Keislaman

Kedudukan Akal Dalam Pemikiran Islam

5 Mins read

Kuliahalislam-Akal merupakan daya berpikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu daya dari jiwa serta mengandung arti berpikir, memahami dan mengerti. Kata akal berasal dari bahasa Arab asalnya ‘aqala yang artinya mengikat dan menahan.

Pada zaman Jahiliyah orang berakal adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya sehingga karena dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapi.

Kata akal sebagai masdar (kata benda) dari ‘aqala tidak didapati di dalam Al-qur’an namun bentuk kata dari akar tersebut terdapat dalam bentuk fi’l mudari’ ( kata kerja) sebanyak 49 buah dan tersebar dibagi surat di dalam Al-qur’an. Kata-kata itu misalnya adalah ta’qilun di dalam surah al-Baqarah ayat 49, ya’qilun di dalam surah al-Furqon ayat 44 dan surah Yasin ayat 68, na’qilu di dalam surah al-Mulk ayat 10, ya’qiluhu di dalam surah al-Ankabut ayat 43, dan ‘aqaluhu dalam surah al-Ankabut ayat 43, dan ‘aqaluhu dalam surah Al-Baqarah ayat 75.

Dari banyaknya penggunaan kata-kata yang berasal dari kata akal, dipahami bahwa Al-qur’an saat menghargai akal; bahkan kitab syar’i hanya ditujukan kepada orang-orang berakal. Banyak sekali ayat-ayat yang mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya. Hadis-hadis Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam juga banyak sekali yang menunjukkan tingginya posisi akal dalam syariat Islam.

Di samping kata “aqala, Al-qur’an juga mempergunakan kata-kata yang menunjukkan arti berpikir tersebut, seperti nazara yang berarti melihat secara abstrak (berpikir), dalam Al-qur’an terdapat lebih dari 120 ayat; tafakkara yang artinya berpikir terdapat 18 ayat, faqiha yang berarti memahami terdapat pada 20 ayat, tadabbara yang juga semakna dengan ‘aqala terdapat dalam 8 ayat, tazakkara yang berarti mengingat terdapat dalam 100 ayat.

Akal Menurut Filsuf

Pengertian yang jelas tentang akal ini dapat dipahami dalam pembahasan pembahasan para filsuf Islam. Al-Kindi mengemukakan bahwa dalam jiwa manusia terdapat tiga daya yaitu daya bernafsu yang bertempat di perut, daya berani yang terdapat di dada, dan daya berpikir yang terdapat di kepala.

Akal sebagai daya berpikir yang terdapat di kepala, terbagi pula menjadi dua yaitu akal praktis yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat dan Akal teoritis menangkap arti-arti murni yaitu arti-arti yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh, dan Malaikat.

Akal praktis memusatkan diri pada alam materi, sedangkan akal teoritis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan perhatian pada alam imateri. Akal teoritas ini oleh Ibnu Sina dibagi menjadi 4 tingkatan.

Tingkatan pertama yaitu akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit. Kedua akal bakat yaitu telah mulai dilatih berpikir tentang hal-hal yang abstrak. Ketiga, akal aktual yaitu akal yang telah dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak dan dapat dia keluarkan setiap saat bila dia hendaki. Keempat, akal perolehan yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak melupakan daya upaya. Akal ini telah sangat terlatih dengan hal-hal yang abstrak sehingga hal-hal yang bersifat abstrak selamanya terdapat dalam akal pengolahan ini, dan akal seperti inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif yang dinamakan juga oleh Al Farabi sebagai akal ke-10.

Yang dimaksud dengan akal ke-10 menurut filsafat emanasi al-Farabi adalah malaikat Jibril. Al-Farabi dalam filsafat emanasinya membagi akal tersebut menjadi 10 macam yang berawal dari pancaran Tuhan. Tuhan sebagai akal menurut Al-Farabi, berpikir tentang diri-Nya.

