Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosiologi itu pada awal perkembangannya tidak mengakui sedikitpun sisi religious orang-orang timur. Para antropolog barat pada masa klasik itu menganggap bahwa masyarakt timur itu tidak berperadaban. Saking tidak berkembangnya, kita orang-orang wilayah bagian timur dianggap sebagai tidak bertuhan. Adapun ritual-ritual, corak-corak kebudayaan spiritual kita itu mereka anggap sebagai mistisme semata yang bersumber dari kebodohan saja. Begitulah, setidaknya pandangan barat tentang kita ketika mereka akan mengkaji ke-antro-an kita.
Muncul Asad, seorang berketurunan yahudi yang ehm bukan bermaksud membicarakan agamanya sebagai personal dirinya, justru ingin menegaskan kemungkinan pengaruh pemikiran beliau selama menjadi seorang teoris antropologi. Ayah beliau adalah seorang muallaf, mufassir yang menikahi ibunya yang memang beragama Islam. Asad selama masa pertumbuhannya mungkin melihat keislaman seorang ayah dari sisi intelektualnya, dan satu sisi melihat keislaman seorang ibu dari sisi ketradisionalannya. 2 latar belakang keislaman bapak dan ibunya yang berbeda itulah mungkin yang agaknya kemudian memunculkan teori “Antropologi Islam”.
Dengan mengeluarkan antropologi islam bukan berarti Asad melakukan islamisasi antropologi, tetapi lebih kepada ingin menetralkan anggapan barat tentang masyarakat di daerah timur, terutama masyarakat muslim. Sebagai antropolog, penelitian awal Asad adalah meneliti spiritual suku aborigin Australia. Kepopuleran penelitian tersebut banyak mempengaruhi kelimuan antropolog yang kini tak lagi membedakan antara sinkretisme dan yang propanisme. Lebih lanjut justru Konsep diskursif tradisi ala Asad ini sebenarnya men-challenge Ernest Gellner yang menganggap bahwa islam itu sama di antara ‘muslim society’; yang menganggap semua ajaran bahkan praktik ibadah orang islam itu sama saja. Hanya bersumber alquran dan hadist saja. Benarkah seperti itu? Stay tune….
Perkenalkan juga, Prof. Adlin Sila. Beliau adalah seorang antropolog Islam yang mengikuti corak antropologi Islam-nya Talal Asad. Beliau meneliti ritual maulid nabi dan tahlilan di masyarakat Cikoang, Makassar. 2 penelitian tersebut kemudian tersebut benar-benar membantah para antropolog barat itu dan lebih jauh menantang anggapan dari Ernest Gellner tadi. Ternyata tradisi keislaman masyarakat di Indonesia tidak benar-benar full bersumber dari Alquran dan hadist saja, namun ada juga yang lebih terpengaruh dari ajaran tokoh daerah setempat yang dikultuskan secara turun temurun oleh masyarakat lokal tersebut. Lebih jauh penelitian tersebut juga mengungkap perkembangan diskursif tradisi keislaman masyarakat Indonesia yang kontestatif dan akomodatif. Diskursif tradisi Keislaman masyarakat Indonesia inilah agaknya juga melengkapi pendapat Oliver Roy dalam karyanya “the new foundationalism”. Diskursif tradisi Islamnya masyarakat Indonesia itu lebih akomodatif dibanding masyarakat Islam dibelahan dunia lain.
Perjalanan antropologi Islam sebagai salah satu cabang antropologi ini sangat menarik dibaca literaturnya. Masih perlukah proses islah didalamnya…? itu adalah pertanyaan yang mungkin akan jadi pertanyaan setiap antropolog muslim pemula.
Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa S3 Ilmu Qur’an-Tafsir Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal & Universitas PTIQ Jakarta)