Artikel

Alquran; Manusia Sejak Lahir Memiliki Insting Sosial

8 Mins read

 

Mari
kita memulainya dengan merenungkan beberapa fakta menarik kehidupan manusia.
Pertama, bila kita memperhatikan bayi, bayi lazimnya akan  menunjukkan kesusahan ketika dipisahkan dari
pengasuhnya; biasanya menangis. Dan entah bagaimana, entah siapa yang
mengajarinya, ia secara proaktif mencari perhatian kita. Kedua, ternyata
struktur otak manusia memiliki area khusus yang didedikasikan untuk kognisi
sosial, pemrosesan emosi, dan pemahaman niat orang lain. Struktur seperti ini menunjukkan
kepada kita tentang fakta ‘predisposisi saraf’ untuk interaksi sosial. Ketiga,
penjelasan sejarah mengatakan bahwa adanya Kohesi sosial dalam bentuk saling memfasilitasi
perburuan, pertahanan, dan berbagi sumber daya. Kohesi sosial ini, membuktikan keuntungan
dalam bertahan hidup para manusia di zaman prasejarah. Fakta keempat, dimana
pun kita menemukan manusia, kita selalu menemukan kecenderungan adanya altruisme
dalam Kelompok sosial dan struktur budaya. Hal ini mengajak kita menyimpulkan
bahwa ada  kecenderungan universal manusia
menuju kehidupan kolektif.

Namun,
selain adanya fakta-fakta tadi, kita juga menemukan sederet fakta yang membawa
kita kepada kesimpulan berbeda. Fakta bahwa tidak semua orang bisa menikmati kehidupan
sosial. Contohnya para introvert sering kali memiliki pola ‘usaha lebih’ dan
kebutuhan sosial yang berbeda dibandingkan dengan mereka yang ekstrovert. Fakta
adanya konflik sosial semacam perang, persaingan, dan eksploitasi. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia juga dapat saling menyakiti; seolah-olah menyimpulkan bahwa kemampuan
bersosialisasi manusia  tidak sepenuhnya
naluriah. Fakta adanya isolasi sosial dan egois bukanlah karakter sosial
manusia.

Dua
fakta yang berseberangan itu akhirnya memunculkan satu pertanyaan filosofis,
apakah manusia adalah mahluk sosial sejak lahir? Atau apakah manusia memang
diprogram untuk hidup secara kolektif? Pertanyaan ini, menimbulkan nuansa
perdebatan serius dikalangan para filsuf dan ilmuwan. Perdebatan-perdebatan itu
muncul dalam lintas ilmu dengan pendekatannya masing-masing. Penjelasan datang
dari para sosiolog, psikolog, ekonom dan bahkan tidak ketinggalan para filsuf.
Sebelum kita masuk ke penjelasan alquran, tentu akan lebih menarik bila kita
mencermati alasan-alasan itu.

Penulis
telah mengumpulkan berbagai jawaban dan telah meramunya. Paling tidak ada 3
teori jawaban atas pertanyaan tersebut. Teori 
pertama mengatakan ya, bahwa memang manusia bersifat kemasyarakatan;
bermasyarakat merupakan tujuan umum dan universal yang, secara fitri, insting,
naluriah (gifted), ingin dicapai manusia. Sepertinya, teori ini didukung
oleh beberapa ilmuwan  seperti, Emile
Durkheim, Aristoteles, Jean-Jacques Rousseau, Erving Goffman dan Harry Harlow. Meskipun
tesis mereka tidak mampu menjelaskan asal dari nafsu kolektif ini, mereka
dengan gamblang menjelaskan akibat kelanjutan dari nafsu bermasyarakat ini.

Penelitian
Durkheim terhadap suku aborigin di Australia dan sistem agama misalnya.
Penelitian beliau menyimpulkan bahwa agama/ totemisme adalah wujud nyata adanya
nafsu kolektif manusia. Saking nafsunya, manusia sampai harus menciptakan agama
untuk melanggengkan kemasyarakatan.  Mirip
dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia dengan nafsunya harus sampai
berpolitik. Politik inilah yang membedakan nafsu manusia dengan hewan. Satu
langkah maju dari hewan, politik adalah satu-satunya jalan  manusia menemukan kepuasan alami mereka dalam
komunitas. Dengan adanya politik, manusia mengembangkan akal dan etikanya. Melanjutkan
tesis Aristotelian, Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya “The Social
Contract
,” meyakini  bahwa
manusia sejak awal adalah baik. Tetapi kebaikan tersebut  terkorupsi oleh masyarakat. Oleh karena itu
dalam masyarakat, manusia perlu menyepakati kontrak-kontrak baru. Sebab kontrak
sosial adalah cara untuk memastikan keberadaan yang adil dan harmonis.

