Penulis: Roma Wijaya*
Biografi Mustafa Al-Siba’I
Nama lengkapnya adalah Mustafa bin Husni al-Siba’i. Dilahirkan di kota Hims, Syiria pada tahun 1915. Ia lahir dalam keluarga ulama, ayah dan kakeknya merupakan khatib terkenal di masjid Raya Hims. Kemudian beliau dikenal sebagai seorang tokoh gerakan Islam yang ‘alim dan faqih (Abha, 2012, p. 167).
Ayahnya bernama Husni al-Siba’i seorang pengajar baik fiqih Islam di sekolah Hanafi, beliau berjuang untuk melawan paham Imperialisme dan melawan penjajah Perancis. Mustafa Al-Siba’I adalah seorang pemikir politik Syiria, pendidik, dan penulis.
Pada tahun 1933, ketika berusia delapan belas tahun, beliau meneruskan pendidikannya ke Universitas al-Azhar, selama di sana beliau pernah bertemu dengan Hasan al-Banna. Beliau mengambil spesialisasi fiqih, kemudian mengambil ushuluddin, dan meraih ijazah dengan yang memuaskan (Campo, 2009, p. 507).
Pada tahun 1949 beliau mendapat predikat Doktor di bidang syari’ah Islamiyah dengan summa cumlaude. Disertasinya diberi judul “al-Sunnah wa Makanatuha Fi al-Tasyri”. Dalam disertasinya tersebut beliau menyaggah segala bentuk pemikiran tentang kedudukan sunnah sebagai syari’ah Islam seperti yang dikembangkan oleh Abu Rayyah, Taufiq Shiddiq, dan Ahmad Amin serta para Orientalis (Abha, 2012, p. 168).
Selama al-Siba’I mengenyam di Mesir, beliau bersama teman-temannya ikut berartisipasi dalam unjuk rasa menentang penjajah Inggris, tapi beliau berhasil disekap oleh penjajah Inggris selama 3 bulan, kemudian dipindahkan ke Palestina selama 4 bulan. Setelah itu beliau dibebaskan dengan syarat tidak boleh kembali ke Mesir Karena sudah dianggap sebagai pemberontak penjajah Inggris.
Kejadian tersebut terjadi pada tahun 1940, ketika itu sedang mengerjakan tugas disertasinya di sana. Beliau juga aktif dan memiliki kemampuan dalam bersosial serta mapan dalam beberapa oraganisasi sosial (Abha, 2012, pp. 169–170).
Kebebasannya menunjukkan pelanjutan dari perjuangannya, ketika beliau menjadi guru di sekolah. Kemudian beliau pindah ke Damaskus karena dia didekatkan dengan politik centre di sana. Selama itu juga beliau menyadari bahwa butuh tempat pendidikan yang tepat untuknya.
Beliau bersama rekan-rekannya mendirikan Al-Ma`ahad al-Arabi al-Islami, sebuah tempat privat institute pengajar dari mulai TK/Playgroup sampai SMA yang dilengkapi dengan fasilitas bagi anak laki-laki dan perempuan. Secara bertahap memiliki cabang di beberapa tempat yaitu Damaskus dan kota syiria yang lain.
Kurikulumnya mengikuti standar nasional juga merupakan tempat kajian Islam. Pada hari Sabtu 3 Oktober 1964, tepat jatuh pada 27 Jumadil Ula 1384 H, pada usia 49 tahun, al-Siba’i menghembuskan nafas terakhirnya (Abha, 2012, pp. 171–172).
Al-Siba’i memiliki karya cukup banyak yaitu Mawsoo`ah al-Fiqh al-Islami, Ishtirakiyat al-Islam (Islamic Socialism), Ishtirakiyat al-Islam (Islamic Socialism), Sharh Qanoon al-Ahwal al-Shakhsiyyah, Al-Mar’ah bayn al-Fiqh wa al-Qanoon, Min Rawa’i` Hadaratina, (Glorious Aspects of Our Civilization), Akhlaquna al-Ijtima`iyyah, Al-Sunnah Wa Makanatuha Fi Tasyri’, Hakada ‘Allamatni Al-Hayah Al-Sirah An-Nabawiyyah Durus Wa ‘Ibar, ‘Udhama ’Una Fi At-Tarikh, Al-Din Wa Ad-Daulah Fi Al -Islam, Jihaduna Fi> Falistin, dan Man Hajuna Fi-Islah (Abha, 2012, p. 172).
Kedudukan Sunnah menurut al-Siba’i
Menurut beliau Sunnah secara etimologi adalah Tariqoh Mahmudah (jalan terpuji) atau madmumah (tercela). Sedangkan menurut terminologi Sunnah adalah segala sesuatu yang melekat dalam diri Nabi Muhammad saw baik itu perkataan, perbuatan, takrir/ketentuan, sifat khalqiyah, kholqiyah, dan sirah, sama juga ketika Nabi sebelum diangkat dan setelahnya. Pengertian tersebut merupakan pengertian dari hadits juga dari sebagian ‘Ulama (Siba’I, n.d., p. 53).
Pada masa Nabi, para sahabat memahami hukum-hukum syara’ langsung dari Alqur’an. Kebanyakan ayat-ayat Alqur’an itu turun secara garis besar dan tanpa ada perinciannya. Terkadang ayat-ayat itu turun dalam bentuk umum mutlaq, tanpa adanya batasan. Oleh karena itu, wajib kembali kepada Nabi saw untuk mengetahui hukum-hukum/ketentuan yang global secara rinci dan jelas (Abha, 2012, p. 174).
Seperti Sunnah qaul Rasul adalah segala sesuatu yang disampaikan oleh Nabi dalam berbagai kesempatan (hubungan) berkaitan dengan syari’at hukum contoh hadis yang berbunyi “إنّما الأعمال بالنيات “(segala bentuk perbuatan tergantung kepada niatnya), Sunnah fi’ilnya adalah sesuatu yang dinukil oleh para sahabat dari segala perbuatan Nabi SAW dalam urusan ‘ibadah dan lainnya.
Contoh perihal terkait pelaksanaan salat, manasik haji, etika berpuasa, dan pembuatan keputusan berdasarkan adanya saksi dan sumpah, dan sunnah taqrir adalah sesuatu yang ditetapkan oleh Rasul saw dari perbuatan benar yang dipandang dari sebagian sahabat dengan cara mendiamkannya disertai dengan kerelaan atau memperlihatkan pujian dan dukungan terhadap perbuatan sahabat (Siba’I, n.d., pp. 53–54).
Terdapat perbedaan dari pengertian Sunnah, disebabkan oleh perbedaan mereka dalam tekanan mengenai tujuan yang diinginkan oleh masing-masing kelompok ahli ilmu maupun yang lainnya (Siba’I, 1993, p. 3). Sunnah yang dimaksudkan oleh dirinya adalah sesuai dengan pokok-pokok agama.
Al-Siba’i memandang bahwa Sunnah merupakan sumber hujjah dan memiliki kedudukan untuk menetapkan syari’at, meskipun demikian al-Si’ba’I juga akan mengemukakan hal-hal yang perlu dibuktikan keotentikan Sunnah secara historis untuk mengetahui detail sebuah hadits (Siba’I, 1993, pp. 3–4).
Dia pun mengutip perkataan dari asy – Syafi’i yang mengatakan bahwa istilah bayan tertera dalam QS. an – Nahl 16 : 89
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ شَهِيْدًا عَلَيْهِمْ مِّنْ اَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيْدًا عَلٰى هٰٓؤُلَاۤءِۗ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ ࣖ
89. (Ingatlah) hari (ketika) Kami menghadirkan seorang saksi (rasul) kepada setiap umat dari (kalangan) mereka sendiri dan Kami mendatangkan engkau (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.
Menerangkan prinsip-prinsip dan juga cabang cabangnya. Alqur’an sewaktu-waktu memberikan ajaran yang rinci, sehingga tidak memerlukan penjelas, namun sisi lain juga Alqur’an mengandung ajaran-ajaran universal, sehingga memerlukan sebuah bayan. Hal tersebut dapat ditemukan penjelasannya dalam sunnah Nabi SAW, karena sunnah merupakan hujjah menjadi sumber islam yang kedua (Juynboll, n.d., pp. 14–15).
Referensi
Abha, M. M. (2012). Yang Membela dan Yang Menggugat (II). SUKA PRESS.
Campo, J. E. (2009). Enclopedia of Islam. Facts on File.
Juynboll, G. H. A. (n.d.). Kontroversi Hadis di Mesir (1890 – 1960) (I. Hasan (trans.)). Mizan.
Siba’I, M. al –. (n.d.). As-Sunnah wa Makanatuha fil Tashri’ al-Islamiy man asy-Syirq wa al-Maghrib. Man asy-Syirq wa al-Maghrib.
Siba’I, M. al –. (1993). Sunnah dan Penerapannya Dalam Penetapan Hukum Islam (N. Madjid (trans.); II). Pustaka Firdaus.
*) Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang. Minat Kajian: Tafsir, Hadis, Sejarah, Pemikiran Islam, Gender