KULIAHALISLAM.COM – Dalam Pidato Milad Muhammadiyah ke-109 pada Kamis (18/11), Prof. Haedar Nashir menyebutkan delapan nilai utama yang dapat dikembangkan. Ketua Umum PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa kehadiran pandemi Covid-19 menumbuhkan pandangan dan sikap luhur berbasis nilai-nilai utama, di antaranya:
Kuliah Al Islam : Delapan Nilai Utama Hadapi Covid-19 dalam Pidato Prof. Haedar Nashir |
(1) Nilai Ketauhidan untuk Kemanusiaan
Tauhid merupakan asas paling mendasar dalam Islam. Tauhid dalam Islam tidak terbatas menyangkut aspek iman untuk mengesakan Tuhan semata, bersamaan dengan itu tauhid maupun iman dan takwa terkait dengan urusan kemanusiaan dan kehidupan.
Ajaran tentang iman dan takwa dalam AlQuran banyak disandingkan dengan perintah amal saleh dan kebaikan. Allah menegaskan dalam Surah al-Mā‘ūn, orang disebut mendustakan agama karena tidak peduli pada kaum miskin dan anak yatim.
Allah memperingatkan, kerusakan di muka bumi akan terjadi bila tidak ada relasi antara “ḥablun min Allāh” dan “ḥablun min al-nās” (Q.S. Ᾱli ‘Imrān: 112). Nabi bersabda, “La yu’minu aḥadukum ḥatta yuḥibba li-akhīhi mā yuḥibbu li-nafsihi”, bahwa tidak beriman seseorang hingga dia terbukti mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya (H.R. Muslim).
Muhammadiyah memandang relasi antara “ḥablun min Allāh” dan “ḥablun min alnās” itu saling terkoneksi yang harus membuahkan segala wujud kebaikan dalam kehidupan. Di dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah pada Pokok Pikiran pertama terkandung pernyataan, “Hidup Manusia harus berdasar Tauhid (meng-esa-kan Allah):
ber-Tuhan, beribadah, serta tunduk dan taat hanya kepada Allah.”
Sedangkan pada Pokok Pikiran kedua disebutkan, “Hidup manusia itu bermasyarakat”, serta pada Pokok Pikiran keempat dinyatakan: “Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah wajib sebagai ibadat kepada Allah SWT dan berbuat ihsan kepada sesama manusia.”
Karenanya dari musibah covid-19 dapat dipetik hikmah menguatkan keyakinan kaum beriman bahwa sikap bertauhid meniscayakan kepedulian pada persoalan kemanusiaan, termasuk menyelamatkan jiwa manusia. Opini yang menyatakan “jangan takut kepada virus corona, takutlah kepada Allah”, merupakan pandangan bias dalam memahami tauhid.
Padahal ketakutan kepada Allah (khasyyah) yang bersendikan iman dan taqwa, berbeda sekali dengan ketakutan dalam makna waspada terhadap virus dan hal lain yang mengancam keselamatan diri. Allah SWT memperingatkan “wa lā tulqū biaidīkum ilat-tahlukati wa aḥsinū”, artinya “Janganlah kamu menjatuhkan diri pada kebinasaan dan berbuat-baiklah” (Q.S. Al-Baqarah: 195).
Asghar Ali Engineer sebagaimana Ahmad Amin menempatkan tauhid sebagai sumber nilai pembebasan kaum lemah dan tertindas dalam perspektif “The Theology of Liberation” (Teologi Pembebasan). Ali Syari’ati secara luas dan mendalam memandang keyakinan tauhid sebagai sumber nilai utama bagi manusia dan alam semesta dalam satu kesatuan (unity).
Kehidupan berbasis tauhid adalah realitas yang integral, holistik, monistik, dan universal. Tauhid itu multidimensi, baik vertikal dalam hubungan dengan Allah maupun horizontal dalam relasi kemanusiaan dan alam semesta. Itulah kredo tauhid yang melahirkan ihsan kepada kemanusiaan dan rahmat bagi semesta alam.
(2) Nilai Pemuliaan Manusia
Pandemi covid memberikan pembelajaran pentingnya untuk memuliakan manusia atau jiwa dan fisik manusia agar dihargai dan diselamatkan, sebaliknya jangan sampai diabaikan, disia-siakan, dan direndahkan.
Berusaha maksimal mengatasi virus corona dan melakukan vaksinasi sama dengan ikhtiar memelihara dan memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang terbaik (fī aḥsan altaqwīm) dan harus dihargai dan dijunjungtinggi eksistensinya.
Di antara tujuan syariat Islam ialah “menjaga jiwa” (hifẓ al-nafs) sebagai satu kesatuan dengan menjaga agama (hifẓ al-dīn), menjaga akal (hifẓ al-‘aql), menjaga harta (hifẓ al-māl), dan menjaga keturunan (hifẓ al-nasl). Kehilangan satu nyawa sama dengan seluruh nyawa manusia, sebaliknya menjaga kehidupan satu jiwa manusia sama dengan memelihara seluruh manusia (Q.S. Al-Maidah: 32).
Di dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua tentang “Pandangan Keagamaan” (Islam Berkemajuan) ditegaskan bahwa “Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia.
Islam yang menjunjungtinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diksriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan kehidupan.
Allah menempatkan manusia sebagai insan yang dimuliakan sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran:
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna“ (Q.S. Al-Isra: 70).
Ketinggian martabat manusia diawali dari penciptaannya sebagai makhluk terbaik (fī aḥsan al-taqwīm, Q.S. Al-Tīn: 4) dengan kedudukan dan tugas selaku “‘abdullāh” untuk mengabdi kepada Allah (Q.S. Aż-Żāriyāt: 56) dan “khalīfah fī al-arḍ” untuk memakmurkan bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30: Hūd: 61). Pemuliaan derajat itu tidak diberikan dan dimiliki makhluk Tuhan lainnya.
Karenanya menjadi suatu hal yang bertentangan dengan prinsip penciptaan manusia manakala ada di antara manusia yang tidak menghargai atau merendahkan keberadaan dirinya atau sesamanya, padahal Allah Yang Maha Pencipta memuliakannya.
Manusia jangan dipandang sebagai makhluk indrawi semata sebagaimana paradigma nalar materialisme, berakal-pikiran belaka dalam pandangan liberal-sekular, tanpa menyatukannya dengan unsur penting keruhanian dan jiwa (fitrah) beragama sebagaimana pandangan Islam yang holistik.
Manusia dengan seluruh dimensinya mesti diletakkan dalam ruang metafisika dan kosmologi kehidupan yang utuh, bermakna, dan multidimensi. Termasuk dalam menempatkan musibah dan derita manusia sebagai urusan yang penting dan berharga, bukan sebagai persoalan parsial dan instrumental.
Sebaliknya manusia sendiri jangan merendahkan martabat dan keberadaanya sehingga jatuh ketempat yang hina dalam posisi yang serendah-rendahnya atau “asfala safilin” (Q.S. At-Tīn:5). Manusia harus menggunakan akal-budinya dengan baik agar tidak berperangai seperti hewan, sebagaimana peringatan Allah dalam Al-Quran yang artinya:
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (Q.S. Al-A‘rāf: 179).
Perilaku hewaniah itu kadang bias atau absurd karena sering dibingkai oleh alam pikiran dan ilmu pengetahuan yang secara teoritik tampak benar dan “maju”, tetapi sejatinya salah kaprah sehingga merendahkan martabat dan kemuliaan manusia.
Manusia modern yang semestinya membangun kehidupan dengan keadaban luhur, malah jatuh kedalam sangkar-besi kemodernan yang dibangunnya sendiri, sehingga menurut sosiolog
Peter L. Berger manusia menjadi “chaos”, yakni menjalani kehidupan yang kacau.
Alam pikiran posmodern dengan nalar dekonstruksi dapat memutar balik epistemologi ilmu dan kehidupan yang benar menjadi salah atau disalahkan sebagaimana paradigma “post truth” yang kini meluas di ruang publik. Kemudian terjadi ironi, yang salah dibenarkan dan memperoleh dukungan luas, sementara yang benar disalahkan dan diketepikan. Kehidupan “chaos” seperti itu dalam rujukan nalar sejarah Tanah Jawa disebut hidup di zaman “Kalabendu” sebagaimana tertulis pada “Ramalan Jayabaya”.
(3) Nilai Persaudaraan dan Kebersamaan
Pandemi ini masalah bersama. Tindakan satu orang berpengaruh terhadap pihak lain dan lingkungan sekitar. Manusia tidak bisa egois dan merasa bebas dari wabah ini. Pandemi ini merupakan penderitaan semua umat manusia. Kaum beriman diajarkan bersabar dan tawakal dalam menerima musibah.
Namun bukan berarti insan beriman abai dan tidak peduli terhadap keadaan, termasuk dalam merasakan penderitaan saudaranya yang terpapar dan lebih-lebih yang meninggal dunia. Karenanya diperlukan rasa persaudaraan dan kebersamaan dari semua pihak sebagai wujud aktualisasi nilai utama agar menjalani kehidupan bersama di tengah perasaan satu nasib.
Kondisis darurat dan musibah ini sungguh memerlukan sikap bersaudara dan kebersamaan seluruh warga bangsa dengan nilai kasih sayang dan saling menolong. Nabi mengajarkan nilai persaudaraan sebagai berikut:
“Barangsiapa yang melapangkan salah satu kesusahan di dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melapangkan darinya salah satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan atas kesulitan orang lain, maka Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat.
Allah senantiasa menolong hamba-Nya selagi hamba tersebut menolong saudaranya” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah).
Baik dalam menghadapi pandemi maupun masalah bangsa jika ditanggung bersama dengan semangat persaudaraan maka akan lebih mudah sebagaimana pepatah Melayu, “Berat sama dipikul, Ringan sama dijinjing”.
Bila terdapat perbedaan dicarikan titik temu karena ada ikatan persaudaraan dan kebersamaan. Dua jiwa utama tersebut dapat menjadi kekuatan untuk menumbuhkan sikap saling tenggang, toleran, lapang hati, dan kerjasama demi membangun kehidupan bersama.
Seraya menjauhkan diri dari tindakan egoistik, pemaksaan kehendak, merasa paling benar, merasa paling digdaya, dan menjadikan Indonesia sebagai milik pribadi dan golongan sendiri. Ukhuwah dan persatuan Indonesia harus dibangun makin kokoh yang lahir dari jiwa tulus dan jujur, sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah bangsa secara bersama.
Muhammadiyah sejak awal berkomitmen membangun kesatuan dan kebersamaan dalam berbangsa dan kemanusian semesta berlandaskan ajaran agama. Kiai Haji Ahmad Dahlan sebagaimana dipublikasikan oleh HB Muhammadiyah Majelis Taman Pustaka pada 1923 (Mulkan, 1990), menyampaikan pesan bahwa “Manusia seluruhnya harus bersatu hati, karena:
1. Meskipun manusia memiliki kebangsaan yang berbeda-beda, sesungguhnya nenek moyang mereka adalah satu, yaitu Nabi Adam dan Hawa. Jadi sesungguhnya seluruh manusia itu satu darah daging.
2. Agar supaya dengan bersatu hati manusia dapat hidup senang secara bersama di dunia”.
(4) Nilai Kasih Sayang
Ajaran kasih sayang dalam Islam sangat penting dan luas yang lahir dari nilai ihsan, ukhuwah, silaturahmi, dan ta‘āwun dalam wujud kepeduliaan, empati, simpati, kerjasama, dan kebersamaan atas nasib sesama. Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya. Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan mengabaikan masalah.
Nilai kasih sayang antar manusia terhubung dengan kasih sayang Tuhan, sebagaimana hadis Nabi yang artinya: “Orang-orang yang penyayang itu akan dikasihi oleh Yang Maha Penyayang dan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi, maka sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh makhluk yang ada di langit” (H.R. ‘Abdullāh bin‘Amr r.a.).
Mari letakkan musibah global ini dalam pandangan kemanusiaan yang humanistik. Menurut Steven Pinker (2018) dalam “Enlightment Now”, manusia di era Pencerahan dunia modern mesti mengembangkan “a humanistic sensibility”, yang menumbuhkan sentimen empati seperti kemurahan hati, belas kasih, dan rasa saling memahami satu sama lain.
Sifat-sifat empati tersebut menghidupkan watak alami manusia sebagai makhluk yang “merasa” (sentient) seperti senang dan sedih, suka dan duka, bahagia dan derita. Sifat-sifat manusiawi yang alamiah itu boleh jadi sering terdelusi oleh pola pikir sekular yang rasional-instrumental maupun pandangan keagamaan yang dangkal. Islam mengajarkan nilai “tarāḥum” atau welas asih dengan sesama secara praksis. Al-Mā‘ūn mengandung praksis kemanusiaan pro-duafa yang berwatak welas asih itu.
Menurut Dokter Soetomo, tokoh Boedi Oetomo yang juga perintis Klinik PKU Muhammadiyah Surabaya tahun 1924, nilai welas asih (kasih sayang) dari ajaran al-Mā‘ūn berbeda dengan pandangan tentang perjuangan manusia dalam seleksi alam ala Charles Darwin (The Orogin Of Species), bahwa hanya organisme unggul yang akan mampu bertahan dalam perjuangan hidup. Narasi itu sejalan dengan hukum siapa yang kuat maka dia yang menang dalam teori “survival of the fittest” dari sosiolog Herbert Spencer.
Sebaliknya, ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn justru mendasarkan perjuangan hidup secara bersama sehingga yang kuat mau berbagi dengan yang lemah, bukan sebaliknya mengorbankan yang lemah. Mereka yang lemah pun tetap berbuat baik terhadap sesama.
Penderitaan akibat pandemi ini mestinya diletakkan dalam kemanusiaan yang humanistik dan profetik tentang pentingnya hidup “peduli dan berbagi” dalam bingkai nilai kasih sayang yang diajarkan Islam. Kiai Dahlan dengan cerdas dan orisinil mampu menerjemahkan ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn ke dalam pranata modern berupa wujud rumah sakit (hospital, ziekenhuis), rumah miskin (armeinhuis), dan rumah yatim (weeshuis).
Kini Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya terus berikhtiar tiada henti sebagai bukti konsistensi mewujudkan Isalam sebagai ajaran kasih sayang bagi kemanusiaan dan kehidupan semesta.
Karenanya dengan pandemi ini penting semua orang di manapun berada mau belajar rendah hati, ternyata dengan virus kecil ini dunia kehidupan menjadi porakporanda. Menurut Albert Camus, akibat wabah manusia dilanda “absurditas”, hidup sarat kegalauan dan ketidakpastian.
Filosof Prancis kelahiran Al-Jazair itu mengupas kisah wabah pes di kota Oran Al-Jazair tahun 1930an, melalui karya novelnya yang terkenal “La Peste”. Bagi Camus, ketika terjadi wabah, manusia jangan menjadi unta dengan mengiyakan semuanya begitu saja yang terjadi.
Tapi, jangan pula menjadi singa yang memberontak, melawan, dan ingin heroik. Jadilah bayi, terima segala yang terjadi, cintai apa yang terjadi. Filsuf beraliran eksistensialis itu menawarkan manusia agar “bertindak membela yang dikenai kemalangan.
(5) Nilai Tengahan atau Moderat
Moderat merupakan sinonim bahasa Arab dari tawāsuṭ, iʿtidāl, tawāzun, dan iqtiṣād yang sangat selaras dengan konsep keadilan, yang mengandung arti memilih posisi di tengah dan di antara titik-titik ekstrem. Moderat sering digunakan secara bergantian dengan istilah “rata-rata,” “inti,” dan “standar,”.
Kebalikan dari moderat atau wasaṭiyyah adalah taṭarruf, guluw, yang menunjukkan “kecenderungan ke arah pinggiran” dan dikenal sebagai “ekstrem”, “radikal” dan “berlebihan”. Wasaṭiyyah juga berarti pilihan terbaik seperti dalam hadis: “Nabi Muhammad adalah yang terbaik (awsat) dari keturunan Quraisy”, sebagaimana hadis lain “Khairu al-‘umūr awsaṭuhā”, bahwa sebaik-baik urusan ialah yang tengahan.
