Filsafat

Netralitas Ilmu dalam Filsafat Ilmu

21 Mins read

Nur Fadilah1, Aisyah Afifah Rahma2

Abstrak

Dalam tulisan ini akan membahas secara sederhana mengenai bagaimana cara menguji netralitas ilmu pengetahuan dalam filsafat ilmu baik dari nilai maupun etika yang ada. Kita memahami netralitas sebagai sesuatu yang bebas nilai.

Prinsip ini merupakan sebuah tuntutan kepada ilmu pengetahuan. Dengan tujuan ilmu pengetahuan menjadi suatu objek yang dapat berkembang secara independen. Dengan tidak memperhatikan nilai nilai lain diluar ilmu pengetahuan itu sendiri.

Dimana pernilaian semata mata hanya berdiri pada pertimbang murni dari ilmiah itu sendiri. Sebagai ilmu yang independden dituntuk untuk mampu tunduk pada aturan aturannya.

Dengan ilmu pengetahuan ini, manusia mampu menciptakan peradaban dan dengan ilmu pengetahuan manusia dapat menciptakan malapetak dalammkehidupannya. Sehingga peran netral tidak netralnya ilmu dalam kehiudpan manusia menjaidi tanya tanya besar.

Pendahuluan

Pengetahuan, yang dihasilkan dari kegiatan berpikir, adalah obor dan kekuatan peradaban di mana manusia menemukan diri mereka sendiri dan menghayati hidup dengan lebih baik. Manusia mengembangkan berbagai peralatan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka dengan menerapkan pengetahuan yang mereka pelajari pada berbagai aspek kehidupan.

Namun, apakah ilmu benar-benar membantu kesejahteraan manusia? Seperti yang kita ketahui, ilmu telah berkontribusi pada gejala dehumanisasi. Ilmu pengetahuan bukan lagi sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup, tetapi sebagai sarana untuk menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Jika kita tidak menyadari betapa hebat ilmu, kita justru memperalat diri kita sendiri.

Ilmu pengetahuan sebagai fondasi utama dalam perkembangan manusia. Karena, dari ilmu pengetahuan manusia mampu memahami bagaimana fenomena alam yang terjadi, bagaimana cara perkembangan teknologi, serta memperbaiki kualitas hidup.

Dan dibalik kemajuan duni modern ini, muncul pertanyaan fundamental mengenai netralitas ilmu pengetahuan. Apakah ilmu benar benar berrsifat netral? Ataukah ilmu pengetahuan, secara sadar atau tidak selalu dipengaruuhi oleh nilai nilai budaya, politik, dan etika yang menglingkupinya?

Pertanyaan ini menjadi sangat relevan dalam konteks filsafat ilmu, yang membahas lebih dari hakikat dan metode ilmu, yang akan membahass tentang relasi antara ilmu, nilai, dan tanggung jawab moral dari ilmuwan.

Perkembangan peradaban yang terus tumbuh dan berkembang sangatlah pesat dan cepat. Tanpa disadari telah menghadirkan kerumitan dan komplesitas kehidupan yang beraneka ragam juga. Artinya, semakin berkembang zaman akan semakin berkembang pula ilmu pengetahuan.

Akan tetapi, pada keyataan lain, perkembangan ilmu pada era modern ini  justru menjadi sebuah dilema tersendiri. Apakah perkembangan ilmu pengetahuan yang tercipta pada hakikatnya akan membawa kepada peradabn dunia yang lebih sejahtera dan damai atau justru sebalinya? Dalam kajian filsafat bunyi pertanyaan tesebut akan menjaadi “ netralkah sebuah ilmu pengetahuan itu? “.

Netralitas Ilmu Pengetahuan

Kita menganggap netrakitas sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai. Namun, prinsip prinsip ini sangatlah penting bagi tuntunan ilmu pengetahuan. Tujuannya agar ilmu pengetahuan menjadi sesautu yang dapat berkembang sendiri.

Dengan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan nilai nilai lain diluar ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan prinsip tersebut, bermaksud untuk membuta ilmu pengetahuan beretumbuh untuk ilmu pengetahuan itu sendiri.

Ada kalanya ilmu pengetahuan terpengaruh oleh pertimbangan lain, seperrti politik, ekonomi, agama dan moral. Kemudian, proses itu sudah menghasilkan output yang tidak otonom. Ia sudah terdistorsi oleh nilai diluar dirinya sendiri “ilmu pengetahuan sudah tidak menjadi murni sama sekali”.[1]

Dengan demikian, netralitas ilmu pengetahuan adalah ilmu itu netral, tidak memihak pada apapun, kepada kebaikan dan keburukan, dan tidak terpengaruhi oleh apapun.[2] Ilmu pengetahuan baru dapat dikatakan netral jika telah memenuhi dua prinsip utama. Pertama, ia harus bersifat mandiri. Kedua, memilik unsur objektivitas, yaitu ia konsisten dengan keputusannnya serta tidak menghakimi orang atau kelompok tertentu.

Latar Belakang Perdebatan Tentang Netralitas Ilmu

Sejarah perdebatan tentang netralitas ilmu setidaknya dapat diklasifikasikan kedalam tiga fase, yaitu fase penemuan Copernicus tentang kesemestaan, fase Albert Enstein tentang penemuan bom atom dan fase filsafat positivisme. Fase fase ini dijealskan dalam uraian berikut :

  1. Fase penemuan teori heliocentris oleh Nicolaus Copernicus

Nicolaus Copernicus (1473–1543), seorang polymath asal Polandia, dikenal sebagai pelopor teori heliosentris yang merevolusi pemahaman tentang tata surya.[3] Pada awal abad ke-16, Copernicus mengembangkan model astronomi yang menempatkan Matahari sebagai pusat alam semesta, menggantikan pandangan geosentris yang selama berabad-abad menempatkan Bumi di pusatnya.

Ia mulai merumuskan gagasan ini sekitar tahun 1510 dan menyebarkan ringkasan teorinya yang dikenal sebagai Commentariolus kepada beberapa kolega. Dalam teorinya, Copernicus menjelaskan bahwa planet-planet, termasuk Bumi, bergerak mengelilingi Matahari dalam lintasan melingkar dengan kecepatan yang seragam, serta Bumi memiliki tiga gerakan: rotasi harian, revolusi tahunan, dan kemiringan sumbu.[4]

  1. Fase penemuan bom atom oleh Albert Enstein

Albert Einstein (1879–1955) bukanlah penemu bom atom secara langsung, namun perannya sangat penting dalam sejarah penemuan senjata nuklir tersebut. Pada 2 Agustus 1939, Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt yang berisi peringatan bahwa Jerman Nazi sedang mengembangkan senjata baru yang sangat kuat, yaitu bom atom, berdasarkan kemajuan dalam fisika nuklir, khususnya pembelahan atom uranium yang ditemukan oleh para ilmuwan di Berlin pada tahun 1938.

