Abstrak
Tanah Kanaan, yang dijanjikan Allah kepada Abraham, memiliki makna mendalam bagi bangsa Israel sebagai simbol harapan, iman, dan kepercayaan terhadap Tuhan. Keyakinan ini menjadi dasar bagi upaya mereka untuk mengklaim wilayah tersebut, yang dianggap sebagai milik pusaka yang akan menjadi milik abadi bagi generasi penerus mereka. Teks ini juga membahas sejarah penaklukan tanah Kanaan oleh bangsa Israel, yang dimulai dengan janji Allah kepada Abraham dan berlanjut melalui kisah para leluhur dan lima kitab Taurat. Pembahasan ini juga menyoroti signifikansi kepemilikan tanah Kanaan bagi identitas keagamaan bangsa Israel. Konsep Zionisme ini sebagai gerakan politik yang bertujuan mengumpulkan kembali orang-orang Yahudi yang telah berdiaspora dan mendirikan negara Yahudi di Palestina. Teks ini juga membahas upaya Theodor Herzl untuk mendapatkan dukungan Sultan Abdul Hamid II dari Kesultanan Utsmani untuk menyerahkan wilayah Palestina kepada Yahudi, serta konflik yang ditimbulkan oleh penolakan Sultan dan upaya Zionis untuk menggulingkannya. Teks ini juga membahas peran Inggris dalam mendukung Zionisme dan dampaknya terhadap imigrasi Yahudi ke Palestina.
Abstract
The land of Canaan, which God promised to Abraham, had deep meaning for the Israelites as a symbol of hope, faith, and trust in God. This belief became the basis for their efforts to claim the territory, which was considered an inheritance that would remain eternal for their future generations. This text also discusses the history of the conquest of the land of Canaan by the Israelites, which begins with God’s promise to Abraham and continues through the stories of the ancestors and the five books of the Torah. This discussion also highlights the significance of ownership of the land of Canaan for the religious identity of the Israelites. The concept of Zionism is a political movement that aims to reunite Jews who have left the diaspora and establish a Jewish state in Palestine. This text also discusses Theodor Herzl’s efforts to gain the support of Sultan Abdul Hamid II of the Ottoman Empire to hand over the Palestinian territories to the Jews, as well as the conflict caused by the Sultan’s refusal and Zionist attempts to overthrow him. This text also discusses Britain’s role in supporting Zionism and its impact on Jewish immigration to Palestine.
Pendahuluan
Tanah Kanaan memiliki arti penting yang sangat mendalam dalam sejarah bangsa Israel. Sejak janji Allah kepada Abraham, tanah ini menjadi simbol harapan, iman, dan kepercayaan terhadap Tuhan yang setia pada janjinya. Bagi bangsa Israel, Kanaan bukan hanya sekadar wilayah fisik yang harus didiami, tetapi juga tanah yang dianggap sebagai kediaman Tuhan yang menyertai mereka. Keyakinan ini menjadi dasar dari upaya yang kuat untuk mengklaim wilayah tersebut, terutama pada masa kepemimpinan Musa dan Yosua. Kanaan bukanlah tanah yang dimiliki Israel sejak awal, melainkan tanah yang mereka yakini telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada mereka sebagai bagian dari ikatan suci yang terjalin melalui janji Allah kepada Abraham. Mereka percaya bahwa tanah ini adalah milik pusaka yang akan menjadi milik abadi bagi generasi penerus mereka, dan janji inilah yang terus menguatkan mereka dalam perjalanan panjang untuk memperoleh dan mempertahankan Kanaan.