Di dalam diktum Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua antara lain disebutkan, bahwa:
“Dengan gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan tajdid untuk menghadirkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan (wasaṭiyyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjungtinggi akhlak mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.”
Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 mengembangkan pendekatan wasaṭiyah dengan mengambil langkah berdasarkan pertimbangan “rasionalilmiah” dan “spiritual-rohaniah”. Buya Hamka dalam “Taswuf Modern” menuliskan pesan sikap “tawāzun” atau “tawāsuṭ” dalam mengatasi masalah.
Muslim tidak boleh memiliki sifat “al-jubnu”, yakni takut berlebihan dalam menghadapi keadaan. Sebaliknya dilarang bersikap “taḥawwur”, yaitu nekad tanpa perhitungan. Adapun sikap yang dianjurkan ialah “syajā‘ah”, yakni berani dengan seksama. Itulah ajaran “wasaṭiyyah Islam” dalam bersikap menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan agar tidak terjebak pada sikap ekstrem atau berlebihan.
Sikap wasathiyah Muhammadiyah dalam memandang dan menyikapi pandemi Covid-19 maupun masalah kehidupan lainnya merujuk pada asas interkoneksi tentang “Maqāṣidu al-Syarī‘ah” (tujuan bersyariat). Aspek “hifẓ nafs” (menjaga jiwa), “hifẓ al-‘aql” (menjaga akal), “hifẓ al-māl” (menjaga harta), dan “hifẓ al-nasl” (menjaga keturunan) merupakan satu kesatuan yang terhubung dengan dan memiliki dasar kuat pada “hifẓ aldīn” (menjaga agama).
Kelimanya tidak dapat dipisahkan apalagi dipertentangkan, tetapivmerupakan satu kesatuan yang berlandaskan pada “al-Rujū’ ilā al-Qur’ān wa al-Sunnah” dengan jalan ijtihad untuk menjawab problematika kehidupan.
Wasaṭiyah Muhammadiyah merujuk pada jiwa Al-Quran, “Wa każālika ja‘alnākum ummatan wasaṭan litakūnū syuhadā’a ‘ala al-nāsi wa yakūna al-rasūlu ‘alaikum syahīdā”, yang artinya “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamuvmenjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 143).
Muhammadiyah berusaha mengembangkan nilai moderat atau Wasaṭiyah yang berprinsip dan autentik, tanpa merasa paling Wasaṭiyah, tetapi tidak pula bias Wasaṭiyah yang atas nama moderat membenarkan “apa saja” dan menjurus pada hal-hal yang ekstrem (guluw atau taṭarruf).
Nilai Wasaṭiyah Muhammadiyah didasarkan pada rujukan Al-Quran, Sunah Nabi yang maqbūlah, dan ijtihad dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang interkoneksi didukung khazanah ilmu dan hikmah.
(6) Nilai Kesungguhan Berusaha
Usaha mengatasi pandemi merupakan komitmen dan tanggungjawab bersama. Konsistensi melaksanakan kebijakan oleh pemerintah, disiplin menjalankan protokol kesehatan, melakukan vaksinasi, dan berbagai langkah lainnya merupakan keniscayaan dalam mengatasi pandemi ini.
Segala ikhtiar maksimal yang bersifat rasional-ilmiah dan spiritual-rohaniah harus terus dilakukan sebagai jalan jihād untuk mengakhirinya. Allah memberikan jalan lapang bagi siapapun yang bersungguh-sungguh dalam berjuang mengatasi masalah kehidupan (Q.S. AlAnkabut: 69).
Sikap optimis disertai ikhtiar yang bersungguh-sungguh harus menjadi jiwa, pikiran, dan orientasi tindakan semua orang di negeri ini untuk mengubah keadaan yang buruk dari wabah Corona ke situasi yang lebih baik.
Kitalah yang harus mengubah keadaan pandemi ini agar berakhir dengan tetap munajat dan berserah diri pada kekuasan Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Optimisme dalam wujud tekad dan ikhtiar untuk berubah juga menjadi niscaya dalam memecahkan persoalan-persoalan umat dan bangsa.
Seberat apapun masalah yang dihadapi jika semua komponen umat dan bangsa berkomitmen kuat, bersatu, dan melangkah bersama secara sungguh-sungguh maka akan terdapat jalan keluar dari kesulitan. Kuncinya ketulusan, kejujuran, keterpercayaan, kecerdasan, dan kebersamaan untuk selalu mencari solusi.
Perbedaan setajam apa pun bila semua pihak mau berdialog dan mencari titik temu maka akan ada jalan pemecahan atas segala persoalan umat dan bangsa. Sebaliknya manakala saling menjauh, egoistik, tidak saling percaya, saling berebut, keras kepala, hianat, dan dusta bertumbuh di tubuh elite umat dan bangsa maka sulit menemukan jalan bersama menuju kemajuan umat dan bangsa.
Berbekal tekad dan ikhtiar yang sungguh-sungguh, bersatu, dan optimis maka Allah akan meringankan beban hidup dan membuka jalan kesulitan menjadi kemudahan. Teologi “Al-Insyirāḥ” penting dijadikan rujukan dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan masalah-masalah kehidupan lainnya yang selama ini menjadi beban berat bersama.
Selama manusia terus gigih berikhtiar dan tawakal, atas pertolongan dan kasih sayang Allah maka beban hidup dan kesulitan akan berbuah menjadi jalan lapang dan kemudahan (Q.S. Al-Insyirāḥ: 1-8).
Perjuangan yang sungguh-sungguh merupakan jihād umat Islam dan bangsa Indonesia untuk keluar dari lilitan masalah serta meraih kehidupan yang lebih baik dan berkemajuan. Jihad bagi Muhammadiyah adalah jalan perjuangan membangun kehidupan yang lebih baik dan mulia.
Muhammadiyah dalam mengagendakan gerakannya memaknai dan mengaktualisasikan jihād sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemampuan (badlu aljuhdi) untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.
Jihād dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik, dan permusuhan. Umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihād li-al-mu‘āraḍah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihād li-al-muwājahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama (PP Muhammadiyah, 2010).
(7) Nilai Keilmuan atau Ilmiah
Pandemi ini meniscayakan pentingnya manusia bersandar pada ilmu. Ilmu yang mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan. Para ahli epidemiologi, ahli virus, kedokteran, dan para ilmuwan lainnya telah memberi sumbangan berharga dalam memahami dan menghadapi virus Corona yang mengguncang dunia selama dua tahun ini.
Demikian halnya dengan ditemukannya vaksin yang memberikan salah satu jalan untuk memgatasi pandemi ini, meskipun bukan satusatunya jalan. Fakta tersebut menunjukkan betapa manusia memerlukan ilmu pengetahuan yang harus terus menerus diperbarui, dikembangkan, dan disempurnakan.
Ajaran Islam bahkan meniscayakan umatnya agar berilmu dan beriman (Q.S. Al-Mujādilah: 11), serta sebaliknya jangan sampai bertindak tanpa ilmu sebagaimana firman Allah yang artinya
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (Q.S. Al-Isra: 36).
Ilmu membentuk manusia menjadi alim atau ulama. Ulama adalah mereka yang berilmu. Dua ayat rujukan dalam Al-Quran tentang ‘ulama — bentuk jamak dari ‘ālim— dalam Surah Al-Faṭīr ayat ke-28 menunjuk pada mereka yang memiliki ilmu dengan jiwa “khasyyah” (takut, bertaqwa) kepada Allah, serta “ulama Bani Israil” yang mengetahui akan turunnya Nabi Muhammad (Q.S. Asy-Syu‘arā’: 197).
Sementara mereka yang berilmu, berpikir, dan saleh banyak dirujuk dalam Al-Quran maupun Hadis Nabi, yang menunjukkan derajat kualitas manusia berilmu secara multisifat dan muktiaspek.
Alim atau ulama Muhammadiyah mesti berpikir dengan kualitas “ulil albāb” (ulul albab) dan “al-rāsikhūna fī al-‘ilm” disertai nalar keilmuan integratif bayani, burhani, dan irfani. Ulama Muhammadiyah tidak dapat terkotak-kotak dalam sangkar-besi taksonomi atau disiplin keilmuan yang rigid dan parsial.
Saatnya lahir generasi ulama dengan kualifikasi keilmuan-keislaman yang kuat, mendalam, terintegrasi, dan terinterkoneksi untuk membangun peradaban “khaira ummah” (Q.S. Ᾱli ‘Imrān: 110). Masyarakat terbaik itu menjadi cita-cita utama Islam yang dalam referensi Muhammadiyah disebut “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Pendidikan di lembaga-lembaga Madrasah, Boarding School, Pesantren, Sekolah Muhammadiyah sampai ke jenjang Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) dan di Fakultas Agama Islam serta lembagalembaga kekaderan dan keulamaan lainnya mesti dirancang-bangun dengan dasar keilmuan Islam yang holistik-integratif.
Tujuannya untuk melahirkan generasi ulama yang multiaspek dan berkemajuan yang tampil menjadi “Dahlan-Dahlan baru”, yang membawa misi gerakan sebagai generasi “Sang Pencerah” dan “Mujadid” penyebar risalah Islam Berkemajuan di zaman posmodern abad ke-21.
Ilmu pemgetahuan dan teknologi penting disertai hikmah agar tidak mengarah pada keangkuhan ilmuwan dan absolutisme kebenaran ilmu. Karenanya tidaklah elok bagi siapa pun manakala di antara anak bangsa masih saja ada yang menegasikan musibah pandemi covid-19 ini.
Boleh jadi beragam ilmu dan pandangan selalu hadir dalam memahami dan menghadapi suatu kejadian sebagai bagian dari keragaman dunia keilmuan dan kehidupan. Namun manakala sebanyak mungkin orang dengan ilmu dan pengalaman empirik yang dijumpainya menerima dan memghadapi musibah ini secara mayoritas, maka sangatlah bijak bila semua bersatu menghadapi dan mengatasi musibah yang berat ini.
Di samping ilmu terdapat hikmah, sebagai mutiara kebaikan yang mesti ditumbuhkan dalam jiwa para ilmuwan, sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat” (Q.S. Al-Baqarah: 269).
Ilmu dan akal pikiran manusia menurut perspektif Islam mesti bersendikan tauhid, iman, dan takwa agar tidak terseret pada arus pikiran liberal-sekuler yang membolehkan segala perbuatan tanpa bingkai nilai agama, bahkan dapat menggiring menjadi anti agama (agnostik) dan anti tuhan (ateis).
Ilmu memerlukan hikmah sehingga melahirkan pencerahan aka-budi manusia dan menerangi alam semesta. Ilmu dan pikiran manusia modern atau posmoderen jangan seperti kotak pandora dalam mitologi Yunani Kuno, yang memberikan harapan indah akan kebaikan tetapi setelah dibuka ternyata menjadi sumber masalah dan fitnah dalam kehidupan manusia yang semestinya dijaga nilai dan bermartabatnya sebagai insan beperadaban mulia!
(8) Nilai Kemajuan
Pandemi ini meniscayakan manusia untuk belajar memahami masalah secara mendalam dan luas serta membangkitkan diri untuk maju pasca musibah. Manusia diajari Tuhan dengan berbagai cara.
Musibah boleh jadi merupakan cara Tuhan agar manusia terus mengungkap rahasia ciptaan-Nya yang sangat luas dan tak terbatas, bersyukur atas segala nikmat-Nya, serta mengakui Kemahakuasaan-Nya.
Di sinilah pentingnya membangkitkan nilai dan etos kemajuan bagi seluruh manusia atas musibah yang mewabah di seluruh dunia ini.
Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi yang berat ini secara teologis memandang kehidupan sebagai sesuatu yang luhur, berharga, dan bermakna.
Memanami kehidupan dengan segala aspek dan siklusnya niscaya didekati dengan pandangan yang mendalam, luas, dan multiperspektif. Letakkanlah persoalan pandemi ini dalam dimensi iman, tauhid, dan ḥablun min Allāh yang terhubung langsung dengan ḥablun min al-nās,ilmu, ihsan, dan amal saleh yang bermakna.
Pandangan keagamaan dan keilmuan niscaya holistik-integratif dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang lahir dari pandangan atau nilai-nilai kemajuan dalam ajaran Islam.
Islam sejatinya agama yang mengajarkan kemajuan hidup umat manusia. Banyak sekali pesan penting ajaran Islam tentang kemajuan dalam Al-Quran dan Sunah maupun jejak (turaṡ) sejarah Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang berkemajuan (dīn al-ḥaḍarah, the religion of progress).
Kemajuan menurut ajaran Islam ialah segala kebaikan dan keutamaan yang multiaspek dan melahirkan kemaslahatan hidup bagi seluruh umat manusia dan rahmat bagi semesta alam. Kemajuan yang membawa kebahagiaan dan keselamatan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Al-Quran dan Sunah Nabi sebagai sumber utama ajaran Islam mengandung nilainilai dan pesan ajaran tentang kemajuan. Wahyu pertama Al-Quran yang menjadi penanda kerasulan Nabi Muhammad dan risalah Islam perintah “Iqra’”. Risalah iqra’ mengajarkan kepada setiap muslim tidak hanya diharuskan membaca ayat-ayat Al-Quran tetapi juga ayat-ayat kauniah atau ayat-ayat semesta.
Iqra’ menurut para mufasir bukan hanya membaca secara verbal dan tekstual, tetapi keseluruhan makna yang tercakup arti “iqra’” dalam literasi Arab seperti tafakkur, tadabbur, tanāẓar, tażakkur, serta berbagai aktivitas akal pikiran, keilmuan, dan pembacaan sejarah secara menyeluruh.
Dalam perspektif Manhaj Tarjih “iqra’” memiliki makna pada pemahaman keislaman dan semesta kehidupan secara bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi.
Selain itu, Nabi memberi bekal umatnya dengan perintah ijtihad dan tajdid untuk menghadapi perubahan dan perkembangan zaman.
Sebagaimana sabda Nabi tentang ijtihad yang artinya “Ketika seorang hakim hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad, kemudian benar, ia mendapatkan dua pahala. Jika ia hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad kemudian ternyata salah, ia dapat satu pahala.” (H.R. Muslim dari ‘Amr bin al-‘Aṣ),.
Demikian halnya perintah tajdid dalam hadis yang lain, yang artinya “Sesungguhnya
Allah akan menurunkan (orang) setiap permulaan seratus tahun seseorang kepada umatnya yang akan memperbarui ajaran agama mereka” (H.R. Abū Dāwūd, al-Ḥakim, dan al-Baihaqī dari Abū Hurairah).
Dengan risalah “iqra’” disertai ijtihad dan tajdid yang berbingkai risalah akhlak mulia (al-akhlāq al-karīmah) dan misi kerahmatan Islam (raḥmatan lil-‘ālamīn) yang mencerahkan akal-budi dan peradaban umat manusia, Nabi berhasil membebaskan bangsa Arab yang Jahiliah menjadi bangsa yang berperadaban gemilang dalam puncak risalah “al-Madīnah al-Munawwarah”.
Dari rahim peradaban Madinah itu kemudian Islam berkembang menjadi agama yang membuana dan menciptakan kejayaan peradaban semesta selama berabad-abad di pentas sejarah dunia, yang menggambarkan nilai dan ajaran kemajuan Islam yang melintas-batas atau “raḥmatan lil-‘ālamīn”.
Nilai-nilai kemajuan dalam ajaran Islam yang demikiam kaya dan mendasar itu kadang tidak selamanya dipahami dan dipraktikkan oleh kaum muslim sendiri selaku pemeluknya, sehingga dalam sejumlah aspek kehidupan umat Islam tertinggal atau mengalami kemunduran.
Kenyataan yang senjang antara ajaran dan praktik hidup pemeluknya inilah yang dikritik Muhammad Abduh, “Islām maḥjubun bil-muslimīn”, bahwa kemajuan Islam tertutupi oleh kaum muslim sendiri yang berpikiran, bersikap, dan bertindak kolot (jumud) dan tertinggal.
Karenanya ajaran tentang kemajuan Islam niscaya dibangkitkan kembali dan digelorakan dalam kehidupan kaum muslimun di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di sinilah pentingnya memahami hakikat, relevansi, dan urgensi nilai Islam Berkemajuan.
Diambil dari teks pidato Prof. Haedar Nashir pada Milad 109 Muhammadiyah.