Surat ini, yang sebenarnya disusun oleh fisikawan Leo Szilard dan ditandatangani oleh Einstein, mendorong pemerintah AS untuk memulai Proyek Manhattan, sebuah usaha ilmiah dan militer besar-besaran untuk mengembangkan bom atom.[5]

  1. Fase Positivisme

Fase positivisme pada periode 1922-1929 ditandai dengan munculnya gerakan filsafat yang dikenal sebagai Lingkaran Wina (Vienna Circle), sebuah kelompok neo-positivisme atau positivisme logis yang berupaya membangun filsafat ilmiah yang ketat dan bebas dari spekulasi metafisik.

Kelompok ini terdiri dari filsuf dan ilmuwan seperti Rudolf Carnap, Moritz Schlick, Hans Hahn, dan Otto Neurath yang secara rutin berkumpul di Wina sejak 1922. Mereka menolak pernyataan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan hanya menerima pengetahuan yang berdasarkan observasi objektif dan metode ilmiah.

Pada tahun 1929, Lingkaran Wina menerbitkan manifesto penting berjudul Wissenschaftliche Weltanschauung, Der Wiener Kreis yang merangkum pandangan dunia ilmiah mereka dan menegaskan dominasi ilmu pengetahuan yang dapat diverifikasi secara empiris.[6]

Problem Netralitas: Kegiatan Ilmiah vs Nilai Etis

Netralitas dalam ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai prinsip fundamental yang menjamin objektivitas dan kredibilitas hasil penelitian. Dalam konteks ini, kegiatan ilmiah idealnya berlangsung secara bebas dari pengaruh nilai-nilai subjektif, kepentingan politik, maupun tekanan sosial.

Ilmu diharapkan hanya berfokus pada pencarian fakta dan kebenaran empiris tanpa campur tangan nilai etis atau moral. Namun, dalam praktiknya, netralitas ini menghadapi problematika yang kompleks ketika kegiatan ilmiah bertemu dengan nilai-nilai etis yang melekat pada manusia dan masyarakat.

Salah satu problem utama adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah benar-benar terlepas dari konteks sosial dan nilai-nilai yang ada. Pemilihan topik penelitian, metode yang digunakan, serta aplikasi hasil penelitian sering kali mengandung nilai-nilai tertentu yang tidak dapat diabaikan.

Misalnya, penelitian di bidang bioteknologi atau senjata nuklir membawa konsekuensi etis yang besar, sehingga ilmuwan tidak hanya dituntut untuk netral dalam proses ilmiah, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak moral dari hasil kerjanya. Hal ini menimbulkan dilema antara menjaga netralitas ilmiah dan memenuhi tanggung jawab etis sebagai agen sosial.

Selain itu, netralitas ilmiah juga sering diuji ketika hasil penelitian digunakan untuk tujuan politik atau ekonomi yang kontroversial. Dalam situasi seperti ini, ilmuwan dihadapkan pada tekanan untuk memihak atau mengaburkan fakta demi kepentingan tertentu, yang berpotensi merusak integritas ilmu.

Oleh karena itu, kesadaran etis menjadi sangat penting agar ilmuwan dapat menavigasi antara prinsip ilmiah yang menuntut objektivitas dan tuntutan moral yang mengharuskan mereka bertanggung jawab atas implikasi sosial dari ilmu yang mereka hasilkan.[7]

Kesadaran Etis dan Kewajiban Ilmuwan

Kesadaran etis merupakan aspek krusial yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan dalam menjalankan kegiatan keilmuannya. Ilmuwan tidak hanya bertanggung jawab untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan objektif, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak sosial, moral, dan etis dari hasil penelitiannya.

Sebagai bagian dari masyarakat, ilmuwan memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa ilmu yang mereka kembangkan dapat digunakan secara bertanggung jawab dan tidak disalahgunakan demi kepentingan yang merugikan umat manusia.

Etika keilmuan berfungsi sebagai pedoman normatif yang merumuskan prinsip-prinsip moral yang harus dijunjung tinggi oleh ilmuwan, seperti kejujuran, integritas, keterbukaan, dan rasa tanggung jawab terhadap konsekuensi dari penelitian yang dilakukan.[8]

Dalam praktiknya, etika ini menuntut ilmuwan untuk bersikap objektif, menerima kritik, dan berani mengakui kesalahan apabila ditemukan kekeliruan dalam proses atau hasil penelitian. Hal ini penting agar ilmu pengetahuan dapat berkembang secara sehat dan kredibel.

Selain itu, ilmuwan memiliki kewajiban sosial untuk menyampaikan hasil penelitiannya kepada masyarakat dengan cara yang dapat dipahami dan digunakan secara bijak. Mereka harus berperan aktif dalam mengawal pemanfaatan ilmu agar tidak menimbulkan dampak negatif, serta memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan peradaban dan kesejahteraan manusia.

Kewajiban ini juga mencakup sikap profesionalisme, dimana ilmuwan harus mengembangkan keahlian dan disiplin kerja yang tinggi, sehingga dapat menghasilkan karya ilmiah yang bermutu dan bertanggung jawab.

Etika Keilmuan dan Tanggungjawab Sosial: Perspektif Filsafat Ilmu

Merupakan sebuah cabang filsafat ilmu yang mempelajari seputar norma baik dan buruk dalam kepribadian manusia. Yang membahas mengenai pertimbangan dalam menilai sebuah Tindakan yang dilakukan dengan baik  atau buruk dalam menjalani hubungan dengan manusia lain agar  tidak terbentuk perpecahan dan kesalah pahaman.

Baca...  Pemikiran Filsuf Mulla Sadra dari Persia

Etika disebut  dengan ethos yang bermakna adat, Pada dasaranya etika merupakan kajian yang mendalam mengenai sistem  dalam penilaian baik buruknya suatu perbuatan, sedangkan moral lebih tertuju pada sebuah Tindakan atau perbuatan baik buruk  yang sedang dinilai.

Secara  epistemologis  kegiatan  berpikir  ilmiah  melengkapi  suatu rantai   berpikir logis   yang   merupakan   pengkajian   sesuatu   yang   umum  general untuk  menghasilkan  sesuatu  yang  khusus  Spesifik,  yang  hal  itu kemudian  kita  kenal  sebagai  logika  berpikir  deduktif.

