Kafaah Dalam Membangun Keluarga (3): Pendapat Para Ulama
Ketiga, sebagian besar fuqaha juga berpendapat sama dengan para ulama Malikiyah dan lainnya yang mengatakan bahwa, yang dimaksud dengan kafaah yang harus dipertimbangkan adalah dalam hal din, sehingga seorang laki-laki fasiq tidaklah sekufu dengan wanita yang menjaga diri.
Hanya saja, mereka tidak mencukupkan kafaah sampai disitu saja, tetapi meluaskan arti dan cakupannya pada hal-hal yang lain, antara lain;
Pertama adalah nasab. Maksudnya, orang Arab sekufu dengan orang Arab yang lainnya. Orang Quraisy sekufu dengan orang Quraisy yang lainnya. Orang Ajam tidak sekufu dengan orang Arab. Orang Arab umum tidak sekufu dengan orang Arab Quraisy.
Argumentasi yang mereka pakai:
HR Al-Hakim, dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Orang Arab itu sekufu dengan sesama Arab, dari kabilah apa saja, kecuali tukang tenun dan tukang bekam.” Ibnu Abi Hatim menanyakan hadits ini kepada bapaknya, maka bapaknya berkata, “Hadits ini dusta dan tidak ada asalnya.” Daruquthni berkomentar dalam Al-Ilal, “Hadits ini tidak sah.” Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits ini munkar dan maudhu’ (palsu).”
HR Al-Bazzar, dari Mu’adz ibn Jabal, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Orang Arab sekufu dengan sesama Arab, dan Mawali (campuran Arab dengan Ajam) sekufu dengan sesama Mawali.” Dalam sanad hadits ini terdapat Sulaiman ibn Abil Jaun (dan dia lemah).
Ibnul Qaththan berkata, Hadits ini tidak dikenal. Dalam isnadnya dikatakan dari Khalid ibn Mi’dan dari Mu’adz, padahal Khalid tidak pernah mendengar dari Mu’adz. Jadi tidaklah sah menyandarkan masalah kafaah dalam nasab pada hadits ini.
Atsar yang diriwayatkan oleh Daruquthni, dari Umar ibn Al-Khaththab ra, beliau berkata, “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu.”
Para ulama Syafi’iyah dan juga Hanafiyah mengakui sahnya mempertimbangkan nasab dalam masalah kafaah dalam pengertian sebagaimana tersebut diatas. Hanya saja diantara mereka terdapat perbedaan pendapat tentang apakah setiap Quraisy sekufu dengan Hasyimi dan Muthallibi.
Adapun ulama Syafi’iyah, mereka berpendapat bahwa tidak setiap laki-laki Quraisy sekufu dengan wanita Hasyimi dan Muthallibi. Mereka berdalil dengan hadits riwayat Wa-ilah ibnul Asqa’, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah diantara Banu Ismail, kemudian Dia memilih Quraisy diantara Kinanah, kemudian Dia memilih Bani Hasyim diantara Quraisy, kemudian Dia memilih aku diantara Bani Hasyim.
Jadi aku adalah yang terbaik diantara yang terbaik.” (HR Muslim). Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) berkata dalam Fathul Bari, “Yang benar ialah mengutamakan Bani Hasyim dan Bani Muthallib diatas yang lainnya. Adapun selain kedua suku itu, maka mereka semuanya sekufu satu sama lain.”
Sementara itu, yang benar, menurut As-Sayyid Sabiq, tidaklah demikian. Sesungguhnya Nabi Saw telah menikahkan kedua puterinya dengan Utsman ibn Affan. Beliau juga telah menikahkan Abul Ash ibnur Rabi’ dengan Zainab, puteri beliau. Padahal Utsman dan Abul Ash adalah keturunan Abdus Syams. Tak hanya itu, Nabi juga telah menikahkan Umar dengan puterinya, Ummu Kaltsum, padahal Umar adalah seorang Adawi.
Yang demikian ini karena keutamaan ilmu mengalahkan setiap nasab dan segenap keutamaan yang selainnya. Sehingga, seorang alim adalah sekufu dengan wanita yang manapun juga, apapun nasab wanita itu, meskipun laki-laki alim itu nasabnya tidak terpandang.
Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi Saw, “Manusia itu (ibarat) bahan tambang, ada yang seperti emas dan ada yang seperti perak. Yang paling baik diantara mereka pada masa jahiliyah tetap merupakan yang paling baik dalam (lingkungan) Islam, jika mereka orang-orang yang paham.”
Juga berdasarkan firman Allah Swt, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang dikaruniai ilmu beberapa derajat”. (QS Al-Mujadalah: 11). Demikian pula Allah berfirman, “Katakan: Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu?”
Demikianlah pendapat para ulama Syafi’iyah tentang nasab bagi orang-orang Arab. Adapun bagi orang-orang Ajam, diantara mereka ada yang berkata, “Kafaah diantara mereka tidaklah diukur dengan nasab”.
Tetapi diriwayatkan dari Imam Syafi’i dan kebanyakan sahabat-sahabatnya bahwa orang-orang Ajam juga bertingkat-tingkat nasabnya (dan hal itu dipertimbangkan dalam masalah kafaah), dikiaskan dengan hal yang serupa di kalangan orang-orang Arab.
Kedua, status merdeka atau budak. Artinya, laki-laki budak tidak sekufu dengan wanita merdeka. Laki-laki yang pernah menjadi budak tidak sekufu dengan wanita yang sama sekali tidak pernah menjadi budak. Demikian seterusnya.
Ketiga, bapak dan kakek-kakeknya muslim atau bukan. Ini hanya berlaku untuk selain orang Arab. Yakni, apakah seseorang memiliki bapak, kakek, dan seterusnya yang beragama Islam atau tidak.
Adapun orang Arab maka tidak perlu memperhatikan masalah ini, karena mereka sudah cukup dengan hanya mempertimbangkan masalah nasab. Yang demikian ini karena mereka hanya berbangga-bangga dengan nasab, bukan dengan kenyataan bahwa nenek moyangnya muslim atau bukan.
Keempat, status sosial dan pangkat atau profesi. Argumentasi yang dipakai adalah riwayat Al-Hakim, dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Orang Arab itu sekufu dengan sesama Arab, dari kabilah apa saja, kecuali tukang tenun dan tukang bekam.”
Ibnu Abi Hatim menanyakan hadits ini kepada bapaknya, maka bapaknya berkata, “Hadits ini dusta dan tidak ada asalnya.” Daruquthni berkomentar dalam Al-Ilal, “Hadits ini tidak sah.” Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits ini munkar dan maudhu’ (palsu).”
Suatu saat dikatakan kepada Imam Ahmad ibn Hanbal, “Mengapa Anda menyetujui pendapat ini padahal Anda melemahkan riwayatnya?” Maka beliau menjawab, “Karena kenyataannya begitulah yang dipraktekkan.”
Kelima, kekayaan. Argumentasi yang dipakai ialah hadits riwayat Samrah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Status sosial adalah kekayaan, sedangkan kemuliaan adalah ketakwaan.”
Tetapi sebagian ulama menentang dipertimbangkannya kekayaan dalam masalah kafaah, dengan alasan bahwa kekayaan itu semu dan sementara, serta bukan sesuatu yang dijadikan standar muru’ah.
Adapun sahabat-sahabat Abu Hanifah, mereka mempertimbangkan kekayaan, tetapi hanya sebatas kemampuan memberikan mahar yang diminta dan nafkah yang cukup dan pantas. Jika seorang laki-laki tidak bisa memberikan salah satu dari dua hal itu atau bahkan keduanya, maka ia tidak sekufu dengan wanita yang ingin dinikahinya.
Abu Yusuf mengartikan kafaah dalam hal kekayaan hanya sebatas kemampuan memberikan nafkah yang cukup dan pantas, tidak termasuk mahar.
Sebuah riwayat dari Imam Ahmad menyetujui dipertimbangkannya kekayaan dalam masalah kafaah, karena seorang wanita dari keluarga kaya akan menderita hidup bersama laki-laki yang miskin, dan karena manusia menganggap kemiskinan sebagai kekurangan (artinya orang yang kaya dimuliakan sebagaimana dimuliakannya orang yang nasabnya terpandang).
Keenam, memiliki kekurangan atau cacat fisik atau tidak. Dalam Kitab Al-Mughni disebutkan: “Terbebasnya seorang laki-laki dari kekurangan atau cacat fisik tidaklah termasuk dalam pengertian kafaah, karena para ulama sudah sepakat akan sahnya pernikahan laki-laki yang memiliki kekurangan atau cacat fisik.
Hanya saja kekurangan atau cacat fisik pada si laki-laki menyebabkan adanya hak pilih bagi si wanita (untuk menerima pernikahan atau menolaknya), tidak bagi sang wali, karena si wanita sajalah yang akan menanggung masalah ini. Tetapi wali memiliki hak untuk menolak pernikahan dengan laki-laki yang lumpuh, berpenyakit lepra, atau gila. Wallahu a’lam bisshawab.