Narasi bahwa Kanaan adalah “tanah yang diberikan” terus diulang-ulang dalam sejarah Israel, menunjukkan adanya kesadaran bahwa tanah itu dulunya bukan milik mereka. Bangsa Israel memandang diri mereka bukan hanya sebagai penduduk baru, tetapi sebagai pemilik sah yang diangkat oleh kehendak Tuhan. Pemahaman ini menanamkan kesadaran mendalam bahwa mereka adalah umat pilihan yang diberi tanggung jawab khusus untuk menjaga tanah yang suci ini. Bagi mereka, Kanaan adalah lebih dari sekadar wilayah geografis. Ini adalah lambang dari perjanjian yang mengikat mereka dengan Tuhan dan menjadi wujud kedekatan spiritual antara Tuhan dan bangsa Israel. Dengan demikian, Kanaan menjadi pusat dari identitas keagamaan mereka, tempat yang menyatukan sejarah, keimanan, dan komitmen mereka kepada Tuhan. Dalam keyakinan mereka, selama mereka setia pada kehendak Tuhan, Kanaan akan tetap menjadi milik pusaka mereka untuk selama-lamanya, sebagai warisan ilahi yang akan terus dipegang oleh generasi ke generasi.
Pembahasan
Tanah Dalam Riwayat Israel
Cerita penebusan Israel dalam Alkitab dimulai dengan janji Allah kepada Abraham. Elemen utama dari janji ini, seperti yang dinyatakan dan diulang dalam kisah para leluhur, adalah bahwa Allah akan memberikan tanah kepada Abraham dan keturunannya. Tanah ini menjadi salah satu elemen sentral dalam rangkaian cerita Perjanjian Lama. Karena itu, saat memperhatikan kisah-kisah dari kitab Perjanjian Lama, terlihat jelas bahwa tema utama sejarah besar dalam lima kitab Taurat, Kitab Yosua, dan kitab para nabi hingga masa pembangunan Kerajaan Daud adalah janji dan pemilikan tanah tersebut.
Kelima kitab Taurat, misalnya, menunjukkan ketegangan mengenai tanah yang dijanjikan. Dari Kitab Kejadian, yang menceritakan janji kepada Abraham dan pengembaraan leluhur Israel di tanah tersebut, hingga Kitab Ulangan yang mengulas kembali riwayat Israel dan perintah untuk setia kepada perjanjian Allah. Kitab Yosua berfokus pada tanah perjanjian itu, mencakup penyerangan, penaklukan, dan pembagiannya. Namun, dalam Kitab Hakim-Hakim, penaklukan tersebut belum tuntas. Tanah perjanjian tetap menjadi medan perjuangan. Samuel, hakim terakhir dan terbesar, berhasil membawa kemenangan bagi Israel selama masa pemerintahannya, namun ketegangan kembali muncul hingga kemenangan Daud yang berkesinambungan dan pemerintahannya yang panjang, sehingga Israel akhirnya dapat hidup tenang dalam wilayah yang aman dari tanah yang dijanjikan itu. Akhirnya, janji tersebut benar-benar terlaksana.
Meskipun tanah itu telah dikuasai, tema tanah tidak hilang dari cerita Perjanjian Lama selanjutnya. Penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di Israel setelah masa Salomo memicu ledakan aktivitas kenabian baru. Salah satu aspek mengejutkan dalam pesan para nabi adalah ancaman pengasingan dari tanah itu. Artinya, kepemilikan bangsa Israel atas tanah Kanaan tetap harus diperhatikan secara serius oleh bangsa Israel sepanjang waktu.
Ini menunjukkan bahwa tema tanah adalah salah satu tema utama dalam Perjanjian Lama. Tanah dalam segala dimensinya janji, penaklukan, pemilikan dan pembagian, penggunaan dan penyalahgunaan, kehilangan dan pemulihan merupakan suatu kesatuan dengan dasar teologis. Bagi Israel, tanah adalah bagian dari pola penebusan, di mana struktur sosial mereka erat kaitannya dengan persoalan ekonomi seputar pembagian, pemilikan, dan penggunaan tanah itu.
Signifikansi Kepemilikan Tanah Kanaan
Sebagaimana telah diuraikan, Israel memiliki tanah untuk didiami karena Allah sudah memberikannya kepada mereka. Tradisi pemberian tanah ini mempunyai implikasiimplikasi yang luas atas pemikiran dan praktik Perjanjian Lama. Wright misalnya menyatakan ada empat implikasi dari hal tersebut. Yang pertama, pemberian tanah itu adalah deklarasi bahwa Israel sama sekali bergantung kepada Allah. Israel tidak boleh menganggap mereka mempunyai klaim apa pun terhadap tindakan Allah demi mereka: mereka sudah dan selalu akan tergantung sepenuhnya pada kasih dan kesetiaan Allah. Yang kedua, pemberian tanah adalah deklarasi bahwa Allah dapat diandalkan, la bukan hanya Allah yang telah memberikan tanah, tapi juga yang akan terus memberikan berkat pemeliharaan kepada Israel.
Yang ketiga, pemberian tanah berfungsi sebagai bukti hubungan antara Allah dan Israel. Israel mengetahui mereka adalah umat Allah karena ia telah memberikan kepada mereka tanah-Nya. Pemberian itu membuktikan hubungan yang terkait kepada perjanjian dengan abraham dan perjanjian Sinai dengan seluruh bangsa itu. Dan keempat, tradisi pemberian tanah yang historis inilah yang menghasilkan hak pemilikan pribadi di Israel. Orang Ismel tidak hanya mengerti tanah sebagai suatu pemberian kepada segenap bangsa itu, melainkan menerobos sampai ke lapisan sosial terendah, sehingga setiap rumah tangga dapat merasakan hak atas tanah yang dimilikinya, dijamin oleh Allah sendiri.
Di samping penjelasan tersebut ada beberapa aspek signifikan lain yang perlu dikemukakan, yaitu:
Penggenapan perjanjian
Kepemilikan tanah Kanaan oleh Israel terkait erat dengan penggenapan janji Allah kepada Abraham. Tanah ini dipahami sebagai “milik pusaka Yahweh,” yang menunjukkan bahwa tanah tersebut dijanjikan dan dipersiapkan oleh Allah untuk Israel. Meskipun tanah itu dijanjikan, kepemilikan Israel bergantung pada ketaatan mereka terhadap hukum Allah. Jika mereka taat, mereka akan diberkati dan tinggal di tanah perjanjian; jika tidak, mereka akan dihukum.
Namun, meskipun ada syarat ketaatan, dasar kepemilikan tanah Kanaan adalah janji Allah kepada Abraham yang bersifat tak bersyarat. Oleh karena itu, kepemilikan Israel atas tanah ini tidak sepenuhnya tergantung pada ketaatan mereka, melainkan pada tindakan Allah yang menggenapi janji-Nya. Dengan demikian, keberadaan Israel di tanah Kanaan membuktikan sifat dan integritas Allah terhadap janji-Nya.
Tempat Perhentian bagi Tuhan dan bagi Bangsa Israel
Tanah Kanaan memiliki signifikansi penting sebagai tempat perhentian bagi Tuhan dan bangsa Israel. Tuhan menjadikan Kanaan sebagai tempat perhentian-Nya, dan Israel dijanjikan ketentraman di tanah tersebut, seperti yang dinyatakan oleh Musa dalam Keluaran 33:14 dan Ulangan 3:20. Konsep “perhentian” berasal dari akar kata yang berarti “berhenti,” yang mencakup ketenangan dari musuh dan penghentian kesedihan di masa depan.
Perhentian ini bukan hanya tempat tinggal fisik bagi Israel setelah pengembaraan, tetapi juga mencerminkan penerimaan janji Allah, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Tanah Kanaan menjadi tempat perhentian rohani dan geografis, yang penting dalam teologi Perjanjian Lama.
Selain itu, Kanaan juga menjadi tempat kediaman Tuhan, di mana kehadiran-Nya dapat ditemukan. Allah memilih Kanaan untuk menyatakan diri-Nya dan memberkati umat-Nya persekutuan yang dinamis dengan mereka. Oleh karena itu, kepemilikan tanah Kanaan sangat penting bagi Israel karena merupakan sarana bagi Allah untuk memelihara hidup mereka dan menggenapi
Identitas dan Iman Bangsa Israel dijaga
Perjanjian Lama menekankan eksklusivitas bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah, yang diperintahkan untuk menjaga kekudusan dan tidak bercampur dengan bangsa-bangsa lain. Identitas Israel sebagai bangsa kudus dan keturunan ilahi terkait dengan rencana Allah untuk memberkati bangsa-bangsa lain melalui mereka dengan Kristus sebagai puncaknya. Oleh karena itu, Israel harus menjaga identitas dan kekudusan mereka untuk memungkinkan rencana Allah tergenapi. Kepemilikan tanah Kanaan menjadi penting karena pemusatan geografis ini menjaga kesatuan identitas dan iman mereka, mencegah mereka tercerai-berai, dan mendukung peran penting mereka dalam rencana keselamatan Allah.
Konsep Zionisme
Zionisme adalah sebuah gerakan politik yang bertujuan mengumpulkan orang Yahudi yang telah berdiaspora selama ribuan tahun untuk kembali ke Palestina. Kata “Zionisme” berasal dari kata “zion” atau “tsyon” yang merujuk pada batu karang di mana Haikal Sulaiman (Kuil Solomon) dibangun, di bukit Zion dekat Yerusalem, kota suci tiga agama. Gerakan Zionisme berlanjut dari gerakan Yahudi sebelumnya yang bertujuan mengakhiri diaspora mereka dan mendirikan kembali negara Yahudi, seperti Gerakan Makkabiy, Bar Kokhba, dan David Robin.
Pada awalnya, Zionisme hanya merupakan cita-cita ideologis, tetapi berkembang menjadi gerakan politik dengan tujuan mendirikan negara Yahudi di Palestina. Nathan Birnbaum mencetuskan ide Zionisme politik, dan Theodor Herzl memperkenalkan konsep Zionisme modern pada akhir abad ke-19. Dalam bukunya Der Judenstaat (1896), Herzl memaparkan rencana pendirian negara Yahudi, bahkan menyarankan pembentukan “Israel Raya” yang terbentang dari sungai Nil hingga Eufrat.
Herzl berupaya membujuk Sultan Abdul Hamid II dari Kesultanan Utsmani, yang menguasai Palestina, untuk menyerahkan wilayah tersebut kepada Yahudi dengan imbalan bantuan keuangan, namun ditolak tegas oleh Sultan. Setelah penolakan ini, Zionis memulai upaya menggulingkan Sultan Abdul Hamid II, dianggap sebagai penghalang utama dalam rencana mereka. Mereka memanfaatkan gerakan Turki Muda dan memicu konflik internal di Kesultanan Utsmani, yang akhirnya membuat Sultan digulingkan.
Dengan dukungan negara-negara Barat, khususnya Inggris, Zionis semakin berhasil menguasai Palestina. Setelah Inggris menguasai Yerusalem pada 1917 dan mandat Inggris atas Palestina disahkan oleh Liga Bangsa-Bangsa, imigrasi Yahudi meningkat drastis, terutama setelah Deklarasi Balfour pada 1917 yang mendukung pendirian “tanah air” Yahudi di Palestina. Setelah Perang Dunia II, isu Palestina diawasi oleh PBB, yang pada 1947 merekomendasikan pembagian wilayah Palestina.
Konflik ini menggambarkan bagaimana Zionisme menggunakan strategi konflik dan konspirasi untuk merebut Palestina, yang akhirnya menjadi akar dari pertentangan politik dan agama terkait penguasaan Yerusalem sebagai “tanah yang dijanjikan” dalam keyakinan Yahudi.
Kesimpulan
Gerakan Zionisme, yang berakar dari keyakinan Yahudi terhadap Tanah Perjanjian (Kanaan), telah menjadi faktor penting dalam sejarah dan identitas bangsa Israel. Keyakinan bahwa Tanah Kanaan adalah warisan ilahi yang dijanjikan kepada Abraham dan keturunannya memberikan dasar spiritual dan moral bagi upaya mereka untuk mengklaim dan mempertahankan wilayah tersebut. Tanah ini bukan hanya sekadar lokasi geografis, tetapi juga simbol harapan, iman, dan hubungan yang mendalam antara bangsa Israel dan Tuhan.
Konflik yang muncul akibat upaya Zionis untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina menunjukkan kompleksitas hubungan antara keyakinan agama dan aspirasi politik. Penolakan Sultan Abdul Hamid II untuk menyerahkan wilayah Palestina kepada Yahudi, serta dukungan Inggris melalui Deklarasi Balfour, memperburuk ketegangan yang sudah ada. Hal ini menciptakan dinamika yang melibatkan berbagai kekuatan politik dan agama, yang terus berlanjut hingga saat ini.
Penting untuk dicatat bahwa konflik ini tidak hanya bersifat politik, tetapi juga melibatkan aspek spiritual dan identitas. Bagi banyak orang Yahudi, tanah yang dijanjikan adalah bagian integral dari identitas mereka sebagai umat pilihan Tuhan. Di sisi lain, bagi masyarakat Palestina, klaim atas tanah tersebut juga memiliki makna yang dalam, terkait dengan sejarah, budaya, dan hak asasi manusia.
Dengan demikian, pemahaman yang lebih dalam tentang kepercayaan Yahudi terhadap Tanah Perjanjian dan konsep Zionisme sangat penting untuk memahami konteks sejarah dan konflik yang ada. Dialog yang konstruktif dan saling menghormati antara berbagai pihak yang terlibat sangat diperlukan untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan. Kesadaran akan keragaman perspektif ini dapat membantu membangun jembatan antara komunitas yang berbeda dan menciptakan ruang untuk rekonsiliasi dan perdamaian.
Akhirnya, kajian ini menyoroti pentingnya memahami sejarah dan konteks keagamaan dalam membentuk identitas dan aspirasi suatu bangsa. Dengan menghargai warisan spiritual dan sejarah yang mendasari klaim atas Tanah Kanaan, kita dapat lebih memahami kompleksitas konflik yang ada dan berkontribusi pada upaya untuk menciptakan masa depan yang lebih damai dan harmonis bagi semua pihak yang terlibat
Daftar Pustaka
Barth, Christoph, and Marie Claire Harth. Teologi Perjanjian Lama 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Bright, John. A History of Israel. 4th Edition. Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2000.
Enns, Paul. (2003). Buku Pegangan Teologi. Literatur SAAT, Malang. hlm. 57-58.
Enns, Paul. (2003). Teologi Perjanjian Lama. Literatur SAAT, Malang. hlm. 170.
Howard, David M. Ir. (2002). Kitab-Kitab Sejarah Dalam Perjanjian Lama. Gandum Mas, Malang. hlm. 113.
Howard, David M. Ir. (2002). Kitab-Kitab Sejarah Dalam Perjanjian Lama. Gandum Mas, Malang. hlm. 112.
Kaiser, Walter C. Jr. (2007). “Panggilan Misioner Israel.” Dalam Misi Menurut Prespektif Alkitab. Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta. hlm. 41.
Maulani, ZA. Zionisme: Gerakan Menaklukan Dunia. Jakarta: Daseta, 2002.
Satrianingsih. “Sejarah Zionisme dan Berdirinya Negara Israel”. 2016.
Simanjuntak, Fredy., Sianipar, Ronald., & Sihombing, Agustinus. (2019). “Menelusuri Sejarah Perjalanan Misi Nomaden Bangsa Israel.” Real Didache, 4(2), 1-24.
Wright, Christopher JH. Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Anisa Dwi Okta Vinanda (07020223016)
Grace Alexandra Renata S (07040223054)