Sedangkan  logika berpikir  induktif  adalah  logika  yang  bergerak  dari  hal-hal  yang  khusus untuk  kemudian  menggeneralisasikannya  menjadi  hal-hal  yang  umum.  Kedua  kegiatan  berpikir  ini  memerlukan  sarana  berpikir.  Berpikir  deduktif menggunakan  sarana  matematika sedangkan berpikir induktif  memakai sarana statistika, sehingga dapat dikatakan bahwa matematika dan statistika bukan  ilmu,  melainkan  sarana  berpikir,  dan  rantai  kegiatan  berpikir ilmiah, yang produknya adalah ilmu.

Pada    dasarnya    metode    ilmiah    merupakan    cara    ilmu    untuk memperoleh  dan  menyusun  tubuh  pengetahuannya  berdasarkan:  pertama, Kerangka  pemikiran  yang  bersifat  logis  dengan  argumentasi  yang  bersifat konsistendengan   pengetahuan   sebelumnya   yang   telah   berhasil   disusun; kedua,   menjabarkan   hipotesis   yang   merupakan   deduksi   dari   kerangka pemikiran  tersebut  dan  ketiga,  melakukan  verifikasi  terhadap  hipotesis tersebut  untuk  menguji  kebenaran  pernyataannya  secara  faktual  sebagai Logico-hypotetico-verifikatifatau deducto-hypotetico-verificative.[9]

Filsafat  ilmu  memberikan  spirit  bagi  perkembangan  dan  kemajuan ilmu sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran   ontologis,   epistemologis,   maupun   aksiologis[10]. Ilmu   tidak   ada batasnya   sedangkan   kemampuan   manusia   terbatas,   inilah   yang   perlu dihayati.  Karena  itu,  pengakuan  pada  zat  yang  tidak  terbatas  semakin penting ketika kita menghayati dan mendalami jagad raya ini.

Filsafat ilmu juga  memberikan  wawasan  yang  lebih  luas  bagi  penuntut  ilmu  untuk melihat sesuatu itu tidak hanya dari “jendela” ilmu masing-masing.  Ada banyak jendelayang tersedia ketika melihat sudut pandang sesuatu. Karena itu,  tidak  boleh  ada  arogansi  dalam  sebuah  disiplin  ilmu,  sebab  arogansi adalah pertanda bahwa ia tidak kreatif lagi dan ia merasa puas.

Filsafat  ilmu  memberikan  kerangka  dasar  berfikir  dalam  berolah ilmu  agar  proses  dan  produk  keilmuan  yang  dihasilkan  tidak  bertentangan dengan  kaidah-kaidah  moral,  etika  dan  kesusilaan.[11] Hal  ini  bisa  jadi disebabkan karena akal manusia terkadang  salah jalan menuju pengetahuan ang  benar,  karenabanyaknya  kesalahan  atau  ilusi-ilusi  yang  dihadapinya.

Karena itu, kita wajib menjelaskan kepada akal tentang kesalahan-kesalahan ini,  sehingga  kita  dapat membantunya  untuk  menjauhi  kesalahan-kesalahan itu   atau   membebaskan   darinya.   Dengan   begitu,   akal   akan   mampu memperoleh pengetahuan yang benar tanpa kesalahan (Fallasi).[12]

Aksiologi dalam Dimensi Filsafat Islam

Kajian tentang Etika dan Estetika Ilmu Pengetahuan Setiap manusia, untuk menjalankan aktivitasnya dengan sempurna dalam hal apa pun pasti membutuhkan ilmu pengetahuan Dengan ilmu pula, manusia mampu mengenal segenap potensi dan tugasnya sebagai khalifah Tuhan di bumi. Karena itu, setiap orang yang berilmu akan mampu melakukan tugasnya dengan baik dan benar.

Sementara orang yang tak berilmu, dapat dipastikan ia akan melakukan beberapa kesalahan dalam setiap aktivitas yang dilakoninya. Karena itu, tidak heran jika Tuhan berjanji akan memberikan kemulyaan bagi orang-orang yang beilmu bahkan lebih tinggi dari malaikat sekalipun.

Ilmu pengatahuan senantiasa berkembang dengan laju tekhnologi yang telah membawa dua dampak: positif dan pegatif bagi ummat manusia, dalam waktu yang bersamaan. Ia memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi segenap manusia dalam menjalankan aktivitasnya, sekaligus membawa malapetaka.

Ini dapat kita lihat pada perkembangan teknologi persenjataan militer yang satu sisi bisa digunakan menjaga kedaulatan negara, sementara disisi yang lain berakbat jatuhnya ribuan bahkan jutaan ummat manusia dalam kehancuran.

Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang pada tataran teori diyakini bebas nilai, namun pada tataran praktis justru dipengaruhi bayak hal. Inilah yang menjadi tanggungjawab bagi para ilmuan untuk mengisinya dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan, sehingga ilmu pengetahuan dan tekhnologi tersebut dapat mengabdi untuk kemanusiaan dan membantu meningkatkan kesejahteraan ummat manusia, bukan justru untuk merusak dan membinasakan kemanusian beserta alam sekitar Inilah yang menjadi titik fokus kajian Aksiologi, menelaah bagaimana sebuah ilmu dipraktekkan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, untuk apa ilmu pengetahuan tersebut dipergunakan, apa manfaat dari adanya sebuah ilmu pengetahuan tersebut, dan bagaimana kaitannya dengan kaidah-kaidah moral (etika dan estetika) dalam kehidupan manusia. Kajian tersebut setidaknya.

Dilatar belakangi adanya realitas pesatnya perkembangan ilmu pengetauan yang justru merugikan umat manusia, bahkan terkadang justru mencideria karakter manusia itu sendiri. Secara bahasa, Aksiologi berasal dari kata axios Yunani yang berarti nilai dan logos yang berarti teori.

Jadi Aksiologi adalah teori tentang nilai-nilai. Nilai yang dimaksudkan dalam kajian filsafat adalah sesuatu dasar-dasar nilai universal pertimbangan yang ada dalam kehidupan manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang akan dinilai. Sejatinya, dalam kajian filsafat etika memiliki dimensinya tersendiri.

Hanya saja, karena keduanya memiliki keterikatan dan keterkaiatan yang mendalam diantara keduanya, maka banyak kalangan menggabungkan diantara keduanya. Filsafat etika mencoba menjabarkan

lebih detail mengenai penerapan nilai dalam aktivitas sehari-hari yang itu tercermin dalam tata aturan prilaku etika  kehidupan manusia yang pasti menyangkut persoalan “nilai” tersebut.

Sekilas tentang Nilai: Etika dan Estetika dari berbagai pemikir Filsafat

Pembahasan tentang nilai  value dan moral telah lama menjadi topik sentral dalam kajian ilmu filsafat, dan ilmu sosial lainnya. ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk mempertanyakan kegunaan ilmu pengetahuan kajian Aksiologi muncul beriringan dengan perkembangan keilmuan itu sendiri.

Hanya saja, konsepsi tentang nilai sangat beragam dan tergantung dengan aspek ontologi dan epistimologi yang diyakininya. Konsep tentang sesuatu itu baik ataupun buruk senantiasa menjadi perdebatan  yang tak pernah terhendi dikalangan para filosof, bukan untuk membenarkan diri sendiri melainkan untuk  menunjukkan kebenaran yang sebenarnya.

Pada dasarnya, nilai sangat tergantung pada sudut pandang subjectivitas  seseorang. Tentu hal ini juga berkaitan dan berhubungan dengan teologi diyakini oleh seseorang dalam memberikan penilaian. Namun demikian, beberapa pakar pemerhati filsafat tatanan Aksiologis  berupaya merumuskan standart nilai secara umum dan luar, antara lain Nilai bersifat abstrak karena hal itu merupakan kualitas, Inheren dengan objek, artinya proses penilaian tersebut tidak bisa dipisahkan dari objek yang bisa menampakkan adanya nilai tersebut. Nilai juga mengandung unsur kebaikan dan keburukan dalam satu kepaduan, selain juga bersifat keindahan, jelek, maupun benar dan salah.

Etika keilmuan

Ciri  utama  dalam  era  globalisasi  adalah perubahan  terjadi  semakin cepat,  semakin  kompetitif,  semakin  tajam,  semakain  beragam  atau  pluralis, dengan  kata  lain  semakin  kompleks  namun  semakin  kreatif  dan  semakin bermutu.  Dalam  kondisi  demikian  maka  ada  beberapa  paradigma  baru dalam keilmuan menurut Mastuhu[13] yakni.

  1. Ilmu pengetahuan  dalam  era  globalisasi  akan  terus  berkembang semakin  cepat  dan    Berbagai  disiplin  ilmu  akan  terus bermunculan tanpa dapat dicegah maupun dilarang.
  2. Tidak ada monopoli penyelenggaraan atau pengasuhan ilmu, artinya siapapun mempunyai  peluang   yang  sama  dalam  mengasuh  dan mengembangkan    Hal  itu  sangat  tergantung  pada  kemampuan dan ketepatan menangkap momentumnya
  3. Fungsi ilmu adalah : memahami makna fenomena, baik fenomena alam maupun fenomena sosial, baik God Mademaupun Man Made. Menjelaskan fenomena. Maeramalkan kejadian kejadian yang bakal  terjadi  bila  muncul    Menyatakan  berbai  peluang dan kemungkinan –kemungkinan yang dapat terjadi.
  4. Dalam melaksanakan   keempat   fungsi   tersebut,   ilmu   cenderung menyederhanakan  dan  membatasi  masalah,  mensistematisir    dan membuat   ukuran   dan   mengkwalitatifkanmutu   dalam   rangka memberi  penjelasan  dan  mengukur  kemajuan-kemajuan  yang  telah dicapai;  sejak  disini ilmu  memiliki  kekurangan  yang  tidak  dapatdihindariyaitu    mereduksi    makna    dan    menghadapi    berbagai perbedaan,   bahkan   kontradiksi   antara   suatu   pendapat   dengan pendapat  yang    Inilah  juga  yang  menyebabkan  mengapa  ilmu hanya   mampu   menemukan   kebenaran   relatif   atau   kebenaran sementara  yang  syarat  dengan  waktu,  tempat  dan  manfaat  atau kegunaan.
  5. Namun ilmu memiliki  sifat dan semangat yang “pantang mundur”yaitu selalu mendekonstruksi pendapat dan temuan-temuannya, atau memeriksa  ulang  untuk  mendapatkan  derajat  kebenaran  yang  lebih pasti
  6. Mempelajari ilmu tidak pernah selesai karena semakin banyak yang diketahui  maka  akan  semakin  banyak  lagi  hal  mesterius  yang  tidak pernah berhenti.

Perkembangan  ilmu  yang  begitu  spektakuler  disatu  sisi  dan  nilai-nilai Etikayangmerupakan  cabang  aksiologifilsafat  ilmumembicarakan masalah-masalah, betul dan salah dalam arti susila dan tidak susila. Dalam hal menuangkan ide kreatifnya ilmuwan memerlukan etika, etika inilah yang akan menjawab pertanyaan apakah yang menyebabkan perbuatan yang baik itu  baik?

Bagaimanakah  cara  kita  melakukan  pilihan  yang  baik  diantara yang baik. Menurut  Haidar  Baqir Etika  pada  umumnya  diidentikkan  dengan moral  (atau  moralitas).  Namun  meskipun  sama-sama  terkait  dengan  baik-buruk  tindakan  manusia,  etika  dan  moral  memiliki  perbedaan  pengertian. Moral lebih condong kepada pengertian  nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan  manusia  itu  sendiri  sedangkan  etika  berarti  ilmu  yang mempelajari tentang baik dan buruk.[14]

Sementara  moralitas  menurut  W. Poespoprodjo  adalah  kualitas  dalam  perbuatan  manusia  yang  menunjukkan bahwa perbuatan itu banar atau salah, baik dan buruk. Moralitas mencakup pengertian   tentang   baik   buruknya   perbuatan   manusia. Moralitas   pada dasarnya   dapat   dibedakan   menjadi   dua   yakni   moralitas   subjektif   dan moralitas objektif.

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis

Pengembangan kemampuan berpikir kritis adalah salah satu kontribusi utama filsafat ilmu. Dengan membekali individu dengan alat untuk menganalisis argumen dan informasi, filsafat  membantu  mereka  untuk  tidak  menerima  informasi  secara  mentah-mentah.  Ini menciptakan individu yang lebih skeptis dan analitis, mampu membedakan antara fakta dan opini, serta memahami berbagai perspektif dalam diskusi.

Baca...  Gus Ulil: Andaikan Ulama Menanamkan Ilmu Hanya Karena Allah SWT

Dalam filsafat ilmu, berpikir kritis membantu individu mempertanyakan asumsi dasar, menguji  kebenaran  informasi,  dan  mencapai  pemahaman  yang  lebih  mendalam  tentang berbagai perspektif.

