Keislaman

Ketika Sayyidina Ali Menangis: Sebuah Renungan tentang Keberkahan, Sosial, dan Makna Kehidupan

1 Mins read

 

وقيل، بكى علي كرم الله وجهه يوما، فقيل: ما يبكيك؟ فقال: لم يأتني ضيف منذ سبعة أيام، أخاف أن يكون الله قد أهانني.

(إحياء علوم الدين، ج ٣، ص ٢٦٠)

Dikisahkan bahwa suatu hari Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah menangis. Ketika ditanya tentang sebab kesedihannya, beliau menjawab, “Selama tujuh hari ini tidak ada tamu yang datang kepadaku. Aku khawatir, jangan-jangan Allah telah menghinakanku.”

Sebuah jawaban yang sekilas sederhana, namun menyimpan makna mendalam tentang keberkahan, hubungan sosial, serta makna hidup yang sejati. Dalam pandangan keimanan, kehadiran tamu adalah bagian dari rahmat Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda: “Bahwa memuliakan tamu adalah tanda keimanan kepada Allah dan hari akhir.”

Bagi Sayyidina Ali, terhentinya tamu bukan sekadar kesunyian biasa, melainkan isyarat dari langit yang ia takutkan sebagai bentuk berkurangnya keberkahan.

Sementara itu, di sisi sosial, ini adalah refleksi dari kepedulian dan keterhubungan manusia. Rumah yang ramai oleh tamu adalah rumah yang penuh dengan kasih sayang, tempat berbagi, dan saling menguatkan.

Sebaliknya, ketika rumah menjadi sepi, bisa jadi itu adalah tanda bahwa seseorang mulai terasing dari lingkaran kebaikan. Itu sebabnya Sayyidina Ali menangis bukan karena ia merasa sendiri, tetapi karena ia merasa tidak lagi bisa memberi, tidak lagi bisa menjadi saluran rezeki dan manfaat bagi orang lain.

Berbeda halnya dengan sisi psikologinya. Dalam hal ini, kita melihat bagaimana kebahagiaan sejati sering kali justru hadir dalam memberi, bukan menerima. Orang-orang yang terbiasa membantu dan melayani akan merasa kehilangan makna saat tidak ada yang datang untuk meminta bantuan.

Tentu saja, ini menjadi pertanyaan besar bagi kita semua: apakah kehadiran kita benar-benar memberi arti bagi orang lain? Apakah keberadaan kita dirindukan karena manfaat yang kita tebarkan?

Baca...  Syaikhona Kholil: Guru Para Ulama dan Pahlawan Nasional

Secara tidak langsung, kisah ini mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang bukan diukur dari harta, jabatan, atau pujian manusia, melainkan dari seberapa banyak ia memberi. Hidup yang penuh berkah adalah hidup yang bermanfaat bagi sesama.

Kenapa demikian? Karena sejatinya, ketika seseorang kehilangan tamu, ia bukan hanya kehilangan kunjungan, tetapi bisa jadi ia kehilangan bagian dari keberkahan yang selama ini diberikan Allah kepadanya. Wallahu a’lam bisshawaab.

166 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
Keislaman

Menyingkap Makna di Balik Wajh Allah: Penafsiran Ayat Antropomorfisme dalam Kitab Mafatih Al-Ghaib

3 Mins read
Bagaimana jika istilah “wajh Allah” ditafsirkan sebagai “wajah” dalam arti fisik seperti wajah makhluk? Pertanyaan semacam ini sering sekali memicu perdebatan dalam…
KeislamanTokoh

Mengenal Al-Biruni Ilmuwan Muslim

2 Mins read
Kuliahalislam.Abul Rayhan al-Biruni (Khawarizmi, Turkmenistan, Zulhijah 362/September 973 M-Ghazna, 3 Rajab 448/13 Desember 1048 M). Ia adalah sarjana muslim terkemuka pada masanya,…
Keislaman

Benturan Dua Mazhab Besar: Bagaimana Muktazilah dan Asy’ariyah Menafsirkan Sifat-sifat Allah dalam QS. Al-Hasyr 59 : 22?

4 Mins read
Pembahasan mengenai sifat-sifat Allah SWT menjadi salah satu diskursus paling menarik dan sensitif dalam khazanah teologi Islam. Setiap mazhab memiliki cara tersendiri…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Melihat Keutamaan Salat Ba’diyah Isya’ dan Tarawih: Telaah Dari Kitab Mughni Al-Muhtaj

Verified by MonsterInsights