Artikel

Makna Halal Bihalal Menurut Prof Muhammad Quraish Shihab

3 Mins read

Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab menjabarkan mengenai makna Halal bihalal. Menurutnya, Halal bihalal adalah kata majemuk
yang terdiri atas pengulangan kata halal, diimpit oleh satu huruf (kata
penghubung) “ba’. Kalau kata majemuk tersebut diartikan seperti yang
ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni acara maaf memafkan pada hari
lebaran, maka dalam halal bihalal terdapat unsur silaturahim.

Silaturahim

Silaturahim adalah kata majemuk yang
terambil dari kata bahasa Arab “shilat” dan “rahim”. Kata “shilat
berakar dari kata “washl” yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”.
Ini berarti hanya yang terputus dan terserak yang dituju oleh “shilat
itu. Sedangkan kata “rahim” pada mulanya berarti “kasih sayang”,
kemudian berkembang, sehingga berarti pula “peranakan (kandungan)”,
karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang. Salah satu
bukti yang paling kongkrit tentang silaturahim yang berintikan rasa rahmat dan
kasih sayang itu adalah pemberian yang tulus. Karena itu kata “shilat
diartikan pula dengan “pemberian” atau “hadiah”.

Rasulullah Muhammad shallallahu
alaihi wasallam
, mendefinisikan orang yang bersilaturahim dengan sabda
beliau : “laysa al-muwashil bil mukafi’ wa lakin al-muwashil’an tashil man
qatha’ak
” yang artinya “Bukanlah bersilaturahim orang yang membalas
kunjungan atau pemberian tetapi yang bersilaturahim adalah yang menyambung apa
yang putus” (Hadis Riwayat Imam Bukahri).

Halal Bihalal

Kita tidak menemukan dalam Al-Qur’an
atau Hadis suatu penjelasan tentang arti Halal bihalal. Istilah itu khas dari
Indonesia. Istilah Halal bihalal dapat memberikan tiga arti yang berbeda atau
paling tidak, salah satunya dapat mempunyai arti yang lebih dalam daripada arti
yang dikandung oleh dua pengertian lainnya. Perbedaan tersebut timbul akibat
perbedaan posisi berpijak atau, boleh jadi, juga akibat perbedaan disiplin ilmu
tempat seseorang memandang.

Baca...  Mengarungi Makna Kecantikan & Kesalehan

Kalau berbicara dari segi hukum,
kita dapat berkata bahwa kata “halal” adalah lawan kata “haram”. Haram adalah
sesuatu terlarang . Dalam konteks Halal bihalal dari tinjauan hukum, menjadikan
sikap kita yang tadinya haram atau tadinya berdosa menjadi halal atau tidak
berdosa lagi. Tetapi jika ditinjau dari segi hukum, pendapat ini mempunyai
kelemahan karena apakah yang dimaksud Halal bihalal menurut tinjauan hukum itu
adalah adanya hubungan yang halal walaupun didalamnya terdapat pula yang Makruh
? dari segi kebahasan Makruh artinya sesuatu yang tidak diinginkan. Dengan
demikian jika Halal bihalal diartikan dari segi tinjauan hukum maka tidak
mendukung terciptanya hubungan yang harmonis.

Dari segi linguistik (kebahasaan),
makna Halal bihalal adalah menyelesaikan problem atau kesulitan, meluruskan
benang kusut atau mencairkan yang beku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
Kalau kita pahami Halal bihalal dari segi kebahasaan maka seakan-akan kita
menginginkan sesuatu yang mengubah hubungan kita dari tadinya keruh menjadi
jernih dan dari yang terikat menjadi bebas, walapaun hal itu belum tentu haram.

Sepanjang penelitian penulis (Prof
Dr. Muhammad Quaraish Shihab), dalam Al-Qur’an terdapat kata “halal”, halal yang
terdapat dalam enam ayat dan berada dalam lima surah. Dua diantaranya
dirangkaian dengan kata “haram” dan “kecaman” seperti Q.S An-Nahl ayat 116 dan
Q.S Yunus ayat 59. Sedangkan keempat sisanya selalu dikaitkan dengan “kulu
(makan)” dan “thayibbah (yang baik)”. Allah berfirman : “ Fa kulu mimma
ghanimtum halalan thaiyyiba
” (Q.S 8:69”.