Strategi Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis

  1. Jangan Menelan  Informasi  Mentah-mentah:  Penting  untuk  selalu  memverifikasi sumber informasi sebelum menerimanya. Ini mencakup mengecek keandalan sumber dan  memastikan  bahwa  informasi  tersebut  berasal  dari  penelitian  atau  ahli  yang kredibel.
  2. Ajukan Pertanyaan yang Mendasar: Mengajukan pertanyaan mendasar dapat memicu pemikiran yang lebih dalam dan kreatif. Pertanyaan ini sering kali berfungsi untuk menggali lebih jauh ke dalam topik yang sedang dibahas.
  3. Perbanyak Membaca: Membaca buku, terutama nonfiksi, dapat memperluas wawasan dan melatih kemampuan berpikir kritis. Buku-buku ini sering kali menyajikan argumen secara terstruktur,  memungkinkan  pembaca  untuk  memahami  dan  menganalisis informasi dengan lebih baik
  4. Diskusi dengan Orang Lain: Mengadakan diskusi dengan teman atau kelompok belajar dapat membantu  melihat  suatu  masalah  dari  berbagai  sudut    Diskusi  ini mendorong  individu  untuk  mempertimbangkan  argumen  yang  berbeda  dan merumuskan pendapat mereka sendiri.
  5. Praktik Memecahkan Masalah: Latihan memecahkan teka-teki atau kasus-kasus nyata dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Ini melibatkan penerapan teori ke dalam praktik dan mengembangkan solusi kreatif terhadap masalah yang kompleks. Dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan berpikir kritis memungkinkan individu untuk:

 

  • Membuat Keputusan  yang  Lebih  Baik:  Dengan  menganalisis  informasi  secara mendalam, individu dapat membuat keputusan yang lebih informasional dan rasional
  • Menghadapi Tantangan Kompleks: Berpikir kritis membantu dalam mengidentifikasi solusi inovatif untuk masalah yang sulit dipecahkan
  • Berpartisipasi Secara Aktif dalam Diskursus Sosial: Keterampilan ini memungkinkan individu untuk berkontribusi pada diskusi sosial dan politik dengan cara yang lebih terinformasi dan konstrukti

Meningkatkan kemampuan berpikir kritis adalah proses berkelanjutan yang memerlukan latihan dan konsistensi. Dengan menerapkan strategi seperti verifikasi informasi, bertanya mendasar, membaca luas, berdiskusi aktif, dan berlatih memecahkan masalah, individu dapat memperkuat  keterampilan  ini.

Dalam  konteks  filsafat  ilmu,  berpikir  kritis  tidak  hanya memperdalam  pemahaman  tentang  konsep-konsep  ilmiah  tetapi  juga  membekali  individu untuk menghadapi tantangan kehidupan dengan cara yang lebih efektif dan reflektif.

Hubungan Interpersonal yang Sehat

Filsafat ilmu juga berperan dalam membangun hubungan interpersonal yang lebih sehat. Dengan  memahami  prinsip-prinsip  etika  dan  tanggung  jawab  moral,  individu  dapat berinteraksi dengan orang lain dengan lebih empati dan menghargai perbedaan. Kesadaran akan nilai-nilai ini sangat penting dalam menciptakan komunitas yang harmonis dan saling mendukung.

Hubungan interpersonal yang sehat dalam ilmu filsafat merupakan topik yang dapat dikaji dari berbagai sudut pandang filsafat, terutama dalam bidang etika, filsafat eksistensial, dan filsafat komunikasi. Berikut ini penjelasan singkat mengenai konsep tersebut:

  1. Dalam Perspektif Etika

Etika adalah cabang filsafat yang membahas tentang nilai baik dan buruk, benar dan salah dalam tindakan manusia. Dalam konteks hubungan interpersonal:

  • Etika Deontologis

Menekankan pada kewajiban moral. Hubungan yang sehat harus didasari oleh penghormatan terhadap martabat manusia. Prinsip “memperlakukan orang lain sebagai tujuan, bukan alat” menjadi dasar penting dalam relasi yang sehat.

  • Etika Utilitarian

Relasi interpersonal dinilai sehat jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Artinya, interaksi harus saling menguntungkan secara emosional dan sosial.

  • Etika Kebijakan

Hubungan sehat dibangun di atas kebajikan (virtue) seperti kejujuran (honesty), keberanian (courage), kesabaran (patience), dan keadilan (justice).

  1. Dalam Perspektif Filsafat Eksistensial

Mengkritik bagaimana manusia cenderung mengobjektifikasi orang lain. Hubungan yang sehat harus melampaui “tatapan” (the gaze) yang menguasai, dan menuju pada co-existence yang setara.

  1. Dalam Perspektif Filsafat Komunikasi

Relasi yang sehat dibangun di atas komunikasi yang rasional dan bebas dominasi. Hubungan yang baik adalah hasil dari dialog yang didasarkan pada kejujuran, kejelasan, niat baik, dan keadilan dalam berkomunikasi.

Kesadaran Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Moral

Di era modern ini, kesadaran akan keberlanjutan lingkungan menjadi semakin penting. Filsafat ilmu mendorong individu untuk memahami bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari tanggung jawab moral mereka. Prinsip-prinsip etika lingkungan menekankan pentingnya menghormati alam dan mempertimbangkan dampak tindakan manusia terhadap ekosistem. Beberapa prinsip etika lingkungan yang sering dibahas dalam konteks filsafat ilmu meliputi:

  • Tanggung Jawab Moral: Manusia memiliki kewajiban untuk menjaga kelestarian alam.
  • Solidaritas Kosmis: Menyadari bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar, sehingga perlu menjaga keseimbangan alam
  • Kasih Sayang  terhadap  Alam:  Mengembangkan  sikap  peduli  terhadap  lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam pengambilan keputusan sehari-hari, individu tidak  hanya  berkontribusi  pada  keberlanjutan  tetapi  juga  membangun  kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga planet kita.

Filsafat Ilmu Berperan Penting dalam Membentuk Sikap Kritis terhadap Praktik Ilmiah yang Dapat Berpotensi Merugikan Masyarakat

Filsafat ilmu memainkan peran penting dalam kemajuan pemahaman dan praktik ilmiah dengan memberikan landasan teoritis dan sarana untuk mengembangkan sikap kritis terhadap metode ilmiah yang dapat merugikan masyarakat. Dasar konseptualisasi yang kokoh bagi pengembangan gagasan dan prosedur ilmiah disediakan oleh filsafat ilmu. Peneliti mungkin mengajukan pertanyaan yang lebih baik dan lebih relevan ketika mereka memiliki pemahaman yang kuat tentang ide-ide dasar filsafat ilmiah.. Filsafat ilmu membantu dalam.

  1. Pembentukan Konsep  dan  Teori:  Filsafat  ilmu  membimbing  ilmuwan  dalam membangun teori-teori ilmiah yang sistematis dan logis. Ini mencakup pemahaman tentang epistemologi teori pengetahuan, ontologi teori tentang apa yang ada, dan aksiologi teori tentang nilai yang sangat penting dalam penelitian.
  2. Pengembangan Metode Ilmiah: Metode ilmiah, yang mencakup observasi, hipotesis, eksperimen, dan  generalisasi,  didasarkan  pada  pemikiran  kritis  yang  berasal  dari filsafat.  Filsafat  menyediakan  prinsip-prinsip  objektivitas  dan  ketelitian  yang diperlukan dalam penelitian.

Filsafat ilmu tidak hanya berfungsi sebagai panduan teoritis, tetapi juga sebagai alat untuk mengkritisi praktik-praktik ilmiah. Dalam konteks ini, filsafat ilmu berperan penting dalam :

  1. Mengidentifikasi Dampak Negatif: Filsafat ilmu memungkinkan para ilmuwan untuk merenungkan dan  mengevaluasi  dampak  sosial  dari  penelitian    Misalnya, perkembangan teknologi seperti bioteknologi dapat membawa manfaat besar, tetapi juga memiliki potensi risiko yang signifikan bagi masyarakat jika tidak dikelola dengan baik
  1. Mendorong Pertanggungjawaban  Etis:  Filsafat  ilmu  mengajarkan  pentingnya  etika dalam penelitian. Hal ini termasuk tanggung jawab ilmuwan untuk mempertimbangkan implikasi moral dari penelitian mereka, serta dampaknya terhadap masyarakat(Rosita Dongoran et al., 2024). Dengan demikian, filsafat ilmu berfungsi sebagai pengingat akan tanggung jawab sosial para ilmuwan.
  1. Kritik terhadap Paradigma Ilmiah: Filsafat ilmu juga memberikan ruang bagi kritik terhadap paradigma-pada paradigma ilmiah yang ada. Ini penting untuk memastikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak terjebak dalam dogma atau asumsi yang tidak lagi relevan dengan konteks sosial dan kultural saat ini.

Singkatnya,  pertimbangan  filosofis  dalam  metode  ilmiah  memainkan  peran  penting dalam mendorong kemajuan pengetahuan dan praktik ilmiah. Filsafat ilmu memastikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan relevan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dengan memberikan landasan teori yang kuat dan mengedepankan sikap kritis terhadap metode ilmiah. Untuk menghindari risiko apa pun yang terkait dengan penggunaan penelitian tanpa mempertimbangkan faktor etika dan sosial, hal ini sangatlah penting

Kontribusi  Utama  Filsafat  Ilmu,  Pengembangan  Kebijakan  Ilmiah  yang  Etis,  serta Promosi Dialog antara Ilmu Pengetahuan dan Nilai-Nilai Sosial

Dalam kemajuan  teknologi,  filsafat  ilmu  mempunyai  pengaruh  yang  signifikan. Menegaskan kembali nilai-nilai kemanusiaan, mengembangkan kebijakan ilmiah yang etis, dalam   mendorong  komunikasi  antara  sains  dan  nilai-nilai  kemasyarakatan  adalah  beberapa kontribusi utama filsafat sains. Nilai-nilai kemanusiaan harus dipertimbangkan dalam semua bidang penyelidikan ilmiah, dan ini adalah sesuatu yang selalu ditekankan oleh filsafat ilmu pengetahuan. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki nilai dan hak bawaan yang harus dijunjung  tinggi,  menurut  cabang  filsafat  ilmu  ini.

Mengundang  peneliti  untuk mempertimbangkan implikasi etika dan sosial serta implikasi ilmiah dengan memasukkan prinsip-prinsip  moral  ke  dalam  penelitian  mereka.  mengusulkan  agar  kemajuan  ilmu pengetahuan tidak mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan manusia dengan memberikan bobot   yang   sama   terhadap   temuan   penelitian   yang   menganut   cita-cita keadilan.

Pembuatan  kebijakan  ilmiah  yang  etis  adalah  bidang  lain  di  mana  filsafat  ilmu memberikan kontribusi. Sebagai bagian dari hal ini, etika penelitian telah ditetapkan dan harus diikuti oleh semua peneliti. Prinsip tersebut antara lain beneficence yang berarti memberikan manfaat, dan non-maleficence yang berarti tidak menimbulkan kerugian. Dengan melakukan hal ini, kami ingin menghilangkan segala kemungkinan bias atau prasangka dalam penelitian kami, terlepas dari jenis kelamin, warna kulit, atau latar belakang sosial ekonomi partisipan. Agar  masyarakat  umum  dapat  percaya  dan  menerima  temuan  penelitian,  penting  untuk mendorong keterbukaan dan kejujuran di lapangan.

Fungsi penting filsafat ilmu adalah untuk memfasilitasi komunikasi antara temuan ilmiah dan  norma  serta  nilai  masyarakat.  Beberapa  tujuan  tersebut  antara  lain  mengembangkan gambaran realitas yang lebih lengkap dengan menyelidiki hubungan antara pemahaman ilmiah dan keyakinan agama atau filosofis. Untuk memastikan bahwa penelitian dapat diterapkan  pada  tuntutan  sosial  dan  budaya,  penting  untuk  mendorong  ilmuwan  dan masyarakat untuk bekerja sama. Menciptakan forum di mana banyak sudut pandang dapat didengar, yang mengarah pada penyelesaian masalah-masalah sosial yang rumit secara lebih menyeluruh. Singkatnya, filsafat ilmu memberikan kontribusi yang signifikan dengan memastikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan memperhitungkan komponen teknis dan ilmu pengetahuan serta dampaknya terhadap masyarakat dan kesejahteraan. Inilah sebabnya mengapa teori ilmiah dan aktivitas yang bertanggung jawab secara sosial mungkin lebih baik dipahami melalui kacamata filsafat ilmu.

Baca...  Perubahan Karakteristik Islam Abad Pertengahan Hingga Modern: Sebagai Studi Perbandingan

Pentingnya  Integrasi  Filsafat  Ilmu  dalam  Pendidikan  dan  Praktik  Ilmiah  untuk Menciptakan Masyarakat yang Lebih Beretika dan Bertanggung Jawab

Integrasi  filsafat  ilmu  dalam  pendidikan  dan  praktik  ilmiah  sangat  penting  untuk menciptakan  masyarakat  yang  lebih  beretika  dan  bertanggung  jawab.  Filsafat  ilmu memberikan  landasan  konseptual  yang  kuat  untuk  memahami  dan  mengembangkan pengetahuan, serta memandu para ilmuwan dalam menghadapi tantangan etika dan sosial yang kompleks.

 

  1. Peran Filsafat Ilmu dalam Pendidikan

 

  1. Pemahaman Konsep Dasar: Filsafat ilmu membantu mahasiswa dan calon ilmuwan memahami dasar-dasar epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Ini penting agar mereka dapat membedakan antara pengetahuan yang valid dan tidak valid, serta memahami konteks sosial dan etis dari penelitian mereka.
  2. Kritis terhadap  Praktik Ilmiah:  Dengan  mengintegrasikan filsafat  ilmu,  mahasiswa diajarkan  untuk  berpikir  kritis  mengenai  metode  penelitian  dan  aplikasi  ilmu pengetahuan. Hal ini mendorong mereka untuk mempertimbangkan implikasi sosial dari  penelitian  yang  dilakukan,  sehingga  menghasilkan  pengetahuan  yang  lebih bertanggung jawab.
  3. Membangun Etika Penelitian: Filsafat ilmu memberikan kerangka kerja moral yang membantu ilmuwan  dalam  pengambilan  keputusan    Kesadaran  akan  tanggung jawab moral dalam praktik ilmiah menjadi kunci untuk memastikan bahwa penelitian tidak hanya bermanfaat secara akademis tetapi juga sosial.

 

 

  1. Dampak pada Praktik Ilmiah

 

  1. Validitas Penelitian:  Integrasi  filsafat  ilmu  dalam  desain  penelitian meningkatkan validitas hasil penelitian. Pemikiran filosofis membantu ilmuwan dalam interpretasi data dan penarikan kesimpulan, sehingga pengetahuan yang dihasilkan lebih akurat dan relevan.
  2. Refleksi Sosial  dan  Etika:  Filsafat  ilmu  mendorong  para  ilmuwan  untuk merefleksikan dampak sosial, politik, dan etika dari penelitian mereka. Hal ini penting dalam konteks komersialisasi pengetahuan di mana dampak sosial harus dipertimbangkan secara serius.
  3. Kolaborasi Interdisipliner: Dengan mengintegrasikan filsafat ilmu, kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu dapat ditingkatkan. Dialog antara ilmuwan dan filsuf memungkinkan pertukaran perspektif yang memperkaya pemahaman kita tentang realitas dan pengetahuan.

 

  1. Menciptakan Masyarakat Beretika

 

  1. Pengembangan Kebijakan  Berkelanjutan:  Pemahaman  tentang  filsafat  ilmu dapat  membantu  institusi  pendidikan  dan  penelitian  dalam  merumuskan kebijakan  yang  lebih  berkelanjutan  dan  responsif  terhadap  kebutuhan masyarakat.  Ini  termasuk  mempertimbangkan  dampak  sosial  dari  teknologi baru
  2. Etika dalam Penggunaan Teknologi: Dalam era teknologi maju, filsafat ilmu memberikan panduan untuk menggunakan teknologi secara bertanggung jawab. Hal ini  penting  agar  inovasi  tidak  hanya  mengejar  keuntungan  tetapi  juga mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruha
  3. Kesadaran Moral Kolektif: Dengan mengintegrasikan filsafat ilmu ke dalam pendidikan, masyarakat dapat dibekali dengan kesadaran moral kolektif yang lebih baik, sehingga mampu menghadapi tantangan etika di era modern dengan bijaksana.

Integrasi filsafat ilmu dalam pendidikan dan praktik ilmiah bukan hanya tentang meningkatkan kualitas penelitian; lebih jauh lagi, ini adalah upaya untuk membangun masyarakat yang lebih beretika,  bertanggung  jawab,  dan  mampu  mengatasi  tantangan  global  dengan  cara  yang konstruktif dan berkelanjutan.

Realitas dalam aktivitas KeIslaman

Satu contoh adalah Tafsir. Apabila ditakar dengan timbangan Habermas adalah bagian dari ilm-ilmu historis hermeneutis. Seperti halnya ilmu sejarah, dalam tafsir terdapat asbab al-wurud. Seperti halnya ilmu penelitian arti-arti tulisan, dalam tafsir yang diteliti adalah arti dan makna yang dikandung oleh al-Qur’an. Ilmu-ilmu ini mau memahami dan ini adalah definisi dari tafsir dan ta‟wil itu sendiri. Lingkungannya adalah interaksi dan bahasa -Arab-al-Qur’an. Tujuan dari tafsir ini adalah penangkapan makna, yaitu hasil penafsiran. Ilmu-ilmu ini mengorganisasikan objeknya di bawah kepentingan perluasan intersubjektivitas.Taruhlah al-Zamakhsyari dengan karya tafsirnya, al-Kasyaf, telah menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an seperti Surat al-An’am ayat 103 dan Surat alQiyamah ayat 22-23 yang digolongkan pada ayat mutasyabihat, karena tidak sesuai dengan fahamnya. Tujuannya tidak lain adalah untuk memberi dukungan dan pembelaan pada aliran Mu’tazilah, sebuah aliran yang dianutnya.

Dalam ilmu pengethuan Alam dan sains, pengembangan ilmu pengetahuan alam seperti fisika, kimia, dan biologi pada dasarnya bersifat netral dan bebas nilai. Ilmu ini hanya mempelajari fenomena alam sebagaimana adanya, tanpa memihak pada kebaikan atau keburukan. Penggunaan ilmu tersebut—apakah untuk kebaikan atau keburukan—tergantung pada nilai dan etika yang dianut oleh penggunanya, bukan pada ilmu itu sendiri. Misalnya, penemuan teknologi seperti listrik atau internet pada dasarnya netral. Namun, dalam kehidupan keislaman, penggunaannya diarahkan agar membawa manfaat dan kemaslahatan sesuai nilai-nilai syariat.

Dalam ilmu logika dan matematika, Ilmu logika dan matematika dalam tradisi Islam dikembangkan sebagai alat berpikir yang objektif dan bebas dari bias nilai. Ilmu ini digunakan untuk berpikir sistematis dan rasional, baik dalam konteks keislaman maupun umum. Netralitasnya terletak pada fakta bahwa logika dan matematika tidak memihak pada keyakinan agama tertentu, melainkan pada prinsip-prinsip universal kebenaran formal. Dalam sejarah Islam, para ilmuwan seperti Al-Khawarizmi mengembangkan aljabar dan algoritma yang hingga kini digunakan secara universal tanpa terikat nilai-nilai tertentu.

Dan dalam ilmu kedokteran, Ilmu kedokteran dalam Islam juga dipandang netral. Ilmu ini berfokus pada pemahaman tubuh manusia dan cara mengobatinya. Prinsip netralitasnya tampak pada fakta bahwa pengetahuan medis dapat digunakan oleh siapa saja, untuk tujuan apa saja, dan tidak terikat pada nilai-nilai agama tertentu hingga ia diaplikasikan. Dalam Islam, aplikasi ilmu kedokteran diarahkan untuk menjaga jiwa (hifz al-nafs), salah satu tujuan syariat, namun ilmu dasarnya sendiri tetap netral.

