Penulis: Mas Fina Faricha Mafaza*
KULIAHALISLAM.COM – Epistemologi berasal dari bahasa Yunani Epistèmè (pengetahuan sejati, pengetahuan ilmiah, atau pengetahuan sistematik) dan logos (kajian tentang) yang secara etimologis berarti kajian tentang pengetahuan sejati. Adapun secara terminologi, epistemologi adalah teori pengetahuan atau kajian tentang asal usul, anggapan dasar, tabiat, rentang, kecermatan (kebenaran, keterdalaman, keabsahan) pengetahuan.[1]
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, sumber, metode-metode, dan sahnya pengetahuan. Sebagian pakar menempatkan epistemologi dalam filsafat kritis yang senantiasa mencari sumber dan kriteria kebenaran serta cara memperoleh pengetahuan.
Mengenai pertanyaan mendasar yang harus dijawab, Ewing hanya menyebutkan empat pertanyaan yaitu: Bagaimanakah kita memperoleh kebenaran? Apakah perbedaan antara pengetahuan dan kepercayaan? Dapatkah kita mengetahui segala sesuatu dengan pasti?” Apakah kegunaan relatif dari alasan, intuisi, dan pengalaman perasaan? Adapun pertanyaan utama epistemologi adalah Apakah kebenaran itu? [2]
Jika tugas filsafat diarahkan pada upaya mencari sebab musabab pertama dan terakhir atau terdalam, maka epistemologi menyoroti gejala pengetahuan manusia berdasarkan sudut sebab musabab pertama (the first causes). Adapun gejala pengetahuan menurut sebab musabab terakhir (the last causes) dipelajari oleh filsafat ilmu pengetahuan. [3]
Syed Hussein Nashr, sebagaimana dikutip C.A. Qadir berpendapat bahwa pengetahuan dalam visi Islam mempunyai suatu hubungan yang mendalam dengan realitas yang pokok dan primordial yang merupakan Yang Kudus dan sumber segala hal yang kudus. Hanya saja ketika pemikiran Avicena (Ibn Sina) (980-1037) dan Averoes (Ibn Rusyd) (1126-1198) memasuki Eropa dan memberi inspirasi dan dorongan, karya-karya mereka diperkenalkan dalam keadaan sudah dipotong-potong sehingga kehilangan kandungan spiritualnya. Sebagai akibatnya pengetahuan hampir sepenuhnya mengalami eksternalisasi dan desakralisasi, terutama di kalangan umat manusia yang sudah mengalami perubahan karena proses modernisasi.
Epistemologi barat hanya mengakui empiris dan rasio sebagai sumber pengetahuan, bahkan kalaupun ada filsuf yang berani berbicara tentang intuisi maka yang dimaksudkannya bukan intuisi yang sesungguhnya, melainkan bentuk akal yang lebih tinggi. Di Islam berlaku sebaliknya, intuisi menjadi sumber utama bagi pengetahuan. Dalam hal ini al-Attas mengatakan:
We maintain that all knowledge of reality and of truth and the projection of a true vision of the ultimate nature of thing is originally derived through the medium of intuition.
(Kami berpendapat bahwa seluruh pengetahuan tentang realitas dan kebenaran, serta proyeksi suatu pandangan hakiki tentang natur tertinggi dari sesuatu adalah diperoleh secara asli melalui media intuisi).
Otoritas intuisi sebagai sumber ilmu tertinggi juga telah dikumandangkan oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali setelah melampaui masa skeptisnya. Al-Ghazali meragukan pengetahuan indrawi dan pengetahuan rasional. Hal ini berarti al-Ghazali meragukan empirisme dan rasionalisme. Bahkan ia meragukan eksistensi dunia ini yang menurutnya hanya mimpi dari kehidupan yang sebenarnya. Adapun yang dicari al-Ghazali adalah dasar yang kokoh, valid, dan absolut. Dalam al-Mungid, ia mengatakan bahwa yang dia cari adalah ilmu tentang esensi segala sesuatu. Maka merupakan suatu keharusan untuk mencari apakah esensi ilmu itu.
Ketika keraguan al-Ghazali itu akhirnya terjawab melalui tasawuf, maka intuisi dikokohkan sebagai sumber kebenaran yang paling tinggi. Intuisi tersebut dibedakan atas ilham dan wahyu di mana wahyu merupakan puncak dari pengetahuan makhluk. [4]
Bahkan menurut Nasr, al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah menyerang tendensi rasionalitas yang koheren dalam filsafat Aristoteles dan mengkritik beberapa pandangan al- Farabi dan Ibn Sina.” Apakah dengan demikian tendensi epistemologinya lebih platonik? Lantas bagaimanakah epistemologi yang ditawarkan sebagai alternatifnya? Permasalahan-perma- salahan itu akan dianalisis lebih lanjut. [5]
Sekilas dapat dilihat bahwa struktur pengetahuan yang di- bangun al-Ghazali menempatkan wahyu sebagai kulminasi dan Al-Qur’an sebagai kodifikasi ilmu tertinggi. Otentisitas wahyu (Al-Qur’an) itu akan tetap terpelihara melalui ilham yang diterima oleh para auliya’ sebagai pewaris Nabi. Selanjutnya ia memilah ilmu menjadi dua hal. yaitu ilmu syar’iy dan ilmu aqliy. Berdasarkan pembagian ini al-Ghazali menawarkan dua metode untuk memperoleh ilmu, yaitu pendidikan humanistis (al-ta’lim al-insaniy) dan pendidikan transendental (al-ta’lim al-rabbaniy).
Adapun konsep kebenaran yang ditampilkan adalah kebenaran ilahiyah di mana kebenaran itu diterjemahkan dari dan menuju Allah. Sarana yang ada pada manusia untuk mencapai kebenaran adalah hati (al-qalb). Pada hati yang bersih itulah. pintu alam gaib terbuka (kasysyafi ma’rifat), sehingga tersingkap baginya alam malakut dan lauh al-mahfudz. Kebenaran itu dapat juga terungkap melalui intuisi (ilham) atau mimpi yang benar (al-ruyah al-shadiqah) bahkan dalam keadaan sadar dan jaga hingga ia mampu melihat apa yang tidak mungkin dapat diuraikan dan disifati. Inilah kebenaran hakiki yang oleh al-Ghazali disebut ilmu ladunniyah, mukasyafah, atau ilmu ma’rifah. [6]
[1] Akhmad Sodiq, Epistemolgi islam Argumen Al-ghozali atas superioritas Ilmu Ma’rifat (Depok: KENCANA, 2017), 1.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghozali, Imam. Majmu’ah Rasail. DIVA PRESS, 2018, 2018.
sodiq, akhmad. Epistemolgi islam Argumen Al-ghozali atas superioritas Ilmu Ma’rifat. Depok: KENCANA, 2017.
Verhaak, C., and R Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Cet. 2. Jakarta: Gramedia, 1991.
*) Mahaiswa S1 Ushuluddin dan Filsafat Semester 1. Aktif dalam berorganisasi NU.
Editor: Adis Setiawan