Kepemimpinan perempuan dalam Islam adalah tema yang kerap dibahas oleh masyarakat luas. Dalam sejarah Islam, ada banyak contoh wanita yang memiliki peran penting dalam berbagai bidang kehidupan, seperti sosial, politik, dan keagamaan.
Meski begitu, debat tentang kepemimpinan perempuan masih berlangsung karena adanya penafsiran yang berbeda atas hukum-hukum agama. Selain itu, nilai-nilai akhlak mulia merupakan landasan utama untuk semua orang yang menjabat sebagai pemimpin, termasuk para perempuan.
Tidak dapat disangkal bahwa perempuan adalah bagian penting dari masyarakat. Meskipun secara biologis perempuan berbeda dari laki-laki, hak dan kewajiban mereka sebagai manusia adalah setara. Oleh karena itu, keberadaan perempuan bukan hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki, melainkan sebagai mitra sejajar dalam berbagai aspek kehidupan, baik di ranah domestik seperti rumah tangga maupun di ranah publik.
Perempuan sering kali diasosiasikan dengan tiga hal: sumur, dapur, dan kasur. Pandangan ini telah mengakar dalam pikiran sebagian orang, terutama laki-laki. Mereka beranggapan bahwa tidak ada gunanya perempuan mengejar pendidikan tinggi jika pada akhirnya hanya mengurus suami dan tinggal di rumah.
Namun, penting untuk dipahami bahwa hal ini sangat tergantung pada niat masing-masing perempuan. Sebenarnya, alasan perempuan perlu mendapatkan pendidikan tinggi adalah karena mereka berperan sebagai Madrasatul Ummah.
Ibu adalah tempat pertama seorang anak belajar tentang banyak hal. Perempuan memiliki peran penting dalam mendidik anak dan mengelola rumah tangga, terutama ketika suami tidak ada atau sedang bekerja mencari nafkah. Inilah esensi dari pentingnya perempuan menuntut ilmu.
Kita sering kali mengasosiasikan perempuan dengan sifat-sifat yang lemah, lembut, emosional, dan mudah tersentuh. Sementara itu, laki-laki digambarkan sebagai sosok yang kuat, berani, bertanggung jawab, dan rasional.
Pandangan seperti ini menciptakan kesan bahwa perempuan adalah makhluk Tuhan yang perlu dilindungi dan selalu bergantung pada laki-laki. Akibatnya, perempuan jarang memiliki kesempatan untuk tampil sebagai pemimpin, karena mereka sering terpinggirkan oleh dominasi laki-laki yang bersifat chauvinistik.
Sebagai seorang perempuan tidak ada salahnya menanamkan angan serta cita-cita menjadi seorang pemimpin, karena ini memang hal yang wajar dan tidak ada yang bisa menyalahkan. Bahkah Allah SWT dalam kitab sucinya berfirman :
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dari pernyataan di atas, sangat jelas bahwa setiap individu, baik pria maupun wanita, memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Namun, istilah pemimpin di sini memiliki beragam makna dan ruang lingkup yang luas. Seorang wanita dapat menjadi pemimpin dalam berbagai bidang, seperti pemerintahan, pendidikan, keluarga, bahkan sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri.
Memimpin diri sendiri adalah hal yang sangat penting. Kita masih memiliki tanggung jawab yang harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan penuh amanah. Sesuai dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, yang menyatakan: “Setiap orang di antara kalian adalah pemimpin, dan setiap orang bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (Hadits Riwayat Ibn Abbas).
Berdasarkan konsep tersebut, tidak ada satu konsep pun dalam Al-Quran yang mencegah wanita dari menjadi seorang pemimpin. Sebenarnya, Allah SWT juga menyebabkan umat manusia harus memiliki sifat pemimpin baik bagi laki-laki maupun wanita.
Salah satu topik yang kerap dibahas saat membincangkan wanita adalah apakah mereka dapat menjadi pemimpin sebuah grup yang terdiri dari mayoritas laki-laki. Pembicaraan terkait kepemimpinan wanita di Indonesia semakin hangat setelah Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri sebagai Presiden. Banyak orang yang menolaknya bukannya karena meragukan kemampuannya untuk memimpin, tetapi lebih karena alasannya yaitu jenis kelaminya sendiri.
Meskipun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin oleh Megawati berhasil meraih suara terbanyak dalam Pemilu 1999, hal itu tidak menjamin Megawati untuk menjadi Presiden. Beberapa ulama menentang pencalonannya, bahkan di kalangan ulama NU terjadi perpecahan dalam diskusi mengenai kemungkinan wanita menjadi pemimpin.
Bagi sebagian orang yang menentang perempuan sebagai pemimpin, hal ini disebabkan oleh pemahaman mereka terhadap surah An-Nisa’ ayat 34, yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pelindung bagi perempuan dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
Mereka beranggapan bahwa Allah telah memberikan kelebihan kepada laki-laki dibandingkan perempuan, serta karena laki-laki bertanggung jawab memberikan nafkah. Pemahaman ini melahirkan doktrin bahwa perempuan tidak berhak menjadi pemimpin, dan hanya laki-laki yang dianggap layak untuk mengisi posisi kepemimpinan. Akibatnya, perempuan mengalami kesulitan dalam memperoleh posisi di dunia politik.
Perempuan juga memiliki hak dalam kehidupannya, dan masih ada harapan untuk mereka menjadi pemimpin. Namun, banyak forum yang meragukan kemampuan perempuan dalam peran tersebut, karena mereka tetap berpegang pada Surah An-Nisa’ ayat 34.
Allah SWT tidak membedakan hamba-Nya; perempuan diciptakan untuk menjadi khalifah atau pemimpin di bumi ini. Dalam Islam, perempuan diberikan kesempatan untuk berkarir dan menuntut ilmu setinggi-tingginya. Tujuannya adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, sehingga mereka dapat mendidik anak-anak mereka menjadi Muslim yang sejati.
Pada dasarnya, perempuan mencari ilmu untuk mempersiapkan kehidupan berkeluarga di masa depan. Dari perspektif ormas NU, perempuan juga didukung dalam hal kepemimpinan, asalkan mereka tidak melupakan tanggung jawab domestik dan publik, termasuk menjaga keharmonisan rumah tangga mereka.