Prof.Dr. ‘Abdul Halim Mahmud
memahami kata “makan” pada firman Allah yang berbunyi : “Wa la ta’kulu mimma
lam yudzkar ismu Alllah ‘alayh
” (Janganlah makan sesuatu yang tidak disebut
nama Allah didalamnya), merupakan sebagai larangan makan dan melakukan
aktivitas apa saja yang tidak didasari oleh keridhaan Allah.

Baca...  Memetik Nilai Sosial Puasa Ramadan

Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi
menyenangkan. Ini menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut dari
seseorang untuk memafkan orang lain tetapi lebih dari itu yakni berbuat baik
terhadap orang yang melakukan kesalahan terhadapnya.

Dan dari sini dapat dipahami mengapa
Al-Qur’an dari 18 kali, Allah menyebutkan cinta-Nya terhadap orang yang
memiliki sifat-sifat terpuji dengan menggunakan kata “Yuhibb” di lima
tempat diantaranya ditujukan kepada Al-muhsinin (orang-orang yang
memperlakukan orang lain lebih baik daripada perlakukan orang itu diatasnya atau
berbuat baik kepada orang yang bersalah dan berbuat baik atas orang yang
berbuat baik.

Dari sini kesan Halal bihalal bukan
saja menuntut agar seseorang memafkan orang lain tetapi juga agar berbuat baik
terhadap siapapun. Itulah landasan filosofis dari semua aktivitas manusia yang
dituntut Al-Qur’an dan itu juga yang harus menjadi landasan filosofis bagi
setiap orang yang melakukan halal bihalal. Hakikat yang dituju Halal bihalal
bukan saja saat Idul Fitri tetapi setiap saat menyangkut aktivitas manusia.

Maaf-memafkan

Baik silaturahim dan Halal bihalal
dituntut untuk saling memafkan. Kalau merujuk pada Al-Qur’an 3:134 akan
ditemukan bahwa seorang Muslim yang bertakwa dituntut atau dianjurkan untuk
mengambil satu dari tiga sikap : menahan amarah, memafkan dan berbuat baik
terhadapnya. Kata “Maaf” berasal dari Al-Qur’an yaitu “Al-Afwu” yang
berarti menghapus, karenanya memafkan artinya menghapus bekas-bekas luka
dihatinya.

Berdasarkan teks-teks keagamaan,
para pakar menuntut dari seseorang yang memohon maaf dari orang lain agar
terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak melakukannya lagi.
Adakah peringkat lebih tinggi daripada al-afwu ? ada,yaitu al-shafhu artinya
kelapangan. Orang yang mencapai al-shafhu yaitu orang yang melapangkan dadanya sehingga
mampu menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.Ar-Ragib al-Asfahani
menyatakan bahwa Al-safhu lebih tinggi nilainya daripada memafkan karenanya
buka lembaran baru dan tutup lembaran lama. Wujudkan sikap Ihsan karena itulah
yang paling disukai Allah.

Baca...  Jabir Bin Hayyan: Ilmuwan Farmasi Muslim Pada Masa Keemasan

2363 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Artikel

Sekolah Bisnis Online dan Konsultan Feasibility Study: Meningkatkan Kualitas Bisnis di Era Digital

4 Mins read
Pendahuluan Di era digital yang terus berkembang, memulai dan mengelola bisnis bukan lagi hal yang sulit. Teknologi internet memberikan akses ke berbagai…
Artikel

Konsultan Feasibility Study (FS) dan Jasa Pembuatan Feasibility Study: Panduan Lengkap

4 Mins read
Pendahuluan Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, pengambilan keputusan yang tepat menjadi kunci untuk memastikan keberhasilan suatu proyek. Salah satu tahapan yang…
Artikel

Ajaran Berniaga dalam Islam di Era Digital: Memaksimalkan Potensi dengan Pasarino

1 Mins read
Dalam era digital yang semakin pesat, dunia bisnis mengalami transformasi yang signifikan. Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights