(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
KULIAHALISLAM.COM – Satu Juni kembali diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila, setelah “cuti” di era orde baru. Berbagai opini dan pertanyaan berkembang dalam masyarakat terus bergulir.
Kenapa hari lahir Pancasila perlu diperingati, bahkan menjadi hari libur nasional? Apakah dengan adanya hari peringatan ini, menjadikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara NKRI akan semakin “sakti” atau sesungguhnya telah kehilangan fungsi dan perannya dalam mengawal misi negara dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan yang adil, damai dan atau sejahtera? Di manakah hadirnya Pancasila, jika sampai saat ini, elemen kebangsaan yang sarat dengan berbagai keragaman (budaya, agama, suku, golongan) mulai tergerus arus globalisasi dan pasar bebas.
Watak demokrasi liberal yang telah memberi ruang kebebasan individu yang teramat masif menjadi anti tesis bagi praksis Pancasila? Kenyataan yang teramat mendasar dan sederhana, di manakah Pancasila berada di saat praktik korupsi di birokrasi ibarat lingkaran setan, potret kemiskinan dan pengangguran makin hari semakin telanjang. Demikian juga konflik yang bernuansa SARA yang mengancam kesatuan dan persatuan sebagai warga NKRI semakin menunjukkan potensi yang mengkhawatirkan.
Akankah peringatan Pancasila, menjadi jargon yang sarat dengan seremonial semata. Ataukah sekedar pajangan foto di berbagai sudut dan ruang gedung yang teramat megah? Untuk memuaskan dan hiasan semata? Ketidakajegan dan ketidakjelasan orientasi mengelola negeri dengan ideologi Pancasila, makin transparan dan sangat erat dengan kepentingan kuasa yang ambigu.
Di setiap sudut birokrasi telah dipenuhi sosok-sosok birokrat tanpa hati nurani dan moralitas. Hukum positif yang seyogianya mampu menjadi pedoman bersama dalam mencapai tertib sosial, kini hanyalah satu fatamorgana dan kumpulan di atas kertas semata dan hanya hapalan para pembuat dan penjaga di lembaga hukum. Demikian juga, kehadiran agama dan pendidikan menjadi kehilangan makna dan barang langka serta teralienasi dalam kehidupan sehari-hari. Dehumanisasi terjadi dalam semua level kehidupan, aura materialisme dan konsumerisme menjadi ideologi baru para birokrat. Kemaruk atas nama kekayaan materi yang berlimpah dengan berbagai cara yang tidak halal telah menjadi gaya keseharian.
Politik Kultural Pancasila?
Dengan berbagai pertanyaan yang berkembang dalam masyarakat, sadar atau tidak, jangan-jangan kita telah menjadi bagian dari pelemahan Pancasila, karena bebagai alasan dan pembenaran, bahwa Pancasila dibuat tak berdaya oleh para elite negeri sebagai pengelola negara. Tindakan para elite negara yang kontra Pancasila terpapar dalam akumulasi kasus-kasus pelanggaran hukum, politik dan ekonomi yang “dimainkan” atau diperankan para elite negeri dari satu rezim ke rezim berikutnya,yang tak pernah tuntas diselesaikan, baik di lembaga ekskutif, legislatif maupun di yudikatif. Politik kultural Pancasila dikonstruksi sesuai selera penguasa dan jauh dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Sejarah Pancasila
Pancasila sebagai sebagai dasar dan ideologi negara, sudah seyogianya mendapat penguatan komitmen yang serius dan sekaligus kritikan yang konstruktif dan memadai, agar tetap relevan dan penting dalam pengelolaan suatu negara NKRI. Dalam konteks ini, peringatan hari lahir menjadi teramat penting, bukan hanya sekedar gerakan upacara yang penuh dengan hingar bingar pencitraan atau sarat dengan jargon simbol yang artifisial tanpa makna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah mencatat bahwa sejak meletus pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965, dan terjadi peralihan rezim, dari Soekarno ke Soeharto. Pada tahun 1970, tanggal 1 Juni tidak lagi diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Selama Orde Baru, tanggal 1 Juni kalah populer, bahkan tenggelam oleh Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober.