Dan dalam ilmu sosial, Ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi juga dikembangkan dalam tradisi Islam dengan pendekatan netral, yaitu mengamati dan menganalisis perilaku masyarakat secara objektif. Namun, dalam penggunaannya, Islam menekankan agar hasil kajian tersebut diarahkan untuk kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat.

Kesimpulan

Netralitas ilmu pengetahuan berarti ilmu berada dalam posisi tidak memihak dan bebas dari pengaruh nilai-nilai subjektif seperti budaya, agama, maupun kepentingan politik, sehingga ilmu hanya berfokus pada produksi pengetahuan yang objektif dan berdasarkan data empiris. Konsep ini menekankan pentingnya objektivitas dan independensi ilmu agar hasilnya dapat dipercaya dan berkembang secara kumulatif. Sejarah perdebatan netralitas ilmu dapat dilihat dari tiga fase penting: pertama, fase penemuan teori heliosentris oleh Nicolaus Copernicus yang menggeser paradigma kosmologi lama; kedua, fase peringatan Albert Einstein tentang potensi bom atom yang membuka diskusi tentang tanggung jawab moral ilmuwan; dan ketiga, fase positivisme pada awal abad ke-20 yang menegaskan ilmu sebagai pengetahuan yang pasti dan bebas nilai melalui pendekatan empiris dan logis. Meskipun demikian, dalam praktiknya netralitas ilmu seringkali menghadapi tantangan karena ilmu tidak dapat sepenuhnya terlepas dari konteks sosial dan nilai etis yang melekat pada kegiatan ilmiah itu sendiri.[15]

Problem netralitas dalam kegiatan ilmiah tidak hanya soal menjaga kebebasan dari nilai, tetapi juga soal bagaimana mengintegrasikan kesadaran etis dalam praktik keilmuan. Ilmuwan harus mampu menyeimbangkan antara prinsip konstitutif ilmu yang menuntut netralitas dan kebutuhan akan tanggung jawab moral, sehingga ilmu pengetahuan dapat berkembang secara kredibel sekaligus bermanfaat bagi kemanusiaan. Kesadaran etis dan kewajiban ilmuwan bukan hanya soal menjaga netralitas dan objektivitas dalam penelitian, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai moral dalam setiap tahap kegiatan ilmiah. Ini menjadikan ilmuwan sebagai agen moral yang tidak hanya mencari kebenaran, tetapi juga memastikan bahwa kebenaran tersebut membawa manfaat dan tidak merugikan masyarakat luas.[16]

[1] Albungkari yusuf, Komitmen dan Netralitas dalam Teologi Kriste: Mengimani Sekaligus Memperpihaki 14 Juli 2018

[2] Suparlan Suhartono, filsafat ilmu pengetahuan, persoalan eksistensi dan hakikat ilmu pengetahuan, 2005, h. 151

[3] Sampoerna Academy, Teori Heliosentris: Pengertian, Sejarah, dan Perbedaannya, 27 April 2022

[4] Copernican heliocentrism – Wikipedia

[5] Deborah Nicholls Lee BBC Culture. ‘Itu kesalahan besar dalam hidup saya’: Surat dari Einstein yang mengawali era bom atom.  27 Agustus 2024

[6] Lingkaran Wina – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

[7] Asep Sopian, Nanat Fatah Natsir, Erni Haryanti, Tanggung Jawab Moral Ilmuan dan Netralitas Ilmu. Volume 5, Nomor 1, Januari 2022 (172-180)

[8] Fransiska Evayanti Manik, Friska Surya Pratama, Hikmah Haula Syahidah, Intan Safira Eka Jatri, Nida Aulia Pangesti Limbangan, Rizki Amrillah, Profesionalisme Dan Tanggung Jawab Seorang Ilmuwan Dalam Perspektif Islam. Jurnal Al – Mau’izhoh Vol. 5, No. 2, Desember,2023

[9] Jujun S. Suriasumantri,Ilmu Dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik,(Jakarta:Gramedia,  1990, lihat  M.  Zainuddin.2003. Filsafat  Ilmu  (Perspektif  Pemikiran  Islam).Bayumdia. Cet. 1.  Hlm.35

[10] Amsal , Bakhtiar. Op. Cit. hlm. 233

[11] Saifullah,Buku  Ajar  “Konsep  Dasar  Filsafat  Ilmubagian  III”,(Malang:Universitas Islam Negeri Malang,2004), hlm. 44

[12] Fuad  Farid Isma’il & Abdul Hamid Mutawalli,Cepat Menguasai Filsafat(Terj). Didin Faqihudin,(Yogyakarta: IRCiSoD,2003),  hlm. 77

[13] H.  Mastuhu,Sistem  Pendidikan  Pondok  Pesantren  Dalam  Era  Globalisasi. Reflektika. Vol. II/ Maret.2003, hlm. 7-8

[14] Haidar Baqir,Etika “Barat”, Etika Islam”. Dalam Abdullah, M. Amin. Antara Al Ghazali dan Kant:Filsafat Etika Islam , (terj) Hamzah,(Bandung: Mizan,2002), hlm. 15

[15] Syaiful Bakri, MENGUJI NETRALITAS ILMU PENGETAHUAN, SAMAWA : Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 1, No.2. Juli 2021, Hlm. 111-120

[16] Muhammad Yunus, ISU AKSIOLOGI DALAM FILSAFAT ILMU KOMUNIKASI, 20 Juni 2020 hal 46-49

1 posts

About author
Mahasiswa
Articles
Related posts
FilsafatPendidikan

Masa Depan Pendidikan Islam Indonesia dari Problematika Pendidikan Islam

5 Mins read
Pendidikan Agama Islam selain sebagai sebuah disiplin ilmu dalam bidang pendidikan juga merupakan peran bagi tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. Karena penekanan…
Filsafat

Marlina Pembunuh dalam Empat Babak: Melacak Good Will Immanuel Kant Pada Tindakan Tokoh Marlina

4 Mins read
Mahakarya insan perfilman Indonesia mulai bertendensi ke arah yang baik. Marlina, adalah salah satu film yang sewindu yang lalu menghiasi layar kaca…
Filsafat

Persepsi Syiah dalam Shiffin dan Karbala: Filsafat George Berkeley Memandang Sejarah Perang Ahlul Bait

4 Mins read
Hari raya Idul Adha, artinya kian dekat dengan bulan Muharram, yang merupakan bulan tahun baru Islam. Pada hari Asyura yang jatuh pada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

Dekat Ibu Kota, Warga Duafa Di Jonggol Belum Tersentuh Program Kurban, Lazismu dan TelePerformance Indonesia Salurkan 1 Ekor Sapi

Verified by MonsterInsights