Ilustrasi Empiris (Sumber gambar: RumusRumus.com) |
KULIAHALISLAM.COM – Sebenarnya Ateis bisa mudah memahami jalan pikiran Teis, dan demikian pula teisme bisa mudah memahami jalan pikiran kelompok ateisme. Apabila mereka telah paham benang merah cara berpikir manusia.
Jalan berpikir manusia itu dipengaruhi banyak hal, ada cara pandang, filosofi, kacamata yang dipakai termasuk kepercayaan dll. Itu hal-hal prinsip dibalik jalan berpikir seseorang, tetapi karakter cara berpikir itu ada yang bisa kita raba.
Pertikaian sangat panjang dan berbelit antara teisme dengan ateisme. Kalau dianalisis masalahnya bukan tidak ada yang bisa diurai secara sederhana yaitu karena perbedaan cara berpikir.
Intinya teisme lebih mengedepankan cara berpikir logis dan ateisme lebih mengedepankan cara berpikir empiris. Logis artinya bisa masuk atau dipahami akal, sedangkan empiris artinya bisa dialami secara indrawi.
Mungkin ada yang bingung dengan definisi seperti itu karena dua pihak sering memvonis lawan masing-masing sebagai pihak yang tidak menggunakan akal sehat, penalaran, dan logika.
Nah bila terjadi saling vonis seperti itu tinggal kembali ke prinsip dasar apa itu makna “logis” dan apa itu makna “empiris” atau apa itu “yang bisa masuk akal atau dipahami akal” dengan apa itu “bisa dialami secara indrawi.” Karena absurd bila memvonis “tidak logis” tapi prinsip yang dipakai adalah prinsip empiris.
Teisme punya alasan mengapa mereka mengedepankan cara berpikir logis—pemahaman akal, karena mereka melihat bahwa mustahil keseluruhan realitas itu bisa masuk kedalam pengalaman indra manusia.
Maka akal muncul sebagai alat berpikir yang melampaui keterbatasan indra khususnya ketika manusia menggumuli persoalan metafisik yang sudah ada diluar pengalaman indrawi.
Dalam filsafat dan agama peran akal—cara berpikir akal—akan lebih dominan karena dua institusi itu banyak bicara hal-hal yang diluar pengalaman indrawi. Sedangkan dalam sains cara berpikir empiris tentu yang bakal lebih dominan.
Persoalan lebih serius bila orang ikut masuk menggumuli persoalan metafisik, tapi cara berpikir yang dipakai masih selalu cara berpikir empiris. Masuk ke dunia filsafat serta agama tapi prinsip yang dipakai masih selalu prinsip-prinsip sainstifik.
Dan lebih parah lagi adalah membuat penghakiman terhadap proposisi-proposisi metafisik dengan hanya mengandalkan cara pandang serta prinsip empiristik.
Maka saya bikin artikel ini sekadar untuk mengingatkan bahwa dunia serta persoalan materi dengan non materi itu berbeda, dan cara menyikapi serta mengelolanya pun akan berbeda.
Dalam keterangan diatas intinya saya menyimpulkan tak wajar kalau menyikapi persoalan-persoalan metafisik tapi hanya tetap mau memakai prinsip dan kaidah-kaidah ilmu fisika.
Untuk itu kita buat dulu contoh sederhana, di dunia ini ada kebaikan dan kejahatan, orang jahat dan orang baik, orang yang menganiaya dan dianiaya dan ateispun pasti tahu bahwa mustahil semua pelaku kejahatan itu bisa diadili secara sempurna semasa mereka hidup.
Karena banyak yang dengan beragam cara dan sebab bisa lolos dari pengadilan dunia. Nah teisme berpikir logis—rasional dalam menyikapi wahyu tentang pengadilan akhirat dengan menganggap bahwa ideal, pantas, sesuai hukum. Sebab akibat bila pelaku kejahatan yang tak sempat diadili itu lalu diadili disebuah pengadilan illahi yang mustahil bisa dicampuri kepentingan manusia.
Sedang ateis berpikir empiris dengan selalu mempertanyakan bukti empiris keberadaan alam akhirat. Lalu terjadi saling vonis, ateis memvonis tidak rasional karena mempercayai sesuatu yang tidak bisa di empiriskan.
Sedangkan teisme memvonis ateis tidak berakal dalam hal ini karena tidak mau mengkaji argumentasi serta prinsip sebab akibat dibalik keharusan adanya pengadilan Tuhan.
Nah konfrontasi antara dua karakter cara berpikir tersebut berlanjut pada persoalan-persoalan metafisik. Khususnya, yang lebih rumit dan teisme selalu berupaya mencari atau memuarakan pada konklusi akali, argumen rasional, sedang ateis selalu mempermasalahkan fakta empiris.
Sebenarnya dua cara berpikir ini adalah SDM atau potensi manusiawi, keduanya baik, benar, bermanfaat dan harus dipakai tapi tentu harus dipahami peruntukannya. Kapan cara berpikir empiris mesti dikedepankan dan kapan cara berpikir rasional yang mesti dikedepankan.
Karena sekali lagi, ilmu pengetahuan manusia itu betapapun sangat majunya tetap akan berhadapan dengan persoalan yang intinya sama; fisik dan metafisik. Tak bisa salah satunya dihilangkan hanya demi mengedepankan prinsip dan cara berpikir empiris.
Ketika mengelola obyek benda-benda dunia materi (ranah sains) maka cara berpikir empiris tentu yang mesti dikedepankan dan berpikir logis hanya jadi alat bantu. Sebaliknya ketika mengelola persoalan metafisik maka berpikir empiris itu yang jadi alat bantu bagi dibangunnya konklusi, rumusan, proposisi metafisik.
Tapi dalam banyak persoalan kedua bentuk cara berpikir itu mesti dikombinasikan termasuk ketika bicara agama, mengapa? Agar deskripsi agama itu tidak dianggap berangkat dari imajinasi semata.
Oleh: Irwan Wiharja