KULIAHALISLAM.COM – Mengonsumsi adalah sesuatu hal yang pasti bagi seluruh insan di dunia bahkan wajib dilakukan. Sebab, mengonsumsi merupakan perilaku keseharian setiap individu atau rumah tangga dalam menggunakan barang dan jasa guna untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik pribadi ataupun keluarga.
Walau begitu, belakangan ini perilaku konsumsi di tengah masyarakat mengalami pergeseran (distorsi) makna. Pergeseran tersebut akibat dari perkembangan zaman (modernisme).
Alih-alih modernisme menyuguhkan kebebasan dan kemudahan dengan segala kecanggihannya, masyarakat lebih mementingkan akan kepuasan-kepuasan individu terpenuhi dan mengantarkan manusia dalam pelbagai krisis kehidupan.
Akibatnya, kecenderungan yang terjadi, yaitu penerimaan terhadap status quo (kemapanan) dan melemahkan daya kritis. Alhasil, merebaknya gaya hidup konsumtif di tengah-tengah masyarakat. (Herbert Marcuse, One Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society, 1964, terj. Manusia Satu Dimensi, 2016)
Pada era ini, mengonsumsi barang apa pun bukan lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan gaya hidup (life style) atau upaya untuk menunjukkan identitas sosial seseorang. Semakin tinggi harga barang yang dikonsumsi, maka semakin tinggi pula harkat-martabat dan kepercayaan dirinya.
Eksistensi setiap individu ditentukan oleh barang yang dikonsumsi (kualitas barang bukan kegunaan). Tak heran jika parameter kebahagiaan adalah dengan memenuhi kepuasan hasrat (hawa nafsu) akan barang yang dikonsumsi.
Misalnya, seseorang membeli makanan atau minuman bukan lagi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan alamiahnya (sebagai manusia), terlepas masalah harga atau lapar. Tetapi yang menjadi tujuan di sini adalah dia merasa lebih baik dan bahagia dapat makan atau minum di restoran ternama daripada di warung biasa.
Menurut Baudrillard, hidup di dunia konsumer ini, seluruh energi manusia hanyalah diarahkan pada pemuasan hawa nafsu. Semua upaya dikerahkan untuk memenuhi hasrat akan kekayaan, popularitas dan seks.
Sementara ruang bagi jiwa dan spiritualitas nyaris kosong dan hampa. Dalam kebudayaan hawa nafsu seperti ini, setiap upaya untuk menciptakan perubahan dan revolusi hanya akan terjerumus pada penghambaan hawa nafsu. (Jean Baudrillard, Seduction, terj. Ribut Wahyudi, Berahi, 2018)
Diakui atau tidak, salah satu instrumen yang ampuh untuk memengaruhi gaya hidup konsumtif adalah media periklanan, baik cetak maupun elektronik. Apalagi, jika iklan tersebut dilengkapi dengan gambar tubuh perempuan.
Bahasa iklan merupakan komunikasi yang “agresif” dan “imperatif” dengan berupaya “memaksa” publik mengubah perilaku, pola-pikir dan gaya hidup; hingga menjadi konsumen setia terhadap setiap produk-produk yang dihasilkan oleh mesin-mesin kapitalisme modern (global).
Pandangan Islam
Lantas bagaimanakah pandangan Islam ihwal marak dan masifnya perilaku gaya hidup konsumtif di tengah-tengah masyarakat? Seperti sudah jamak diketahui, bahwa di dalam Islam kebutuhan (konsumsi) seorang manusia dikategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu kebutuhan primer (daruriyah), kebutuhan sekunder (hajiyah), dan kebutuhan tersier (tahsiniyah).
Pertama, kebutuhan primer (daruriyah), dimaksudkan untuk mewujudkan kelangsungan hidup seperti, kebutuhan makanan, tempat tinggal, agama, pakaian dan pernikahan.
Kedua, kebutuhan sekunder (hajiyah), upaya untuk mempertahankan prinsip-prinsip dasar kehidupan meliputi barang dan jasa yang masih dianggap sebagai kebutuhan dasar meski tidak berbentuk jenis; jumlah; dan kualitas yang sangat dibutuhkan sebagaimana kebutuhan primer.
Ketiga, kebutuhan tersier (tahsiniyah), bertujuan untuk mewujudkan kehidupan lebih baik, nyaman dan tenteram termasuk di dalamnya adalah barang-barang berharga (mewah).
Meskipun Islam menaruh perhatian akan kebutuhan (konsumsi) manusia, tetapi Islam juga melarang kepada pemeluknya berperilaku Isyraf (berlebih-lebihan) dan Tabzir (boros) walaupun seorang konsumen tergolong orang yang mampu atau kaya.
Selain perilaku berlebih-lebihan dan boros merusak dan merugikan, juga Allah tidak menyukainya. Setiap pekerjaan yang tidak disukai Allah, kalau dikerjakan juga, tentu akan mendatangkan bahaya kepada pelakunya.
Perihal larangan tersebut, Al-Quran menganjurkan kepada umat Islam untuk memanfaatkan harta-bendanya berdasarkan tiga prinsip utama. Pertama, hidup hemat dan tidak bermewah-mewah. Mengonsumsi barang sekadar untuk pemenuhan kebutuhan hidup bukan hasrat hawa nafsu.
Kedua, menyisihkan sebagian harta untuk zakat (wajib) dan sedekah. Juga berinfak, wakaf, dan memberikan hadiah. Ketiga, menjalankan usaha-usaha yang halal, jauh dari garar, riba dan batil, baik berupa benda maupun lainnya. (Lukman Fauroni, Produksi dan Konsumsi dalam al-Quran: Aplikasi tafsir Ekonomi al-Quran, 2008)
Dari sini jelas bahwa gaya hidup konsumtif masyarakat dikategorikan kepada perilaku berlebih-lebihan dan boros, dikarenakan mengonsumsi barang tidak berdasarkan kebutuhan, melainkan untuk memenuhi hasrat hawa nafsunya guna menaikkan popularitas di tengah masyarakat.
Karena itu, Islam memandang perilaku tersebut sebagai sesuatu hal yang tercela dan sangat dilarang. Walau begitu, bukan berarti Islam melarang pemeluknya untuk tidak mendapatkan kepuasan dari konsumsi terhadap sejumlah barang. Tetapi Islam memberi batasan atau ketentuan sesuai dengan (ajaran Islam).
Batasan tersebut didasarkan atas pandangan bahwa segala anugerah Allah di muka bumi ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh umat Islam guna menuju kesejahteraan. Sementara itu, Islam juga tengah menggariskan etika konsumsi yang sangat mulia.
Jika ajaran konsumsi ala Islam tersebut diikuti, maka apa yang kita konsumsi memberi dampak positif. Bukan hanya bagi diri sendiri, melainkan juga akan memberi kemaslahatan bagi orang lain. Wallahu A’lam.
Oleh: Saidun Fiddaraini, Alumnus PP Nurul Jadid, Paiton, kini mengajar di PP Zainul Huda, Arjasa, Sumenep. Juga penikmat kajian keislaman dan filsafat.