Lain
lagi dengan Erving Goffman, yang menyatakan bahwa sejak awal manusia punya
nafsu untuk menampilkan diri. Beliau memperkenalkan konsep dramaturgi dalam
karyanya “The Presentation of Self in Everyday Life.” Dia
berargumen bahwa kehidupan sosial mirip pertunjukan teater, dan individu
terlibat dalam manajemen impresi untuk mempresentasikan diri secara efektif
dalam interaksi sosial. Pandangan beliau lebih menekankan pentingnya membentuk
identitas seseorang dengan cara membangun hubungan sosial.

Baca...  Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Bersatu dalam Menjaga Pancasila dan NKRI

Seolah
berusaha menjelaskan asal nafsu alamiah itu, Harry Harlow masuk dalam ranah
psikologis. Penelitian beliau terhadap monyet rhesus menunjukkan bahwa monyet
lebih memilih kenyamanan dari induk pengganti yang lembut daripada induk kandungnya
yang hanya menyediakan makanan. Akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa kebutuhan
emosional lebih penting dari pada kebutuhan makan. Disimpulkan bahwa  kebutuhan emosional dan sosial individu
melampaui insting dasar untuk bertahan hidup. Hal ini menjadi bukti bahwa Jauh
dalam batinnya, mahkluk-makhluk  ini
adalah mahluk emosional dan sosial. Beragam penelitian psikologi semacam   ini akhirnya mencetuskan Psikologi Evolusi.
Dalam Psikologi evolusi  dijelaskan bahwa
perilaku sosial kooperatif memberikan keuntungan signifikan untuk kelangsungan
hidup dan reproduksi di lingkungan nenek moyang kita. Sehingga perilaku sosial
ini tertanam secara genetik turun-temurun.

Tentu
saja dengan seperangkat asumsi terbatas itu; dengan hanya bermodal metode
empiris dan penalaran akal saja, hingga hari ini manusia tidak mungkin
menjelaskan asal naluri manusia ini. 
Ketidakmampuan ini pada akhirnya akan jatuh pada dukungan terhadap teori
yang kedua. Teori kedua menyatakan bahwa manusia melakukan tindakan sosial bukan
karena naluri bawaan. Tetapi justru karena merasakan adanya ancaman dari luar
dirinya. Ancaman-ancaman eksternal ini membuat manusia terpaksa bermasyarakat.
Manusia bermasyarakat tentu saja karena kelemahannya dan demi melengkapi
kelemahan tersebut manusia membutuhkan kehadiran orang lain dan bermasyarakat.

Teori
evolusi Darwin dan survival of the fittest dapat diinterpretasikan
sebagai penjelasan bahwa perilaku sosial, termasuk kerjasama, hanyalah strategi
adaptif untuk bertahan hidup daripada naluri sosial bawaan. Keinginan bertahan
hidup individu dalam perjuangan seleksi alam memaksanya untuk berperilaku
sosial. Anggapan bahwa perilaku sosial hanyalah tujuan dari individualisme ini
kemudian   Kebanyakan didukung oleh para penganut Utilitarianisme.

Sebagaimana
penganut utilitarianisme, Thomas Hobbes dalam karyanya “Leviathan,” menjelaskan
bahwa individu berkumpul dalam masyarakat politik karena kebutuhan akan
keamanan dan ketertiban. Karena kepentingan individu inilah Hobbes mengusulkan
konsep kontrak sosial. Namun, kepentingan individu yang rakus ini cenderung tak
terbatas. Sehingga Thomas Malthus mengusulkan Teori populasi. Malthus
menunjukkan bahwa populasi manusia cenderung melebihi sumber daya, yang
mengarah pada kompetisi dan konflik. Sehingga, dia melihat bahwa kerjasama adalah
jalan paling strategis manusia untuk bertahan hidup di dunia yang kekurangan
sumber daya ini.