Pemikiran tersebut merupakan daya dan daya pemikiran Tuhan yang besar dan hebat itu timbul mawjud (benda) lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu muncul wujud kedua yaitu juga punya setiap substansi dan dia disebut akal pertama.

Wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbulah wujud ketiga yang disebut dengan akal kedua. Wujud kedua atau akal pertama berpikir tentang dirinya dan munculah langit. Selanjutnya wujud ketiga ( akal kedua) berpikir tentang Tuhan, timbullah wujud keempat atau akal ketiga; dan tak kalau wujud ketiga atau akal kedua ini berpikir tentang dirinya maka muncullah bintang-bintang.

Akal ketiga berpikir tentang diri Tuhan dan  tentang dirinya maka muncullah akal keempat dan saturnus. Dari akal keempat muncul akal kelima dan Jupiter, dari akal kelima muncul akal keenam dan Mars, dari akal keenam muncul akal ketujuh dan matahari, dan akal ketujuh muncul akal ke- 8 dan Venus, dan akan ke-8 muncul akal ke-9 dan Merkurius, dan dari awal ke-9 muncul akal ke-10 dan bulan.

Pada pemikiran akal ke-10 berhentilah munculnya akal-akal tetapi akal ke-10, muncul bumi dan roh-roh serta materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur yaitu api, udara air dan tanah.

Setiap akal tersebut mengatur planetnya masing-masing. Akal-akal Inilah yang dikatakan malaikat tersebut.Demikian akan menurut pandangan ahli filsafat Islam yang menurut mereka akal tersebut adalah satu daya untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Akal Menurut Ahli Teologi

Ahli teologi juga membahas kedudukan akal sebagai daya berpikir dalam diri manusia. Pembahasan mereka berkisar sekitar apakah akal mampu untuk mengetahui Tuhan, berterima kasih kepada Tuhan, mengetahui baik dan buruk, serta kewajiban melakukan yang baik dan menjauhi yang buruk.

Dalam keempat permasalahan inilah terjadi pembahasan dan polemik yang panjang dan membawa implikasi yang jauh dalam posisi akal menurut pandangan masing-masing. Kaum mutazilah beranggapan bahwa akal cukup mampu untuk mengetahui dan melaksanakan keempat hal di atas, sekalipun wahyu belum turun untuk menuntun manusia.

Berdasarkan pendapat ini, mereka digelari sebagai kaum rasionalis Islam. Golongan Asy’ariah menyatakan bahwa dari keempat masalah tersebut manusia hanya mampu mengetahui Tuhan melalui akalnya sebelum datangnya wahyu, sedangkan tiga masalah ini tidak dapat dicapai oleh akal

Kaum Maturidiah nampaknya terpecah dua dalam menghadapi keempat permasalahan di atas. Kaum Maturidiah Samarkamd, yang dimotori oleh Abu Mansur Muhammad al Maturidi sendiri, mengatakan bahwa tiga dari masalah tersebut dapat dicapai oleh akal yaitu mengetahui Tuhan, kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, dan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk hanya dapat dicapai melalui wahyu.

Adapun kaum Maturidiah Bukhara yang dimotori oleh Imam Ali Muhammad al-Bazdawi, mengatakan bahwa yang dapat dicapai akal tersebut hanya dua, yaitu mengetahui Tuhan dan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk; sedangkan untuk mengetahui kewajiban-kewajiban yang dua lagi harus melalui wahyu bukan dengan akal.

Akal Menurut Ahli Ushul Fiqih

Kemampuan akal sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia juga menjadi permasalahan yang menarik ahli kalangan Ushul fiqih. Artinya para ahli Usul Fiqih juga memperdebatkan masalah penggunaan akal ini dalam berijtihad sehingga muncul apa yang dikenal dengan Ahlur Ra’yi sebagai bandingan Ahlul Hadits ( orang yang berpegang kepada hadis).

Namun demikian masing-masing pihak tetap menganggap Al-qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama hukum Islam. Perdebatan tentang penggunaan akal baru muncul tak kala ijtihad dilakukan dalam keadaan tidak ada nash yang mengatur secara jelas permasalahan yang sedang dihadapi.

Atau ada hadis Ahad yang kandungannya bertentangan dengan pendapat akal, apakah hadis dipakai atau pendapat akal yang didahulukan. Kalangan Hanafiah yang dikenal banyak menggunakan akal dalam berijtihad, memberikan syarat-syarat yang cukup ketat untuk dapat diterimanya sebuah hadis Ahad.

Namun sebagaimana dikatakan di atas, kalangan ahli Ushul Fiqih ini tetap mengandalkan pendapat mereka kepada Al-qur’an dan Sunnah. Sekalipun dalam hasil ijtihad itu pendapat akal lebih dominan, namun dalam kenyataannya hasil ijtihad tersebut baru mereka anggap sah jika ada legitimasi dari syariat.

Oleh sebab itu, sekalipun kalangan Hanafiah banyak menolak hadits Ahad, namun dalam buku-buku fiqih mereka banyak sekali didapati hadis Ahad, dan kadang-kadang hadis Ahad yang mereka pakai tersebut tidak diterima oleh kalangan Ahlul Hadits.

Dalam masalah pembahasan kekuatan akal ini, Najmuddin at Tufi, seorang ulama fikih di kalangan mazhab Hambali yang dalam perjalanan hidupnya pernah menganut syiah dan muktazilah berpendapat bahwa pendapat akal harus lebih didahulukan dari dalil syariat, apabila di antara keduanya terjadi pertentangan.

Hal ini karena akal merupakan dalil syariat tersendiri dalam mengistinbatkan hukum. Pendapatnya dipaparkan ketika ia memberi Syarah Kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah, khususnya tentang hadis Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang artinya tidak boleh memudaratkan orang lain dan tidak boleh pula dimudaratkan orang lain di dalam Islam.

Dari hadis ini dia menyimpulkan bahwa kemaslahatan itu merupakan tujuan syariat yang tertinggi. Dengan demikian, jika suatu maslahat menurut pendapat akal bertentangan dengan nash Alquran dan Sunnah, ijmak maka didahulukan maslahat tersebut. Pendapat ini tidak diterima oleh mayoritas ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak mungkin pendapat akal didahulukan dari kitab syariat itu sendiri. Mayoritas ulama Fiqih berpendapat bahwa pendapat akal yang dapat diterima adalah pendapat yang didukung oleh nas, entah dukungan itu secara khusus ataupun secara umum. Maslahat bagi mayoritas ulama dapat diterima jika dia mendapat dukungan dari nas atau ijmak, apakah dukungan tersebut masalah tersebut secara khusus ataupun secara umum tidak dapat diterima (maslahah garibah). Lebih ditolak lagi jika masalah yang dihasilkan akal tersebut bertentangan dengan Nas dan ijmak (maslahah mulgah).

 

 

77 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanTokoh

Sunan Kalijaga Mengislamkan Jawa Dengan Seni

5 Mins read
Kuliahalislam- Sunan Kalijaga merupakan seorang wali dari suku Jawa asli. Nama aslinya adalah Raden Mas Syahid (R.M Syahid), putra dari Ki Tumenggung…
FilsafatKeislaman

Kasyf Terbukanya Rahasia Ketuhanan

4 Mins read
Kuliahalislam.com- Kasyf merupakan suatu tingkatan tertinggi dalam tasawuf. Bagi orang yang mengalaminya akan terbuka hijab ( dinding atau tabir) yang mengantarai rahasia…
KeislamanSejarah

Sejarah Penulisan Kitab Ulumul Hadis

4 Mins read
Kuliahalislam.com- Kitab Ulumul Hadis merupakan kitab-kitab tentang ilmu hadits atau kajian mengenai hadis. Pembahasannya ada yang bersifat umum mencakup semua hal yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights