Kita tahu Majelis Ulama Indonesia pernah mengeluarkan fatwa yang mengundang kontroversi di tengah masyarakat, yaitu tentang haramnya pluralisme agama. Pertanyaannya adalah apa sebenarnya pluralisme agama?
Penting diketahui bahwa sebenarnya pluralisme agama didasarkan pada sebuah fakta bahwa di planet bumi bukan hanya ada satu agama, melainkan dihuni oleh beragam agama, ada Islam, Yahudi, Hindu, Kristen, Buddha, Konghucu dan lainnya.
Lalu bagaimana cara kita menyikapi pluralitas agama ini? Sekurang-kurangnya ulama terbagi pada tiga kategori pemikiran. Pertama, ada ulama yang berfikir ekslusif. Ulama seperti ini berargumen bahwa hanya agama dirinya yang benar, sementara yang lain salah. Hanya agama dirinya yang berada di dalam jalan keselamatan dana agama yang lain di dalam kesesatan.
Pandangan seperti ini bukan hanya ada di dalam Islam, tetapi juga berada di luar Islam. Sekelompok orang di dalam agama Kristen mengatakan bahwa Kristenlah agama yang benar dan yang lain salah.
Tentu saja, pendapat ini didasarkan pada sebuah pernyataan Yesus Kristus ketika dia berkata tidak ada jalan keselamatan kecuali melalui aku, dan jalan keselamatan itu adalah aku. Inilah yang kemudian menimbulkan satu pandangan bahwa di luar ke Kristenan adalah kesesatan.
Tak hanya itu, pendapat ini juga menghuni pemikiran sebagian umat Islam dengan berkata bahwa hanya Islam agama yang benar dan di luar Islam adalah keliru. Dasarnya adalah Alqur’an surat Ali Imran ayat 19:
Kedua, ulama yang berfikir inklusif. Ulama seperti ini mengatakan bahwa Islam adalah agama yang benar, akan tetapi tidak menutup pintu bahwa ada kebenaran dari pihak yang lain. itu sebabnya, orang seperti Muhyiddin Ibnu Arabi pernah berkata bahwa sang sufi melihat Tuhan bukan hanya di Ka’bah dan di Masjid, melainkan para sufi juga melihat Tuhan di Gereja dan Kuil. Ini sebagai bukti bentuk pengakuan dari Ibnu Arabi bahwa keselamatan dan kebenaran bukan hanya ada di dalam Islam, akan tetapi juga berada di luar Islam.
Pemikir lain seperti Inayat Khan, pendiri Ordo Sufi Barat, mengatakan bahwa kebenaran memang satu. Akan tetapi, kebenaran kemudian dibagi secara habis kepada seluruh agama-agama yang lain.
Ahmad Amin salah seorang sejarwan Mesir mengatakan bahwa, agama-agama yang banyak ini sebenarnya adalah jalan-jalan menuju Tuhan. Yang satu memiliki keunikan tersendiri, dan yang lain juga memiliki keunikan tersendiri. Karena itu, menurut pandangan ulama yang inklusif bahwa seluruh agama sama. Ia adalah jalan-jalan menuju Tuhan.
Ingin keluar dari jebakan dan perdebatan teologis yang seperti ini, maka muncullah ulama yang pluralis. Ia mengatakan bahwa di dunia ini ada banyak agama. Jangan di dunia, di Indonesia saja sudah banyak agama.
Cara mereka mengatasi perbedaan agama-agama ini bahwa pluralitas adalah niscaya; yang satu memiliki jalan tersendiri dan tidak boleh disamakan dengan jalan yang lain. Kelompok pluralis tidak ingin masuk dan memvonis kelompok agama orang lain.
Jika ekslusif menyatakan bahwa agama yang paling benar adalah agama dirinya, sementara kelompok inklusif menyatakan ada kebenaran dari agama lain sekalipun mereka tidak membaca syahadat, maka kelompok pluralis tidak masuk ke dalam soal teologi. Dengan demikian, agama yang satu tidak boleh disamakan dengan yang lain.
Tak keliru jika dikatakan bahwa tiga pandangan ini hidup dan berkembang dilingkungan masyarakat beragama. Tentu, yang sangat berbahaya adalah pandangan ekslusif yang berkata bahwa agama dirinya yang paling benar.
Suatu saat, jika pandangan ini tereksternalisasi di dalam tindakan, kemudian dari ungkapan Islam agama dirinya yang paling benar sampai berujung diskriminasi kepada orang berbeda agama dengan dirinya, maka kemungkinan besar akan menjadi malapetaka dan problem di dalam kehidupan masyarakat yang plural.
Lima cara memahami pluralisme dengan benar
Pertama, pluralisme bukan hanya sekedar mengakui pluralitas atau keberagaman. Sebab, jika hanya mengakui pluralitas maka itu tidak mungkin membawa efek postitif di dalam kehidupan masyarakat.
Artinya, pluralisme adalah adanya keinginan untuk menerima dan mengakui keberagaman yang ada dimasyarakat. Pengakuan akan penerimaan ini sangat penting. Karena itu, prinsip di dalam pluralitas adalah, sekali lagi, mau mengakui dan menerima keberagaman serta perbedaan yang ada di dalam masyarakat.
Kedua, memahami pluralisme bukan sekedar toleransi, melainkan mau mengetahui dan belajar secara mendalam tentang apapun itu. Sebab, pengetahuan dan pemahaman bisa mengantarkan kita untuk bukan saja menghormati perbedaan, akan tetapi mau memberikan perlindungan kepada mereka yang berbeda dan tidak sepaham dengan kita.
Ketiga, pluralisme bukan sinkritisme. Dengan kata lain, pluralisme bukan berarti ingin mencampuradukan berbagai agama dan kepercayaan yang berbeda (sekalipun pengakuan terhadap eksistensi perbedaan itu penting), akan tetapi perbedaan itu tidak menjadikan kita untuk memusuhi, terlebih menegasikannya. Termasuk, dengan adanya perbedaan juga tak menghalangi komunikasi dan kerjasama kepada mereka.
Keempat, pluralisme bukan relatifisme. Tentu saja, kita tidak ingin menghilangkan eksistensi dari agama atau ajaran yang sudah ada. Kelima, pluralisme selalu dilandaskan kepada sebuah dialog.
Karena itu, dalam konteks pluralisme agama, dialog agama menjadi sangat penting. Artinya, dialog agama bukan hanya sekedar formalitas dan berbicara antara satu dengan yang lain, melainkan membangun aksi kongkrit dan mengedepankan kerjasama di dalam kehidupan bermasyarakat. Pluralisme adalah satu-satunya jalan bagi masyarakat yang heterogen seperti Indonesia untuk mencapai perdamaian dalam arti yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bisshawab.