KULIAHALISLAM.COM – Mafhum, pada dimensi fiqh dikenal dua aliran besar, ahl al-hadits dan ahl al-ra’y. Aliran pertama pemahaman atas teks cenderung lebih tekstualis (harfiah) dan mempercayai sumber berita, sementara yang kedua lebih rasional dan lebih melihat kandungan dan isi berita. Kendati demikian, banyak orang menyebut yang pertama sebagai aliran tradisionalis, dan yang kedua aliran rasionalis.
Acap kali ada beberapa pertanyaan di lontarkan oleh sebagian seseorang dan ini nyaris terjadi. Adalah apakah teks harus diterima menurut arti lahirnya atau bisa dita’wil (tafsir)? Apakah hukum-hukum yang terdapat dalam teks bisa ditanyakan “mengapa”? atau tidak bisa (hal al-ahkam mu’allalah bi illah am la)? Apakah akal bisa bertentangan dengan wahyu? Bagaimana jika bunyi teks berlawanan dengan logika-rasional atau dengan realitas empiris, manakah yang harus diprioritaskan?
Pertanyaan-pertanyaan ini selalu saja dijawab dengan pandangan yang beragam dengan argumentasinya masing-masing. Yang jelas, jawabannya: Tak ada perbedaan dalam Tujuan. Mengapa demikian? Karena jika kita telisik, sesungguhnya kedua aliran tersebut tidak jauh berbeda dalam semangat dan tujuannya.
Semuanya sepakat bahwa hukum-hukum Islam adalah untuk mewujudkan kebaikan, keadilan dan menegakkan kemaslahatan (kesejahteraan) manusia. Kebaikan, keadilan dan kemaslahatan (kesejahteraan) adalah tuntutan umat manusia di tempat manapun dan pada zaman kapanpun. Kita menemukan paradigma ini pada semua ahli fiqh Islam.
Izz al-Din bin Abd al-Salam ( 578-606 H), berpredikat Sulthan al-Ulama mengatakan:
التكاليف كلها راجعة الى مصالح العباد فى دنياهم وأخراهم
“Semua hukum Tuhan ditetapkan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya di dunia maupun akhirat”. (Qawaid al-ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II, hlm. 73).
Di tempat lain al-Izz mengatakan:
كل تصرف تقاعد عن تحصيل مقصوده فهو باطل
“Setiap tindakan atau keputusan hukum yang tidak menghasilkan tujuannya, maka ia batal dengan sendirinya”. (Qawaid al-Ahkam, II, hlm. 121).
Pandangan dan pendirian mereka yang beragam tersebut sesungguhnya merupakan akibat dari perbedaan pemahaman atau pemaknaan mereka atas teks-teks al-Qur’an maupun Hadits Nabi Saw. Baik karena tingkat pengetahuan yang berbeda maupun karena pengalaman yang berbeda dan kepentingan yang juga berbeda-beda.
Tidak seorang muslim pun yang ingin menafikan al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Sebab, menafikan keduanya mengakibatkan ia kehilangan identitasnya sebagai muslim. Terkait dengan hal ini, Prof. Quraish Shihab, pernah mengutip pernyataan Dr. Husein al-Dzahabi mantan Menteri Waqaf Mesir dan Guru Besar Universitas al-Azhar yang mengatakan: “Kebenaran Agama adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaaan cara keberagaman umat manusia.”
Prof. Quraish, ahli Tafsir Indonesia terkemuka kemudian menegaskan: “Jika ini dapat dipahami niscaya tidak akan timbul kelompok-kelompok yang saling mengkafirkan.” (baca: Agama dan Pluralitas Bangsa, P3M, 1991, hlm. 40). Dr. Faruq Abu Zaid, guru besar universitas Ain Syams, Kairo, dalam bukunya “Al-Syari’ah al-Islamiyah baina al-Muhafizhin wa al-Mujaddidin” (Syariah Islam antara tradisionalis dan modern) mengatakan:
ان مذاهب الفقه الاسلامى ليست سوى إنعكاس لتطورالحياة الاجتماعية فى العالم الاسلامى
“Bahwa mazhab-mazhab (aliran-aliran) keagamaan sejatinya adalah refleksi sosio-kultural mereka masing-masing.”
Bagaimana para pendiri mazhab (Aimmah al-Madzahib) menyikapi pandangan orang lain yang berbeda dengan dirinya?. Sejarah mencatat bahwa mereka adalah orang-orang yang paling toleran terhadap pandangan orang lain, paling rendah hati dan saling menghargai. Imam Abu Hanifah misalnya dengan rendah hati mengatakan: “Inilah yang terbaik yang bisa aku temukan dari eksplorasi akalku atas kitab Allah dan sunnah Nabi. Jika ada temuan yang lebih baik, aku akan menghargainya.”
Begitu juga para Imam yang lain, menyampaikan hal yang senada. Mereka selalu mengingat sabda Nabi: “Jika seseorang berijtihad dan ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, dan jika salah mendapat satu pahala.”
Perbedaan pemaknaan dan pemahaman atas teks keagamaan atau bahkan teks-teks yang lain, pada akhirnya perlu dicari jalan keluarnya melalui mekanisme yang paling baik dan sejalan dengan perintah al-Qur’an.
Adalah dengan dialog yang jujur (musyawarah) dan cara-cara lain yang saling menghargai, untuk mencari titik temu, mencari kebenaran, dalam rangka mewujudkan kebaikan bersama dan keadilan seosial, bukan mencari-cari pembenaran diri, dan tidak pula dengan cara atau sikap mengklaim pendapatnyalah yang paling benar sendiri sambil mencaci-maki pendapat yang lain. Apalagi dengan menggunakan kekerasan, termasuk membunuh karakter seseorang atau kelompok.
Akhiran, percayalah, tidak ada yang paling dirugikan dan paling disengsarakan dari perseteruan, kesombongan diri dan tindakan kekerasan ini, kecuali warga dan bangsa muslim sendiri. Sebaliknya, tak ada sikap dan cara yang paling memajukan, menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat muslim, kecuali kebersamaan, saling menghargai dan rendah hati di antara mereka, sebagaimana diajarkan Tuhan dan Nabi serta para ulama generasi awal. Wallahu a’lam bisshawab.