Apakah bermazhab identik dengan ta’ashub? |
Tak jarang orang yang berpegang dengan mazhab ‘dituduh’ fanatik. Sebaliknya, orang yang mengkritisi mazhab ‘dinilai’ anti mazhab. Akhirnya, agar tidak dituduh fanatik sebagian orang mengkritik apapun yang berbau mazhab, baik ada argumen maupun tidak.
Begitu juga, sebagian orang yang tidak ingin dicap ‘anti mazhab’ menampakkan loyalitas kepada mazhab, tanpa melihat sisi-sisi kelemahan yang ada, sehingga mazhab seolah-olah sudah seperti akidah yang tak boleh diusik sama sekali.
Bisakah bermazhab tanpa ta’ashub? Tentu bisa. Dan memang ini yang dicontohkan secara aplikatif dan ditegaskan dalam berbagai kesempatan oleh para pendiri mazhab yang mulia.
Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Al-Hasan رحمهما الله تعالى adalah dua sahabat dan murid terkemuka Abu Hanifah رحمه الله تعالى. Tapi hal itu tidak menghalangi mereka berdua untuk berbeda dengan gurunya dalam banyak masalah.
Bahkan tak jarang, yang kemudian menjadi pegangan (mu’tamad) dalam mazhab Hanafiyyah justru adalah pendapat Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan (yang dikenal dengan istilah Ash-Shahiban) bukan pendapat sang pendiri mazhab. Lho, kok bisa begitu? Inilah uniknya mazhab. Yang ditonjolkan bukan figur sang tokoh, melainkan kekuatan dalil dan kelayakan sebuah pendapat.
Andaikan mazhab identik dengan ta’ashub, tentu Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan tidak akan berani berbeda dengan gurunya, dan tentu pendapat yang selalu dipegang oleh kalangan Hanafiyyah adalah pendapat sang pendiri mazhab saja ; Abu Hanifah.
Imam Syafi’i, bukankah murid Imam Malik رحمهما الله تعالى? Dari sisi ini, Imam Syafi’i bisa dikatakan seorang Malikiy (pengikut mazhab Imam Malik). Tapi, meski sebagai murid, tidak berarti Syafi’i mengikuti seluruh pendapat gurunya. Bahkan dalam banyak kesempatan, beliau membantah mazhab Ahlul Madinah yang merupakan mazhab gurunya ; Imam Malik.
Andaikan mazhab identik dengan ta’ashub tentu Imam Syafi’i tidak akan berani berbeda dengan gurunya apalagi sampai membantah mazhab gurunya dan memilih ‘jalan’ sendiri yang kemudian menjadi mazhab baru ; Asy-Syafi’iyyah.
Muhammad bin Al-Hasan ; sahabat dan murid Abu Hanifah, sesungguhnya juga salah seorang murid Imam Malik. Bahkan riwayat kitab Muwaththa` karya Imam Malik yang terkuat dan tervalid—menurut banyak ulama hadis—adalah riwayat yang datang dari jalur Muhammad bin Al-Hasan ini. Namun demikian, ini tidak menghalanginya untuk mengkritisi dan membantah mazhab gurunya dalam sebuah kitab khusus ; al-Hujjah ‘ala Ahlil Madinah.
***
Ruh independensi dalam bermazhab ini tidak berhenti hanya di generasi awal pendiri mazhab saja, tapi bertahan sampai ke generasi muta`akhirin dan bahkan mu’ashirin. Tak jarang para ulama mazhab muta`akhirin melakukan otokritik terhadap mazhabnya sendiri.
Ada pula yang dalam beberapa masalah berharap andaikan mazhab yang diikutinya berpendapat seperti mazhab yang lain, seperti halnya Imam Al-Ghazali yang berharap agar mazhab Syafi’iyyah dalam masalah air seperti mazhab Malikiyyah yang lebih longgar dan lapang.
Jika demikian, kenapa mereka tidak mendirikan mazhab sendiri saja? Bukankah mereka mampu untuk itu? Tentu mampu, karena tak sedikit dari mereka yang sampai ke derajat mujtahid mutlak.
Namun, mereka menyadari bahwa pada akhirnya ushul (dasar-dasar) yang mereka gunakan dalam melakukan istinbath hukum tidak akan jauh berbeda dengan ushul imam mereka. Karena itulah Abu Yusuf tetap berintisab kepada mazhab Hanafiyyah, Imam Al-Ghazali tetap berintisab kepada mazhab Syafi’iyyah, dan seterusnya.
Jadi, bermazhab itu tidaklah identik dengan ta’ashub kalau mazhab dipahami dengan benar dan diikuti oleh mereka yang ittiba’-nya tidak mengalahkan nazhar (analisa) dan kritik yang dilayangkan tidak mengabaikan adab dan ta’zhim.
***
Yang unik, fenomena sebaliknya justru terjadi pada orang-orang yang sering mengkampanyekan untuk tidak bermazhab. Fanatisme (ta’ashub) mereka pada tokoh-tokoh mereka—yang notabene mengajarkan untuk tidak taqlid—justru lebih parah dari ta’ashub sebagian pengikut mazhab. Tak berlebihan kalau muncul kesan bahwa tokoh-tokoh anti mazhab itu sudah hampir seperti Nabi oleh sebagian pengikutnya.
Jadi sebenarnya, taklid atau tidak taklid, bukan karena bermazhab atau tidak bermazhab, tapi lebih karena kematangan dalam berpikir dan kemampuan untuk menganalisa.
Tidak ada yang salah dengan kritikan yang dilayangkan pada mazhab karena pada akhirnya mazhab adalah hasil pemikiran manusia. Tapi menilai mazhab sebagai sesuatu yang identik dengan ta’ashub dan taklid buta, tentu sangat disayangkan.
Perlu juga disadari, terkadang pihak yang menuduh orang lain ta’ashub dan taklid justru terjebak pada ta’ashub dan taklid yang sama, kalau tidak lebih parah.
Ada baiknya kita renungkan pesan Rasululah SAW berikut ini :
لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً، تَقُولُونَ: إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا، وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا، وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ، إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا (رواه الترمذي)
“Jangan kamu menjadi orang yang ikut-ikutan ; kamu berkata: “Kalau orang baik kami juga akan baik, kalau orang salah kami juga salah.” Semestinya kokohkan prinsipmu; kalau orang baik kamu juga baik, tapi kalau orang salah kamu jangan ikut salah.”
Imam Ibnu Al-Atsir mengatakan :
الإمعة الذي لا رأي له فهو يتابع كل أحد على رأيه
“Imma’ah adalah orang yang tidak punya pendapat sendiri. Ia hanya mengikuti pendapat orang lain saja.”
والله تعالى أعلم وأحكم
Oleh: Ustaz Yendri Junaidi