KeislamanSejarah

Bani Umayyah Dari Kejayaan Sampai Keruntuhan

8 Mins read

Keturunan Umayyah bin Abdul Syams, salah satu suku Quraisy yang di dalam Islam dikenal telah mendirikan pemerintahan dalam dua periode di Damaskus dan Cordoba. Di masa pra-Islam Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim lupakan klan suku Quraisy. Bani Umayyah lebih berperan di dalam masyarakat Mekkah. Merekalah yang menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung pada para pengunjung Ka’bah, sementara Bani Hasyim adalah orang-orang perekonomian sederhana. Akan tetapi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, pembawa agama Islam adalah seorang dari Bani Hasyim. Ketika agama Islam mulai berkembang dan mendapatkan pengikut, Bani Umayyah merasa bahwa kekuasaan dan perekonomiannya terancam.

Oleh sebab itu, mereka menjadi penentang utama terhadap perjuangan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tetapi tidak pernah berhasil melumpuhkannya. Abu Sufyan bin Harb, salah seorang anggota klan Umayyah, seringkali menjadi jenderal dalam beberapa peperangan melawan pihak Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Setelah Islam menjadi kuat dan dapat merebut kota Mekah, Abu Sufyan dan pihaknya menyerah tetapi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam memberikan kebebasan kepada mereka. Diantaranya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang sebagaimana sisa-sisa penduduk Mekah lainnya kemudian memeluk Islam.

Bani Umayyah Di Era Khulafa ar-Rasyidin

Di masa Khalifah Abu Bakar As Siddiq, Bani Umayyah merasa rendah karena kelas mereka berada di bawah kelas kaum Anshar dan Muhajirin. Abu Bakar As Siddiq menyatakan bahwa mereka adalah angkatan yang paling awal masuk Islam dan untuk menjadi setingkat dengan kedua kaum di atas mereka harus mengikuti perang dalam membela Islam. Ketika Umar Bin Khattab menjadi khalifah, mereka dikirim untuk berperang melawan pasukan Byzantium, kemudian ditempatkan di Suriah.

Yazid Bin Abu Sufyan diangkat menjadi gubernur di sana. Di masa Khalifah Utsman bin Affan yang juga merupakan salah seorang anggota Bani Umayyah, Muawiyah mendapat ketetapan bahwa kepemimpinan Suriah diberikan kepada Bani Umayyah sebagaimana Mekah di masa jahiliyah berada di dalam kekuasaan Quraisy. Utsman bin Affan terbunuh dalam suatu insiden yang ditimbulkan oleh pihak yang tidak puas terhadap pemerintahannya.

Sebagai penggantinya, Ali Bin Abi Thalib dari Bani Hasyim menjadi khalifah. Muawiyah menolak mengakui kekhalifahan Ali dan ketika Ali tidak bertindak menurut hukum para pembunuh Utsman bin Affan, Muawiyah menyatakan diri sebagai penuntut balas darah Utsman bin Affan dan sekaligus sebagai pewaris jabatannya. Sekali lagi terjadi persaingan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim. Konfrontasi bersenjata antara kedua belah pihak terjadi di Shiffin, di perbatasan antara Suriah dan Irak. Ketika kemenangan hampir berada di pihak Ali Bin Abi Thalib, Amr Bin Ash yang merupakan tangan kanan Muawiyah yang terkenal licik meminta damai dengan mengangkat Al-Qur’an ke atas.

Ahli Al-qur’an yang ada di pihak Ali bin Abi Thalib segera mendesak Ali untuk menerima tawaran damai itu. Perdamaian dilakukan dengan cara Tahkim. Ammar bin As diangkat sebagai perwakilan dari Muawiyah dan Abu Musa Al Asy’ari dari pihak Ali Bin Abi Thalib. Mereka bermufakat untuk menjatuhkan pemimpin mereka masing-masing. Akan tetapi, keputusan mereka ternyata merugikan Ali bin Abi Thalib sehingga dia menolaknya. Namun Ali terlalu sibuk menentramkan bagian wilayah-wilayah yang mengakuinya sehingga tidak sempat memerangi Muawiyah bin Abi Sufyan. Sementara itu, Muawiyah berhasil mengusir gubernur yang ditunjuk Ali bin Abi Thalib dari Mesir dan mengirim pasukan-pasukan penyerbu ke Irak.

Era Baru Bani Umayyah

Pada tahun 660 dia menyatakan diri sebagai khalifah di Yerusalem. Sebelum Ali sempat bertindak untuk menghukum pembangkang terhadap kekuasaannya, salah seorang lawan politiknya berhasil membunuhnya dalam suatu tindakan menuntut balas. Meninggalnya Ali bin Abu Thalib pada tahun 661 mendorong umat Islam untuk mengakui Muawiyah sebagai khalifah untuk seluruh wilayah kekuasaan. Memang ada usaha dari putra Ali bin Abi Thalib yaitu Hasan bin Ali bin Abu Thalib untuk menggantikan ayahnya. Karena Dia tidak rela menyaksikan umat Islam saling membunuh untuk merebutkan kekuasaan, tiga bulan sesudah Hasan dibaiat, ia menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah dengan beberapa syarat.

Muawiyah memerintah pada tahun 661- 680 adalah orang yang bertanggung jawab atas perubahan sistem suksesi kepemimpinan dari yang bersifat demokratis dengan cara pemilihan kepada yang bersifat keturunan. Dua orang tokoh yaitu Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair menentang dan meninggalkan Madinah. Pertentangan itu melahirkan perang saudara kedua dengan kemenangan di tangan Bani Umayyah. Bani Umayyah berhasil mengokohkan kekhalifahan di Damaskus selama 90 tahun (661-750).

Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah

Selama masa itu, Bani Umayyah dipimpin oleh para khalifah sebagai berikut: Muawiyah I bin Abi Sufyan (661-680), Yazid I (680-683), Muawiyah II (683-684), Marwan I bin al-Hakam atau Marwan bin Hakam (684-685), Abdul Malik ( 685-705), al-Walid I (705-715), Sulaiman (715-717), Umar bin Abdul Aziz (717-720), Yazid II (720-724), Hisyam (724-743), al-Walid II (743-744), Yazid III (744), Ibrahim (744), dan Marwan II (744-750).

Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus menandai era baru. Dari pusat inilah Bani Umayyah menyempurnakan perluasan wilayahnya dengan menaklukkan seluruh imperium Persia dan sebagian Imperium Bizantium. Ketika Muawiyah merebut kekuasaan dari tangan Ali, Islam telah tersebar ke Mesir, Libya, Suriah, Irak dan Persia, menyeberang ke Armenia sampai sekitar Afghanistan. Di zamannya-lah Uqbah bin Nafi dengan dukungan orang-orang Barbar mengalahkan tentara Bizantium di Afrika dan pada tahun 670 dia mendirikan Qairawan sebagai tempat perkemahan permanen.

Serangannya telah sampai ke Atlantik, tetapi dalam perjalanan pulang menjadi bunuh oleh seorang kepala suku Barbar. Di sebelah timur, Muawiyah dapat mengusir Khurasan sampai ke Sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan Lautnya mengadakan serangan ke ibukota Byzantium, Konstantinopel. Di zaman Abdul Malik tentara yang dikirim oleh panglima Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi menyeberangi Sungai Oxus dan dapat menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana dan Samarkand. Tentaranya juga sampai ke India dan dapat menguasai Baluchistan, Sind entah ke Punjab sampai ke Multan. Ekspansi ke barat yang sempat terhenti dilakukan kembali oleh zaman al-Walid I.

Peluasaan Kekuasaan Islam

Musa bin Nusair menyerang Aljazair dan Maroko kemudian setelah dapat menundukkannya dia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah daerah itu. Tariq bin Ziyad dengan menyeberangi selat antara Maroko dan Benua Eropa dapat mengalahkan tentara Spanyol yang dipimpin oleh Raja Roderick. Toledo, demikian pula kota lainnya seperti Seville, Malaga, Elvira dan Cordoba berhasil dikuasainya.

Serangan-serangan selanjutnya dipimpin oleh Musa bin Nusair. Jangan ke Prancis melalui Pegunungan Pyrenia terutama dilakukan oleh Abdur Rahman al-Gafiqi di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dia menyerang Bordeaux dan Poitiers, lalu dari Poitiers dia mencoba menyerang Tours, tetapi di antara kedua kota itu pasukannya ditahan oleh Charles Martel dalam suatu pertempuran yang disebut Pertempuran Tours pada tahun 732.

Meskipun ekspansi ke Perancis mengalami kegagalan, serangan-serangan lain masih dilancarkan umpamanya ke Avignon pada tahun 734 dan Lyons pada tahun 743. Dalam pada itu, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah ; Majorca, Corsica, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus, dan sebagian dari Sicilia jatuh ke tangan Islam. Di zaman dinasti Bani Umayyah ini Islam telah menguasai daerah-daerah Spanyol, Afrika, Suriah, Palestina, Semenanjung Arabia, sebagian wilayah Asia kecil, Persia, Afghanistan, Pakistan, Turkmenia, Uzbekistan, dan Kirgistan.

Ekspansi yang dilakukan oleh Bani Umayyah telah membuat Islam menjadi negara besar dan luas. Dari sebagai bangsa di bawah naungan Islam lahirlah benih-benih kebudayaan dan peradaban Islam yang baru. Meskipun demikian, Bani Umayyah lebih banyak memusatkan perhatian pada kebudayaan Arab. Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam administrasi seperti bahasa Persia, Yunani, Qibthi ( penduduk asli Mesir). Atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al-Hajj, dia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi secara resmi di seluruh negeri. Meskipun demikian, bahasa- bahasa seperti tersebut di atas tidak sepenuhnya dihilangkan. Dalam pada itu, orang-orang non Arab telah banyak memeluk Islam dan mulai pandai menggunakan bahasa Arab. Perhatian pada bahasa mulai berikan untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab. Hal inilah yang mendorong lahirnya seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang kaya tulisnya yaitu al-Kitab, menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair alam jahiliyah pun muncul kembali sehingga bidang sastra mulai mengalami kemajuan.

Di zaman inilah muncul penyair penyair terkenal seperti Umar bin Abu Rabi’ah (wafat 719), Jamil al-Uzri (wafat 701), Qays bin Mulawwah (wafat 699) yang dikenal dengan nama Laila Majnun, al-Farazdaq (wafat 732), Jarir (wafat 792) dan al-Akhtal (wafat 710).

Bidang pembangunan fisik pun tidak luput dari perhatian para khalifah Bani Umayyah. Masjid-masjid di luar Semenanjung Arabia dibangun, Katedral St. John idamaskus diubah menjadi masjid dan Katedral di Hims digunakan sekaligus sebagai masjid dan gereja. Masjid Madinah juga di restorasi dan diperluas dengan mengubah bekas-bekas kamar-kamar istri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Selain masjid-masjid, dibangun pula istana-istana untuk tempat istirahat di padang pasir seperti Qusayr Amrah dan al-Musatta yang bekas-bekasnya masih ada hingga saat ini.

Sampai begitu jauh kelihatannya kemajuan yang dicapai oleh Bani Umayyah dan pusat pada ekspansi wilayah, bahasa dan sastra Arab, serta pembangunan fisik. Sesungguhnya di masa ini gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang pula seperti dalam bidang keagamaan, sejarah dan filsafat. Dalam bidang-bidang yang pertamanya umpamanya dijumpai ulama-ulama seperti Imam Hasan al-Basri, Ibnu Syihab az-Zuhri dan Wasil bin Atha. Pusat kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak. Khalid bin Yazid bin Muawiyah adalah seorang orator dan penyair yang berpikiran tajam. Dia adalah orang yang pertama yang menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia.

Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai khalifah yang zuhud, sering mengundang para ulama dan ahli fikih untuk mengkaji ilmu di dalam majelisnya. Pada masa Umar bin Abdul Aziz dilarang mencaci lawan politik dalam khutbah. Ketiga gerakan ilmiah seperti tersebut di atas berjalan dengan sendirinya. Bidang keagamaan berjalan karena besarnya motivasi keagamaan pada masa itu, di bidang filsafat berjalan karena umat Islam pada masa akhir Bani Umayyah terpaksa menggunakannya di dalam perdebatan dengan kaum Yahudi dan Nasrani serta di antara sama penganut Islam, sedangkan sejarah berjalan karena mempunyai warna keagamaan.

Kejayaan Bani Umayyah

Kekuasaan dan kejayaan Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman al-Walid. Sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Dari beberapa khalifah Bani Umayyah selanjutnya hanya Marwan II yang memerintah cukup lama. Periode sekitar 2 tahun antara kematian Hisyam dan masuknya Marwan ke damaskus terutama ditandai oleh pertikaian pertikaian di dalam keluarga. Namun sekalipun dapat bersatu, masih disangsikan kesanggupan mereka untuk memperbaiki situasi yang telah buruk.

Selalu banyak faktor yang harus mereka hadapi untuk bisa terhindar dari kehancuran. Pemindahan ibukota dari Madinah ke damaskus yang dekat dengan pusat kota dan merupakan bekas bagian wilayah Bizantium telah membentuk gaya hidup mewah di kalangan keluarga para khalifah. Faktor ini tuh memperlemah jiwa dan vitalitas keluarga dan anak-anak khalifah yang telah membuat mereka orang sanggup memikul beban pemerintahan yang sedemikian besarnya. Di samping itu, faktor ini telah menimbulkan ketidakpuasan di kalangan orang-orang soleh dan ulama.

Bani Umayyah telah membentuk aristokrasi militer Arab yang kemudian menyusun keadaan sosial secara turun-temurun. Tentara Suriah adalah jantung kekuatan militernya. Sebagai sumber kekuatan dan keamanan mereka memperoleh bagian harta rampasan dan pajak yang ditumpahkan pada maskus sebagai hasil penjarahan.

Runtuhnya Bani Ummayyah

Hal ini telah menimbulkan kecemburuan di kalangan orang-orang muslim Arab di Madinah, Mekah dan Irak. Mereka memang dibebaskan dari beban membayar pajak yang dipikul kan kepada orang-orang non muslim.Akan tetapi, kehidupan mereka tidak lebih baik dari orang-orang di Suriah. Kaum Mawalli pun mengeluh atas perlakuan pemerintah yang dipandang tidak sesuai dengan prinsip persamaan di dalam Islam.

Semua ini telah menjadi permasalahan yang sulit dipecahkan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Tambah lagi ketentramannya selalu dikacaukan oleh pertentangan tradisional antara Suku Arab Utara dan Suku Arab Selatan. Pada awal abad ke-8, sentimen anti pemerintahan Bani Umayyah telah tersebar secara intensif.

Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan yaitu muslim non Arab yang secara terang-terangan mengeluhkan status mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab, kelompok Khawarij dan Syiah yang memandang Bani Umayyah sebagai perampas Khalifah, kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah dan Irak yang sakit hati atas status istimewa penduduk Suriah, dan kelompok orang-orang sholeh bayi Arab maupun non Arab yang memandang keluarga Bani Umayyah telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup yang Islami.

Rasa tidak puas Ini akhirnya melahirkan suatu kekuatan koalisi yang didukung oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.Gerakan oposisi yang pertama-tama dinamakan Hasyimiyah dan kemudian Abbasiyah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ali dan kedua putranya itu Ibrahim dan Abu Abbas.

Gerakan Ini mendapat dukungan yang sangat besar dari orang-orang Khurasan yang merupakan basis partai Ali. Di bawah pemimpin Panglima yang tangkas Abu Muslim al-Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Bani Umayyah. Pada bulan Januari 750, Marwan II yang menjadi khalifah terakhir Bani Umayyah dapat dikalahkan di Pertempuran Zab Hulu, sebuah anak sungai Tigris di Mosul. Dia kemudian melarikan diri ke Mesir.

Sementara itu, pasukan Abbasiyah membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang berhasil mereka tawan. Akhirnya ketika mereka mencapai Mesir, sebuah kesatuan menemukan dan membunuh Marwan II pada bulan Agustus 750. Maka berakhirlah kekuasaan Bani Umayyah di damaskus.

Namun satu-satunya anggota keluarga Bani Umayyah yaitu Abdurrahman (cucu Hisyam) berhasil meloloskan diri ke Afrika utara kemudian menyeberang ke Spanyol. Di sinilah selanjutnya Dia membangun kekuasaan dinasti Bani Umayyah baru yang berpusat di kordoba dan dikenal sebagai dinasti Andalusia.

 

 

Sumber referensi ensiklopedia Islam

77 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
Keislaman

Kedudukan Akal Dalam Pemikiran Islam

5 Mins read
Kuliahalislam-Akal merupakan daya berpikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu daya dari jiwa serta mengandung arti berpikir, memahami dan…
Sejarah

Mengenal Dinasti Mahmud Gaznawi

2 Mins read
Kuliahalislam- Mahmud Gaznawi lahir di Gazna, 02 November 971 dan wafat di Gazna 30 April 1030 Masehi. Dia adalah Sultan ke-3 Dinasti…
KeislamanTokoh

Sunan Kalijaga Mengislamkan Jawa Dengan Seni

5 Mins read
Kuliahalislam- Sunan Kalijaga merupakan seorang wali dari suku Jawa asli. Nama aslinya adalah Raden Mas Syahid (R.M Syahid), putra dari Ki Tumenggung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights