Kafaah Dalam Membangun Keluarga (2): Kafaah Dalam Islam
Pertama, Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafaah tidak harus dipertimbangkan dalam pernikahan. Beliau mengatakan, “Setiap muslim, sepanjang bukan seorang pezina, berhak untuk menikahi wanita muslimah yang manapun juga, sepanjang wanita itu bukan seorang pezina”.
Beliau melanjutkan, “Setiap pemeluk Islam merupakan saudara satu sama lain. Seorang laki-laki yang nasabnya tidak terpandang tidaklah dilarang menikahi puteri seorang khalifah dari Bani Hasyim. Dan seorang muslim yang fasiq, sepanjang bukan pezina, adalah sekufu dengan wanita muslimah yang juga fasiq, sepanjang wanita itu bukan pezina”.
Argumentasinya adalah firman Allah Swt: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”, dan juga firman-Nya yang ditujukan kepada segenap laki-laki muslim: “Maka nikahilah wanita yang kalian sukai.” Dan setelah menyebutkan wanita-wanita yang diharamkan bagi kita, Allah melanjutkan: “Dan dihalalkan bagi kalian selain mereka itu”. Rasulullah juga telah menikahkan Zainab dengan Zaid, juga Al-Miqdad dengan Dhiba’ah bint Az-Zubair ibn Abdil Muthallib”.
Kedua, ulama yang lain mengatakan bahwa kafaah harus dipertimbangkan, tetapi hanya dalam hal keistiqamahan tadayyun dan akhlaq. Jadi bukanlah kafaah itu dalam hal nasab, kekayaan, dan sebagainya. Sehingga boleh saja seorang laki-laki shalih yang nasabnya tidak terpandang menikahi wanita yang nasabnya terpandang, atau seorang laki-laki miskin tetapi shalih dan bertaqwa menikahi seorang wanita yang kaya.
Dalam hal ini, sang wali tidak boleh menolak pernikahan tersebut kalau memang si wanita sudah rela dengan pernikahan tersebut. Adapun seorang laki-laki yang tidak istiqamah dalam beragama, maka dia tidaklah sekufu dengan seorang wanita yang shalihah.
Disebutkan dalam Bidayatul Mujtahid : “Para ulama Malikiyah sepakat bahwa jika seorang gadis akan dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang laki-laki peminum khamr, atau secara umum laki-laki yang fasiq, maka gadis itu berhak untuk menolak pernikahan itu. Dan hendaknya hakim meneliti masalah tersebut, untuk kemudian memisahkan keduanya. Demikian juga halnya jika calon suaminya itu laki-laki yang berpenghasilan haram, atau laki-laki yang mudah menjatuhkan thalaq”.
Golongan ini berargumentasi dengan dalil-dalil berikut: pertama dengan firman Allah Swt: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah yang paling bertaqwa”.
Kedua, At-Tirmidzi meriwayatkan dengan isnad hasan, dari Abu Hatim Al-Mazini, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridha terhadap din dan akhlaqnya, maka terimalah lamaran pernikahannya. Jika kalian tidak melakukan yang demikian, maka akan terjadi fitnah diatas muka bumi dan kerusakan yang besar”.
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, meskipun pada dirinya …! Rasulullah menyahuti, “Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridha terhadap din dan akhlaqnya, maka terimalah lamaran pernikahannya”. Beliau mengucapkannya tiga kali.
Hadits ini merupakan arahan kepada para wali agar tidak menolak lamaran seorang laki-laki yang bagus dinnya, amanah, dan berakhlaq mulia, karena lebih mengutamakan yang nasabnya lebih terpandang, status sosialnya lebih tinggi, hartanya lebih melimpah, dan sebagainya. Sebab jika ini terjadi akan timbul fitnah yang dahsyat dan kerusakan yang tak berujung.
Ketiga, Rasulullah Saw pernah melamar Zainab bint jahsy untuk beliau nikahkan dengan Zaid ibn Haritsah. Tetapi, Zainab dan juga saudara laki-lakinya, Abdullah, menolak lamaran itu, karena merasa nasabnya jauh lebih tinggi sementara Zaid adalah seorang budak.
Maka turunlah firman Allah: “Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu perkara, memiliki pilihan dalam urusan mereka itu. Barangsiapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka dia telah sesat sesesat-sesatnya”. Sehingga, Abdullah menyerahkan semuanya kepada Nabi. Maka Nabi pun menikahkan Zainab dengan Zaid.
Imam Asy-Syaukani berkata, “Diriwayatkan dari Umar, Ibnu Mas’ud, Muhammad ibn Sirin, dan Umar ibn Abdil Aziz, dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim, pendapat demikian: “Yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw dengan mempertimbangkan kafaah adalah dalam hal din, sehingga seorang muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, demikian pula seorang wanita yang menjaga diri tidak boleh menikah dengan seorang pendosa.”
“Al-Qur’an dan As-Sunnah sama sekali tidak memaksudkan kafaah dengan makna selain itu. Seorang muslimah dilarang menikah dengan laki-laki pezina dan pendosa, meskipun laki-laki itu nasabnya terpandang, kaya raya, dan sebagainya. Seorang bekas budak boleh saja menikahi seorang wanita yang bernasab terpandang dan kaya raya, jika laki-laki itu muslim dan bertaqwa. Seorang laki-laki yang bukan Quraisy boleh saja menikahi wanita Quraisy. Seorang laki-laki yang bukan Hasyimi boleh saja menikahi wanita Hasyimi. Seorang laki-laki yang miskin juga boleh menikahi wanita yang kaya raya”. (Zaadul Ma’ad J IV, hal 22).