Perlu diingat pula, gagasan Jean Jacques Rousseau (1957), mengingatkan bahwa suatu ideologi merupakan kontrak sosial dan konstruksi manusia sebagai subjek dalam konteks ruang dan waktu sesuai kepentingan dan kebutuhannya. Sebagai warga sebuah negara bebas dan karenanya menjadi bagian dari pemerintahan yang sedang berkuasa.
Namun pada praktiknya kebebasan selalu berada pada belenggu orang lain yang menganggap dirinya penguasa atau tuan yang dianggap lebih tinggi dari dirinya. Dalam konteks kekuasaan, suatu ideologi tentunya hanyalah satu kumpulan kesepakatan bersama yang sangat temporal dan dinamis. Selama orang dipaksa atau tidak untuk menerima, mematuhi dan atau mencintainya, dan selama orang tersebut patuh, maka tak ada persoalan di dalamnya.
Dalam koridor ini, Pancasila seyogianya dapat menjadi pedoman dan solusi bagi semua elemen bangsa dalam mencapai tujuannya sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Alih-alih tantangan Pancasila dalam konteks liberalisasi ekonomi, politik dan budaya global. Jika Pancasila tak lagi mampu menemukan jati dirinya, bahkan tercerabut dari situasi kekinian, apapun langkah yang dilakukan para elite negeri (termasuk peringatan, seminar dan pekan Pancasila, dlsb.) hanya akan menambah semakin terasingnya Pancasila, kecuali hanya ada dalam figura dan seremonial semata.(PANCASILA PARADOKS TELAAH PRAKSIS SOSIAL POLITIK). Oleh:1Suwandi Sumartias, 1Dosen Komunikasi Politik Di Fikom Unpad. 2Hamim, 2Dosen Fisip UNTAG Surabaya. Hlm 9-11).
Pancasila Falsafah Negara
Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila merupakan karunia yang tiada tara dari Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Pancasila menjadi sumber cahaya bagi seluruh bangsa Indonesia dalam membangun peradaban bangsanya di masa-masa selanjutnya.
Dalam membangun bangsa, Pancasila merupakan sumber energi sebagai kekuatan dan sekaligus sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, menjadi alat pemersatu membangun kerukunan berbangsa, dan sebagai pandangan hidup sehari-hari bagi bangsa Indonesia.
Sebagai dasar, ideologi, dan falsafah bangsa, Pancasila selalu diuji ketahanannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang multikultural seperti Indonesia. Sejak disahkannya sebagai azas dan landasan negara, mulai dari jaman awal kemerdekaan, jaman Orla, Orba, dan bahkan sampai dewasa ini, Pancasila selalu menarik untuk dibicarakan. Ini berarti bahwa semakin penting sebuah peristiwa maka semakin tinggi nilai simboliknya, sehingga semakin terbuka dan semakin dinamis dalam menghadapi gejolak.
Pancasila sebagai ideologi merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak, dan ini bisa menampakkan diri dalam pengertian formal atau informal. Menolak Pancasila sebagai ideologi tidak masuk akal, bukan hanya karena penolakan semacam ini bersifat ideologis, tetapi juga karena hal ini akan potensial mempersempit ’keleluasaan berpikir’ yang harus dijaga berdasarkan prinsip kebebasan, yang menyarankan bahwa kemauan setiap orang atau kelompok untuk mengartikulasikan dan merumuskan pemahaman tertentu tentang kehidupan harus tetap dikembangkan. Kebebasan berpikir merupakan hak termasuk elit penguasa yang memang berkepentingan dengan ideologi formal, maupun warga negara biasa dan masyarakat sipil yang berkepentingan dengan bagaimana kedua pengertian ideologi tersebut dalam praktek mempengaruhi kehidupan mereka.
Sekali lagi, ideologi penting dan merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak karena dalam setiap masyarakat selalu diharapkan tersedia keberadaan sebuah struktur bersama yang terbentuk dari idea- idea dan karena itu, ‘salah satu fungsi penting dari lembaga sosial adalah mempertahankan dan menyebarkan ideologi bersama (common ideology) diantara mereka yang membentuk sebuah masyarakat’. Dalam hal ini, keberadaan Pancasila sebagai Ideologi bersama, atau yang oleh Bung Karno disebut sebagai Weltanchauung, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan sangat diperlukan. Bung Karno menyadari betul bahwa bangsa Indonesia terdiri dari banyak faham. Itulah mengapa Pancasila disebutnya dengan menggali Pancasila.
Bahkan Bung Karno mengatakan, “tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’ yang ‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham didalamnya’. Disinilah peran Pancasila sebagai filsafat dasar sangat dibutuhkan menjadi payung bagi seluruh rakyat Indonesia.(PANCASILA SEBAGAI PHILOSOPHISCHE GRONDSLAG1. Oleh: Hermawan Prasojo. Hlm, 9-10).
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara, maka nilai-nilai kehidupan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila, namun pada kenyataannya, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila telah dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita praktekkan hingga sekarang. Hal ini berarti bahwa semua nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah ada dalam kehidupan rakyat Indonesia sejak zaman nenek moyang. Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan pembukaan Hukum
Dasar, yang oleh Mr. M. Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Di dalam rancangan pembukaan alinea keempat terdapat rumusan Pancasila yang tata urutannya tersusun secara sistematis:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Selain itu, dalam piagam Jakarta pada alenia ketiga juga memuat rumusan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang pertama berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”. Kalimat ini merupakan cetusan hati nurani bangsa Indonesia yang diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga dapat disebut sebagai declarationof Indonesian Independence.(ESENSI PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA. Oleh: AFAN ANANTA SHAKTI. STIE AKBP KBP PADANG. Hlm, 1-2).
Fungsi dan Kedudukan Pancasila
Berikut ini adalah beberapa fungsi dan kedudukan Pancasila bagi negara kesatuan Repiblik Indonesia.
- Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia.
- Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia.
- Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.
- Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
- Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
- Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia pada waktu mendirikan.
- Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.(PERSPEKTIF PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN HIDUP BANGSA. Oleh: Muhammad Fadhil1, Satria Hudaf akhriansyah2, William Kristo Wijaya3, Riska Andi Fitriono4. 1,2,3). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelead Maret. INTELEKTIVA. Jurnal Ekonomi Sosial dan Humaniora. Hlm, 3).
Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Pancasila merupakan pandangan hidup dan kepribadian bangsa yang nilai-nilainya bersifat nasional yang mendasari kebudayaan bangsa, maka nilai-nilai tersebut merupakan perwujudan dari aspirasi (cita-cita hidup bangsa)(Muzayin, 1992:16). Dengan Pancasila, perpecahan bangsa Indonesia akan Urgensi Memahai dan….. Wendy Anugrah Octavian 125 mudah dihindari karena pandangan Pancasila bertumpu pada pola hidup yang berdasarkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian sehingga perbedaan apapun yang ada dapat dibina menjadi suatu pola kehidupan yang dinamis, penuh dengan keanekaragaman yang berada dalam satu keseragaman yang kokoh (Muzayin, 1992:16).
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa memuat cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea kedua yang berbunyi “Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Pikiran-pikiran yang mendalam dalam Pancasila merupakan hasil dari kajian yang sistematis, teratur, dan terukur sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Gagasan mengenai wujud kehidupan yang lebih baik Pancasila memiliki nilai yang tetap dan tidak bisa dirubah kehidupan bermasyarakat harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Dengan peraturan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, maka perasaan adil dan tidak adil dapat diminimalkan. Hal tersebut dikarenakan Pancasila sebagai dasar negara menaungi dan memberikan gambaran yang jelas tentang peraturan tersebut berlaku untuk semua tanpa ada perlakuan diskriminatif bagi siapapun. Oleh karena itulah, Pancasila memberikan arah tentang hukum harus menciptakan keadaan negara yang lebih baik dengan berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Dengan demikian, diharapkan warga negara dapat memahami dan melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari kegiatan-kegiatan sederhana yang menggambarkan hadirnya nilai-nilai Pancasila tersebut dalam masyarakat. Misalnya saja, masyarakat selalu bahu-membahu dalam ikut berpartisipasi membersihkan lingkungan, saling menolong, dan menjaga satu sama lain. Hal tersebut mengindikasikan bahwa nilai-nilai Pancasila telah terinternalisasi dalam kehidupan bermasyarakat(Anugrah, 2018).
Seorang ahli sejarah, Rutgers, mengatakan, “Dari semua negara-negara Asia Tenggara, Indonesia-lah yang dalam Konstitusinya, pertama-tama dan paling tegas melakukan latar belakang psikologis yang sesungguhnya daripada revolusi melawan penjajah”. Dalam filsafat negaranya, yaitu Pancasila, dilukiskannya alasan-alasan secara lebih mendalam dari revolusi-revolusi itu (Latif, 2011:47). Dari pendapat tersebut, Indonesia pun pernah merasakan berkembangnya nilai-nilai ideologi-ideologi besar dunia berkembang dalam gerak tubuh pemerintahannya.
Menurut Notonagoro, bahwa nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik-hierarchis, yang mana sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan sosial sebagai tujuannya (Darmodihardjo, 1978).(Hlm, 68-68).
Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama ini dilambangkan dengan bintang lima sudut. Di mana, bintang tunggal dalam lambang ini diartikan sebagai cahaya kerohanian yang dipancarkan Tuhan kepada setiap manusia. Jumlah bintang yang hanya satu atau tunggal ini juga dilambangkan keesaan Tuhan. Sila pertama ini mengartikan bahwa kita sebagai warga negara Indonesia mempercayai dan bertakwa pada Tuhan. Tentunya hal ini disesuaikan dengan agama dan kepercayaan yang dimiliki oleh setiap individu. Oleh karena itu sebagai warga negara yang menjunjung tinggi nilai Pancasila harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun pengamalan Pancasila sila pertama dalam kehidupan sehari-hari.
- Mengimani adanya Tuhan yang Maha Esa serta mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya.
- Menerapkan toleransi antar umat beragama.
- Tidak melakukan pemaksaan dan menghormati kebebasan beragama.
- Tidak merendahkan atau mencemooh agama maupun pemeluk agama lainnya.
Sila Kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Sila ke-2 dalam Pancasila dilambangkan dengan rantai emas dengan latar berwarna merah.Rantai tersebut memiliki mata rantai yang berbentuk segi empat dan lingkaran yang saling berkaitan. Mata rantai segi empat melambangkan perempuan. Simbol ini mengartikan antar kaum yang harus bersatu, bekerja sama sehingga kuat seperti rantai.
Sila kedua ini kita sebagai warga negara diminta untuk memahami bahwa setiap manusia memiliki derajat yang sama, sehingga kita harus saling menyayangi satu sama lain.Kita juga harus saling menjaga dan membantu sesama, membela kebenaran dan keadilan, dan bekerjasama untuk kedamaian negara kita. Adapun hal-hal yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu:
- Mengakui persamaan hak, kewajiban, dan kedudukan semua orang sama di mata hukum, agama, sosial, dan lainnya.
- Saling mengedepankan sikap toleransi atau tenggang rasa antar masyarakat.
- Menjalin pertemanan dengan siapa saja tanpa membedakan suku, ras, agama dan lainnya.
- Berani menyuarakan kebenaran untuk mempertahankan keadilan.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Sila ketiga dilambangkan dengan pohon beringin. Jenis pohon beringin adalah spesies pohon yang kuat, besar dan berdaun rimbun. Pohon beringin diartikan sebagai tempat berteduh sekaligus bentuk persatuan masyarakat Indonesia yang sangat beragam.
Sila ketiga ini berarti kita harus menempatkan kesatuan, persatuan, dan kepentingan negara dari kepentingan masing-masing. Kita harus mempunyai kepribadian yang rela berkorban demi negara Indonesia, mencintai bangsa Indonesia dan tanah air, serta bangga pada negara. Dalam mewujudkan hal tersebut kita harus mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari diantaranya.
- Bangga berbahasa kesatuan yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dalam komunikasi masyarakat.
- Melestarikan budaya Indonesia seperti baju adat, tarian, alat, bahasa, alat music, dan lain dalam kehidupan sehari-hari.
- Membantu keluarga, teman, dan kerabat yang mengalami kesulitan.
- Saling bekerja sma menjaga keutuhan negara NKRI dengan berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila.
- Gotong royong.
Sila Keempat: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Sila ini dilambangkan dengan kepala banteng. Kepala banteng memiliki filosofi sebagai hewan sosial yang suka berkumpul. Berkumpul disini kemudian diartikan sebagai kegiatan musyawarah antar orang-orang untuk melahirkan suatu keputusan. Pastinya, secara adil dan atas keputusan bersama semua pihak.
Sila keempat ini mengajak kita untuk tidak memaksakan kehendaknya pada orang lain dan mengutamakan kepentingan negara dan orang lain. Terkadang kita akan menemukan perbedaan pendapat dan cara pandang. Namun, kita harus menyelesaikannya dengan cara bermusyawarah atau berdiskusi. Dalam sila keempat ini adapun hal-hal yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu:
- Melakukan musyawarah jika antar masyarakat memiliki pendapat yang berbeda.
- Mengedepankan toleransi dan keadilan dalam mengemukakan dan mendengar pendapat dalam musyawarah.
- Belajar untuk tidak egois
- Keputusan akhir dalam musyawarah harus disetujui oleh semua pihak karena atas keputusan bersama.
Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima Pancasila ini dilambangkan dengan padi dan kapas. Hal ini melambangkan kebutuhan dasar setiap manusia, yaitu pangan dan sandang. Pangan diartikan dengan kebutuhan pokok kita yaitu makan dan sandang kebutuhan pakaian kita. Oleh karena itu, padi dan kapas menjadi simbol dalam sila kelima ini.
Makna dari sila ini berarti mengembangkan perbuatan luhur dengan cara kekeluargaan dan gotong royong, selalu bersikap adil. Selain itu, kita harus seimbang antara hak dan kewajiban dengan juga menghormati hak-hak orang lain. Hal yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya.
- Mengedepankan sikap adil antara sesama manusia.
- Melaksanakan kewajiban dan menghormati hak orang lain. Kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dikedepankan dibandingkan kemakmuran pribadi atau golongan.(Implementasi Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Arlanda Nissa Rahma*, Dinie Anggraeni Dewi. Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Kampus Daerah Cibiru Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Jawa Barat. Hlm, 69-71).
Kesimpulan
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia ,Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa Indonesia sejak dahulu.
Pancasila merupakan dasar negara bangsa Indonesia. Pancasila merupakan identitas bangsa Indonesia. Pancasila terdiri dari unsur ketuhanan merupakan unsur yang percaya akan suatu agama masing-masing dan sebagai manusia harus senantiasa taat kepada Tuhan dengan cara menaati semua perintah dan menghindari segala larangannya, unsur kemanusiaan sebagai manusia diciptakan memiliki rasa kemanusiaan dengan adil dan beradab dalam kehidupan masyarakat, unsur persatuan dengan menjunjung tinggi nilai rukun bersatu dan kekeluargaan yang sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia, unsur kerakyatan masyarakat bisa menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah untuk mendapatkan hasil yang disetujui oleh banyak pihak dan unsur keadilan masyarakat Indonesia memiliki kedudukan yang sama dalam hukum, memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai warga negara kita perlu memahami dasar negara kita dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari agar nilai-nilai pancasila tetap terjaga keutuhan dan kesatuan.Karena nilai-nilai pancasila berasal dari kita dan harus dilestarikan.
Referensi:
- LAHIRNYA PANCASILA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA INDONESIA. Rizky Surya Nurmansyah, Program Studi Sistem Informasi.
- PERSPEKTIF PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN HIDUP BANGSA. Oleh: Muhammad Fadhil1, Satria Hudaf akhriansyah2, William Kristo Wijaya3, Riska Andi Fitriono4. 1,2,3). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelead Maret. INTELEKTIVA. Jurnal Ekonomi Sosial dan Humaniora.
- PANCASILA PARADOKS TELAAH PRAKSIS SOSIAL POLITIK). Oleh:1Suwandi Sumartias, 1Komunikasi Politik Di Fikom Unpad. 2Hamim, 2 Fisip UNTAG Surabaya.
- PANCASILA SEBAGAI PHILOSOPHISCHE GRONDSLAG1. Oleh : Hermawan Prasojo.
- ESENSI PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA. Oleh: AFAN ANANTA SHAKTI. STIE AKBP KBP PADANG.
- Implementasi Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Oleh: Arlanda Nissa Rahma*, Dinie Anggraeni Dewi, Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Kampus Daerah Cibiru Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Jawa Barat. Jurpis, Volume 18, No. 1, Bulan Januari-Juni 2021.