Friedrich
Nietzsche: Nietzsche, sambil mengakui kebutuhan manusia akan koneksi,
mengusulkan pandangan yang lebih gelap tentang hubungan sosial. Dia melihat
“kehendak untuk berkuasa” sebagai pendorong manusia fundamental, yang
mengarah pada persaingan dan perjuangan dominasi yang konstan. Meskipun tidak
secara eksplisit menolak kerja sama, beliau memandang tindakan sosial hanyalah aliansi
sementara berdasarkan kepentingan pribadi daripada keinginan bersosialisasi.

Dalam
ranah hubungan internasional, teoretisi realis seperti Hans Morgenthau dan
Kenneth Waltz berargumen bahwa negara membentuk aliansi dan kerjasama bukan
karena naluri persahabatan, melainkan sebagai respons terhadap ancaman
eksternal. Keseimbangan kekuatan dan kekhawatiran keamanan menjadi penggerak
utama interaksi negara. Ini bukti bahwa  hubungan
sosial itu bersifat pragmatis. Akhirnya menurut teori kedua, apa yang disebut
masyarakat/ aliansi, organisasi itu tidak ada; yang ada hanyalah kepentingan
individu-individu yang bersatu dalam tindakan sosial.

Kesimpulan
teori yang menihilkan adanya bentuk kemasyarakatan ini dibantah dengan teori
ketiga. Teori ketiga menyatakan bahwa memang manusia berkarakter sosial, tetapi
tidak seperti teori pertama, ini bukan karena naluri/alami (gifted). Adanya
fenomena sosial dalam kehidupan manusia bukan pula karena terpaksa seperti
teori kedua. Tetapi, faktor utama yang membentuk kehidupan sosial adalah
kemampuan rasional manusia untuk memperhitungkan apa yang terbaik menurut
dirinya. Tindakan sosial hanyalah soal pilihan saja.

Baca...  Kontinuitas Tasawuf dan Kebudayaan (2)

Adam
Smith, sering dianggap sebagai bapak ekonomi, mengusulkan konsep “tangan
tak terlihat” dalam karyanya “The Wealth of Nations.” Beliau
berargumen bahwa individu, dalam mengejar kepentingan diri sendiri, secara
tidak sengaja ikut berkontribusi pada kesejahteraan keseluruhan masyarakat. Ide
ini mengindikasikan bahwa ketertiban sosial dan kerja sama muncul sebagai hasil
dari kepentingan diri yang rasional daripada naluri sosial bawaan. Tesis Adam
Smith ini, biasanya didukung oleh para ekonom dan rasionalisme.

Sebagaimana
seorang rasionalis, Herbert Simon memperkenalkan konsep “bounded rationality”,
rasionalitas terbatas. Dia berpendapat bahwa individu, meskipun rasional,
memiliki kapasitas kognitif yang terbatas dan harus membuat keputusan
berdasarkan informasi yang tidak lengkap. Dalam interaksi sosial, individu memang
selalu berencana sesuai cita-citanya. Namun segala rencana tersebut terjebak dalam
batasan kemampuan kognitif dan informasi yang tersedia. Batasan kognisi ini,
menyebabkan ia harus selalu memilih ketika bertindak sosial.

Rasionalis
lain datang dari Gary Becker, seorang ekonom, memperluas analisis ekonomi ke
interaksi sosial melalui konsep “ekonomi sosial.” Dia menerapkan
teori pilihan rasional pada berbagai fenomena sosial, contohnya dinamika pernikahan
dan keluarga. Tesis ini menyiratkan bahwa individu terlibat dalam hubungan
sosial berdasarkan perhitungan rasional terhadap biaya dan manfaat. Didukung oleh
Karya Foucault, dalam “The Birth of Biopolitics,” yang mengeksplorasi
tentang ide pemerintahan dan rasionalisasi kehidupan sosial. Di dalam karyanya
kita mendapati  bagaimana individu dan
masyarakat diperintah melalui berbagai mekanisme, menekankan peran akal budi
dan pengambilan keputusan terencana dalam membentuk struktur sosial. Akhirnya,
para ekonom rasionalis ini memunculkan konsep Ekonomi Institusional. Sebuah pendekatan
yang berfokus pada peran lembaga dan aturan dalam membentuk perilaku sosial. Pendekatan
ini diyakini dengan asumsi bahwa kerja sama dapat dipelihara dengan merancang
lembaga yang menyelaraskan kepentingan individu dengan kebaikan kolektif.

Kesimpulan
keseluruhan yang dapat kita petik adalah: Menurut teori yang pertama, hidup
bersosialisasi merupakan tujuan universal yang hendak dituju oleh individu
secara naluriah. Sedangkan Menurut teori yang kedua, hidup bersosialisasi
merupakan sesuatu yang kebetulan, tidak esensial, sebab tujuan yang tertinggi adalah
kepentingan individu itu sendiri. Sedangkan menurut teori yang ketiga, hidup
bersosial merupakan salah satu tujuan intelektual  individu dan bukan salah satu tujuan naluriah.

Diantara
ketiga teori tersebut, tesis yang manakah yang paling sesuai dengan pandangan Alquran?
Tentu saja teori yang pertama. Meskipun tesis para ilmuan pendukung teori
pertama ini tidak mampu menjelaskan asal asul naluri alamiah tersebut, AlQuran
hadir untuk melengkapi kelemahan dan kebingungan tesis mereka. AlQur’an
menegaskan bahwa manusia sejak lahir memiliki insting sosial.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ
لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣

“Hai manusia, Kami
telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan telah
menjadikan kamu ber­bangsa­bangsa dan bersuku­suku, supaya kamu saling
mengenal  (bukan berarti, lalu kamu bisa
berunggul/ bersombong-sombong diri atas yang lain). Tentu, yang paling mulia di
antara kamu, dalam pandangan Allah, ialah yang paling takwa di antara kamu.”
(QS. Al-Hujurat: 13)

Dari
ayat ini, terdapat  implikasi yang
menunjukkan filosofi kehidupan bermasyarakat; hikmah sosial penciptaan manusia.
Manusia sengaja diciptakan sedemikian rupa sehingga terbentuk berbagai bangsa
dan suku yang berbeda-beda. Perbedaan  eksistensial manusia itu diidentifikasi berdasarkan
hubungan sosialnya, yakni bangsa dan sukunya.

Ayat
ini juga memberi kita solusi problematika sosial; bahwa syarat penting
kehidupan bersosialisasi adalah kesanggupan mengenal satu sama lain. Bila individu
tidak mengenal individu lainnya maka kehidupan sosial itu mustahil ada.  Seandainya tidak ada bangsa, suku, dan
afinitas (hubungan karena pernikahan) lain yang serupa, yang menjadi ciri
pemersatu dan pembeda, maka mustahil mengidentifikasi manusia. Akibatnya,
mustahil ada kehidupan sosial yang landasannya adalah hubungan timbal balik
antarmanusia.  

Baca...  Historisitas Lahirnya Paham-paham Keislaman Pasca Wafatnya Nabi

Keterikatan
kebangsaan, kesukuan, dan perbedaan lain, seperti bentuk tubuh dan warna kulit,
membentuk identitas tiap individu. Seandainya saja seluruh individu sama bentuk
tubuhnya, sama warna kulitnya, sama ciri-cirinya, serta seandainya saja
keterikatannya sama, maka seluruh individu akan sama, seperti produk buatan
pabrik dan satu sama lain tidak bisa dibedakan. Ujung-ujungnya, mustahil
mengenali mereka satu per satu sehingga tidak mungkin ada kehidupan sosial yang
dilandaskan pada hubungan timbal balik, pertukaran pikiran, produk, serta jasa.
Karena itu, afiliasi manusia ke suku dan komunitas yang berbeda memiliki maksud
dan tujuannya. Ini menjadi syarat penting bagi kehidupan sosial. Namun,
afiliasi ke ras atau keluarga tertentu bukanlah soal kebanggaan atau bukan berlandaskan
dakwaan siapa yang lebih unggul. Sesungguhnya, dasar keunggulan tidak lain
adalah kemuliaan manusia dan ketakwaan individu. Di ayat lain, Alquran
mengatakan,

وَهُوَ
ٱلَّذِي خَلَقَ مِنَ ٱلۡمَآءِ بَشَرٗا فَجَعَلَهُۥ نَسَبٗا وَصِهۡرٗاۗ وَكَانَ
رَبُّكَ قَدِيرٗا ٥٤

 “Dan Dia (pulalah) yang menciptakan
manusia dari air, lalu Dia menjadikan manusia itu (punya) keturunan dan
hubungan kekeluargaan (yang bersumber dari pernikahan, seperti menantu, ipar,
mertua, dan sebagainya),” (QS Al­ Furqan : 54)

Ayat
ini melukiskan hubungan darah dan perkawinan yang mengikat satu individu dengan
individu lainnya dan membentuk pijakan untuk mengidentifikasinya, lantaran
skema penciptaan dirancang untuk tujuan yang logis dan arif. Di tempat lain, Alquran
mengatakan,

أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ
رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ
وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضٗا
سُخۡرِيّٗاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ ٣٢

 

“Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain, dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka
kumpulkan,” (QS Al-Zukhruf : 32).

Ayat  itu memperlihatkan bahwa manusia tidak
diciptakan dengan bakat dan kemampuan yang sama. Sekiranya diciptakan sama,
sudah tentu masing-masing orang mempunyai sesuatu yang dipunyai orang lain dan
tidak mempunyai apa yang tidak dipunyai orang lain. Jika demikian halnya, tentu
saja satu sama lain tidak membutuhkan sehingga pertukaran jasa tidak
berlangsung. Allah menciptakan manusia berbeda-beda bakatnya, kekuatan
fisiknya, kekuatan rohaninya, serta kekuatan emosionalnya. Allah SWT menjadikan
sebagian manusia lebih unggul atas sebagian lainnya dalam hal-hal tertentu,
sementara sebagian lainnya itu sering unggul dalam hal-hal yang lain. Dengan
demikian, seluruh manusia saling bergantung sehingga ada keinginan untuk saling
bekerja sama. Dengan demikian, Allah SWT telah melapangkan jalan bagi
terbangunnya kehidupan sosial manusia.
        
Ayat
di atas mengisyaratkan bahwa kehidupan sosial itu bersifat alamiah. Sekalipun
alamiah, manusia tidak pernah dalam keadaan terpaksa bersosial. Juga, sekiranya
manusia hidup bersosial, itu bukanlah sepenuhnya
  pilihan manusia. Sebab pilihan manusia berada
dalam kendali dari luar dirinya.
  Keadaan
yang tak mungkin dikendalikan manusia ini bersumber dari perbedaan. Perbedaan
yang memang harus dialami manusia. Sekali saja manusia bisa menyatukan
perbedaan-perbedaan itu, ia akan segera menemui struktur perbedaan yang lebih tinggi.
Semakin tinggi dan semakin abstrak. Dan ini adalah wujud kehausan alami manusia
untuk menemukan yang transendental.
 Akhirnya
keyakinan penuh terhadap teori pertama ini tidak cukup direfleksi dari keilmuan
rasional dan empiris saja. Semua akan lebih terasa masuk akal bila kita
berkesadaran mempercayai kekuatan transendental, berikut kewahyuannya.

.

Oleh : Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama Istiqlal dan Universitas PTIQ Jakarta)

2366 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Artikel

Tidak Bisa Mengetik di Word karena "Selection is Locked", Ini Solusinya!

2 Mins read
Kompak – Salah satu masalah yang sering ditemui pengguna Microsoft Word adalah pesan “Selection is Locked” yang muncul saat mencoba mengetik atau…
Artikel

Ingin Rumah Lebih Sejuk? Coba Roster Jogja dari AM Roster

4 Mins read
Mendapatkan rumah yang sejuk merupakan impian bagi setiap orang, terutama di negara tropis seperti Indonesia. Salah satu cara untuk menciptakan suhu udara…
Artikel

Sekolah Bisnis Online dan Konsultan Feasibility Study: Meningkatkan Kualitas Bisnis di Era Digital

4 Mins read
Pendahuluan Di era digital yang terus berkembang, memulai dan mengelola bisnis bukan lagi hal yang sulit. Teknologi internet memberikan akses ke berbagai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights