiah. Filsafat ilmu memastikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan relevan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dengan memberikan landasan teori yang kuat dan mengedepankan sikap kritis terhadap metode ilmiah. Untuk menghindari risiko apa pun yang terkait dengan penggunaan penelitian tanpa mempertimbangkan faktor etika dan sosial, hal ini sangatlah penting
Kontribusi Utama Filsafat Ilmu, Pengembangan Kebijakan Ilmiah yang Etis, serta Promosi Dialog antara Ilmu Pengetahuan dan Nilai-Nilai Sosial
Dalam kemajuan teknologi, filsafat ilmu mempunyai pengaruh yang signifikan. Menegaskan kembali nilai-nilai kemanusiaan, mengembangkan kebijakan ilmiah yang etis, dalam mendorong komunikasi antara sains dan nilai-nilai kemasyarakatan adalah beberapa kontribusi utama filsafat sains. Nilai-nilai kemanusiaan harus dipertimbangkan dalam semua bidang penyelidikan ilmiah, dan ini adalah sesuatu yang selalu ditekankan oleh filsafat ilmu pengetahuan. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki nilai dan hak bawaan yang harus dijunjung tinggi, menurut cabang filsafat ilmu ini.
Mengundang peneliti untuk mempertimbangkan implikasi etika dan sosial serta implikasi ilmiah dengan memasukkan prinsip-prinsip moral ke dalam penelitian mereka. mengusulkan agar kemajuan ilmu pengetahuan tidak mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan manusia dengan memberikan bobot yang sama terhadap temuan penelitian yang menganut cita-cita keadilan.
Pembuatan kebijakan ilmiah yang etis adalah bidang lain di mana filsafat ilmu memberikan kontribusi. Sebagai bagian dari hal ini, etika penelitian telah ditetapkan dan harus diikuti oleh semua peneliti. Prinsip tersebut antara lain beneficence yang berarti memberikan manfaat, dan non-maleficence yang berarti tidak menimbulkan kerugian. Dengan melakukan hal ini, kami ingin menghilangkan segala kemungkinan bias atau prasangka dalam penelitian kami, terlepas dari jenis kelamin, warna kulit, atau latar belakang sosial ekonomi partisipan. Agar masyarakat umum dapat percaya dan menerima temuan penelitian, penting untuk mendorong keterbukaan dan kejujuran di lapangan.
Fungsi penting filsafat ilmu adalah untuk memfasilitasi komunikasi antara temuan ilmiah dan norma serta nilai masyarakat. Beberapa tujuan tersebut antara lain mengembangkan gambaran realitas yang lebih lengkap dengan menyelidiki hubungan antara pemahaman ilmiah dan keyakinan agama atau filosofis. Untuk memastikan bahwa penelitian dapat diterapkan pada tuntutan sosial dan budaya, penting untuk mendorong ilmuwan dan masyarakat untuk bekerja sama. Menciptakan forum di mana banyak sudut pandang dapat didengar, yang mengarah pada penyelesaian masalah-masalah sosial yang rumit secara lebih menyeluruh. Singkatnya, filsafat ilmu memberikan kontribusi yang signifikan dengan memastikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan memperhitungkan komponen teknis dan ilmu pengetahuan serta dampaknya terhadap masyarakat dan kesejahteraan. Inilah sebabnya mengapa teori ilmiah dan aktivitas yang bertanggung jawab secara sosial mungkin lebih baik dipahami melalui kacamata filsafat ilmu.
Pentingnya Integrasi Filsafat Ilmu dalam Pendidikan dan Praktik Ilmiah untuk Menciptakan Masyarakat yang Lebih Beretika dan Bertanggung Jawab
Integrasi filsafat ilmu dalam pendidikan dan praktik ilmiah sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih beretika dan bertanggung jawab. Filsafat ilmu memberikan landasan konseptual yang kuat untuk memahami dan mengembangkan pengetahuan, serta memandu para ilmuwan dalam menghadapi tantangan etika dan sosial yang kompleks.
- Peran Filsafat Ilmu dalam Pendidikan
- Pemahaman Konsep Dasar: Filsafat ilmu membantu mahasiswa dan calon ilmuwan memahami dasar-dasar epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Ini penting agar mereka dapat membedakan antara pengetahuan yang valid dan tidak valid, serta memahami konteks sosial dan etis dari penelitian mereka.
- Kritis terhadap Praktik Ilmiah: Dengan mengintegrasikan filsafat ilmu, mahasiswa diajarkan untuk berpikir kritis mengenai metode penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan. Hal ini mendorong mereka untuk mempertimbangkan implikasi sosial dari penelitian yang dilakukan, sehingga menghasilkan pengetahuan yang lebih bertanggung jawab.
- Membangun Etika Penelitian: Filsafat ilmu memberikan kerangka kerja moral yang membantu ilmuwan dalam pengambilan keputusan Kesadaran akan tanggung jawab moral dalam praktik ilmiah menjadi kunci untuk memastikan bahwa penelitian tidak hanya bermanfaat secara akademis tetapi juga sosial.
- Dampak pada Praktik Ilmiah
- Validitas Penelitian: Integrasi filsafat ilmu dalam desain penelitian meningkatkan validitas hasil penelitian. Pemikiran filosofis membantu ilmuwan dalam interpretasi data dan penarikan kesimpulan, sehingga pengetahuan yang dihasilkan lebih akurat dan relevan.
- Refleksi Sosial dan Etika: Filsafat ilmu mendorong para ilmuwan untuk merefleksikan dampak sosial, politik, dan etika dari penelitian mereka. Hal ini penting dalam konteks komersialisasi pengetahuan di mana dampak sosial harus dipertimbangkan secara serius.
- Kolaborasi Interdisipliner: Dengan mengintegrasikan filsafat ilmu, kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu dapat ditingkatkan. Dialog antara ilmuwan dan filsuf memungkinkan pertukaran perspektif yang memperkaya pemahaman kita tentang realitas dan pengetahuan.
- Menciptakan Masyarakat Beretika
- Pengembangan Kebijakan Berkelanjutan: Pemahaman tentang filsafat ilmu dapat membantu institusi pendidikan dan penelitian dalam merumuskan kebijakan yang lebih berkelanjutan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Ini termasuk mempertimbangkan dampak sosial dari teknologi baru
- Etika dalam Penggunaan Teknologi: Dalam era teknologi maju, filsafat ilmu memberikan panduan untuk menggunakan teknologi secara bertanggung jawab. Hal ini penting agar inovasi tidak hanya mengejar keuntungan tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruha
- Kesadaran Moral Kolektif: Dengan mengintegrasikan filsafat ilmu ke dalam pendidikan, masyarakat dapat dibekali dengan kesadaran moral kolektif yang lebih baik, sehingga mampu menghadapi tantangan etika di era modern dengan bijaksana.
Integrasi filsafat ilmu dalam pendidikan dan praktik ilmiah bukan hanya tentang meningkatkan kualitas penelitian; lebih jauh lagi, ini adalah upaya untuk membangun masyarakat yang lebih beretika, bertanggung jawab, dan mampu mengatasi tantangan global dengan cara yang konstruktif dan berkelanjutan.
Realitas dalam aktivitas KeIslaman
Satu contoh adalah Tafsir. Apabila ditakar dengan timbangan Habermas adalah bagian dari ilm-ilmu historis hermeneutis. Seperti halnya ilmu sejarah, dalam tafsir terdapat asbab al-wurud. Seperti halnya ilmu penelitian arti-arti tulisan, dalam tafsir yang diteliti adalah arti dan makna yang dikandung oleh al-Qur’an. Ilmu-ilmu ini mau memahami dan ini adalah definisi dari tafsir dan ta‟wil itu sendiri. Lingkungannya adalah interaksi dan bahasa -Arab-al-Qur’an. Tujuan dari tafsir ini adalah penangkapan makna, yaitu hasil penafsiran. Ilmu-ilmu ini mengorganisasikan objeknya di bawah kepentingan perluasan intersubjektivitas.Taruhlah al-Zamakhsyari dengan karya tafsirnya, al-Kasyaf, telah menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an seperti Surat al-An’am ayat 103 dan Surat alQiyamah ayat 22-23 yang digolongkan pada ayat mutasyabihat, karena tidak sesuai dengan fahamnya. Tujuannya tidak lain adalah untuk memberi dukungan dan pembelaan pada aliran Mu’tazilah, sebuah aliran yang dianutnya.
Dalam ilmu pengethuan Alam dan sains, pengembangan ilmu pengetahuan alam seperti fisika, kimia, dan biologi pada dasarnya bersifat netral dan bebas nilai. Ilmu ini hanya mempelajari fenomena alam sebagaimana adanya, tanpa memihak pada kebaikan atau keburukan. Penggunaan ilmu tersebut—apakah untuk kebaikan atau keburukan—tergantung pada nilai dan etika yang dianut oleh penggunanya, bukan pada ilmu itu sendiri. Misalnya, penemuan teknologi seperti listrik atau internet pada dasarnya netral. Namun, dalam kehidupan keislaman, penggunaannya diarahkan agar membawa manfaat dan kemaslahatan sesuai nilai-nilai syariat.
Dalam ilmu logika dan matematika, Ilmu logika dan matematika dalam tradisi Islam dikembangkan sebagai alat berpikir yang objektif dan bebas dari bias nilai. Ilmu ini digunakan untuk berpikir sistematis dan rasional, baik dalam konteks keislaman maupun umum. Netralitasnya terletak pada fakta bahwa logika dan matematika tidak memihak pada keyakinan agama tertentu, melainkan pada prinsip-prinsip universal kebenaran formal. Dalam sejarah Islam, para ilmuwan seperti Al-Khawarizmi mengembangkan aljabar dan algoritma yang hingga kini digunakan secara universal tanpa terikat nilai-nilai tertentu.
Dan dalam ilmu kedokteran, Ilmu kedokteran dalam Islam juga dipandang netral. Ilmu ini berfokus pada pemahaman tubuh manusia dan cara mengobatinya. Prinsip netralitasnya tampak pada fakta bahwa pengetahuan medis dapat digunakan oleh siapa saja, untuk tujuan apa saja, dan tidak terikat pada nilai-nilai agama tertentu hingga ia diaplikasikan. Dalam Islam, aplikasi ilmu kedokteran diarahkan untuk menjaga jiwa (hifz al-nafs), salah satu tujuan syariat, namun ilmu dasarnya sendiri tetap netral.
Dan dalam ilmu sosial, Ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi juga dikembangkan dalam tradisi Islam dengan pendekatan netral, yaitu mengamati dan menganalisis perilaku masyarakat secara objektif. Namun, dalam penggunaannya, Islam menekankan agar hasil kajian tersebut diarahkan untuk kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat.
Kesimpulan
Netralitas ilmu pengetahuan berarti ilmu berada dalam posisi tidak memihak dan bebas dari pengaruh nilai-nilai subjektif seperti budaya, agama, maupun kepentingan politik, sehingga ilmu hanya berfokus pada produksi pengetahuan yang objektif dan berdasarkan data empiris. Konsep ini menekankan pentingnya objektivitas dan independensi ilmu agar hasilnya dapat dipercaya dan berkembang secara kumulatif. Sejarah perdebatan netralitas ilmu dapat dilihat dari tiga fase penting: pertama, fase penemuan teori heliosentris oleh Nicolaus Copernicus yang menggeser paradigma kosmologi lama; kedua, fase peringatan Albert Einstein tentang potensi bom atom yang membuka diskusi tentang tanggung jawab moral ilmuwan; dan ketiga, fase positivisme pada awal abad ke-20 yang menegaskan ilmu sebagai pengetahuan yang pasti dan bebas nilai melalui pendekatan empiris dan logis. Meskipun demikian, dalam praktiknya netralitas ilmu seringkali menghadapi tantangan karena ilmu tidak dapat sepenuhnya terlepas dari konteks sosial dan nilai etis yang melekat pada kegiatan ilmiah itu sendiri.[15]
Problem netralitas dalam kegiatan ilmiah tidak hanya soal menjaga kebebasan dari nilai, tetapi juga soal bagaimana mengintegrasikan kesadaran etis dalam praktik keilmuan. Ilmuwan harus mampu menyeimbangkan antara prinsip konstitutif ilmu yang menuntut netralitas dan kebutuhan akan tanggung jawab moral, sehingga ilmu pengetahuan dapat berkembang secara kredibel sekaligus bermanfaat bagi kemanusiaan. Kesadaran etis dan kewajiban ilmuwan bukan hanya soal menjaga netralitas dan objektivitas dalam penelitian, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai moral dalam setiap tahap kegiatan ilmiah. Ini menjadikan ilmuwan sebagai agen moral yang tidak hanya mencari kebenaran, tetapi juga memastikan bahwa kebenaran tersebut membawa manfaat dan tidak merugikan masyarakat luas.[16]
[1] Albungkari yusuf, Komitmen dan Netralitas dalam Teologi Kriste: Mengimani Sekaligus Memperpihaki 14 Juli 2018
[2] Suparlan Suhartono, filsafat ilmu pengetahuan, persoalan eksistensi dan hakikat ilmu pengetahuan, 2005, h. 151
[3] Sampoerna Academy, Teori Heliosentris: Pengertian, Sejarah, dan Perbedaannya, 27 April 2022
[4] Copernican heliocentrism – Wikipedia
[5] Deborah Nicholls Lee BBC Culture. ‘Itu kesalahan besar dalam hidup saya’: Surat dari Einstein yang mengawali era bom atom. 27 Agustus 2024
[6] Lingkaran Wina – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
[7] Asep Sopian, Nanat Fatah Natsir, Erni Haryanti, Tanggung Jawab Moral Ilmuan dan Netralitas Ilmu. Volume 5, Nomor 1, Januari 2022 (172-180)
[8] Fransiska Evayanti Manik, Friska Surya Pratama, Hikmah Haula Syahidah, Intan Safira Eka Jatri, Nida Aulia Pangesti Limbangan, Rizki Amrillah, Profesionalisme Dan Tanggung Jawab Seorang Ilmuwan Dalam Perspektif Islam. Jurnal Al – Mau’izhoh Vol. 5, No. 2, Desember,2023
[9] Jujun S. Suriasumantri,Ilmu Dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik,(Jakarta:Gramedia, 1990, lihat M. Zainuddin.2003. Filsafat Ilmu (Perspektif Pemikiran Islam).Bayumdia. Cet. 1. Hlm.35
[10] Amsal , Bakhtiar. Op. Cit. hlm. 233
[11] Saifullah,Buku Ajar “Konsep Dasar Filsafat Ilmubagian III”,(Malang:Universitas Islam Negeri Malang,2004), hlm. 44
[12] Fuad Farid Isma’il & Abdul Hamid Mutawalli,Cepat Menguasai Filsafat(Terj). Didin Faqihudin,(Yogyakarta: IRCiSoD,2003), hlm. 77
[13] H. Mastuhu,Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Dalam Era Globalisasi. Reflektika. Vol. II/ Maret.2003, hlm. 7-8
[14] Haidar Baqir,Etika “Barat”, Etika Islam”. Dalam Abdullah, M. Amin. Antara Al Ghazali dan Kant:Filsafat Etika Islam , (terj) Hamzah,(Bandung: Mizan,2002), hlm. 15
[15] Syaiful Bakri, MENGUJI NETRALITAS ILMU PENGETAHUAN, SAMAWA : Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 1, No.2. Juli 2021, Hlm. 111-120
[16] Muhammad Yunus, ISU AKSIOLOGI DALAM FILSAFAT ILMU KOMUNIKASI, 20 Juni 2020 hal 46-49