Oleh: Azifah Lailatuz Zahroh*
Islam termasuk agama yang menjunjung tinggi akhlaqul karimah (budi pekerti) menjadi komponen inklusif dalam metode ajaran Islam yang mencakup aqidah (dogma atau keyakinan agama) dan syariah (aturan Allah untuk seluruh manusia). Diantara akhlaqul karimah yang imperatif dalam Islam, salah satunya yakni sabar.
Sabar sangat dibutuhkan bagi seluruh manusia yang ada di dunia dalam menjalani kehidupannya yang tidak pernah lepas dari berbagai macam cobaan maupun ujian, serta kegagalan dalam mencapai suatu keberhasilan. Di dalam Alqur’an terdapat banyak redaksi ayat-ayat yang membincangkan tentang kesabaran.
Namun dalam realitanya masih banyak orang yang mengalami kekeliruan dalam memaknai dan mengimplementasikan kesabaran. Hal ini mungkin disebabkan karena redaksi-redaksi yang menyatakan kata sabar dalam Alqur’an yang masih bersifat umum.
Secara etimologi, sabar berasal dari kata serapan bahasa Arab, yakni “sabr” yang berarti menahan atau mencegah. Menurut perspektif Al-Ashfahani, sabar mempunyai nama yang bervariasi begitu pula definisinya.
Sedangkan secara terminologis definisi sabar sangat bervariasi, di antaranya, menurut perspektif al-Muhashibi, sabar adalah mengurung diri di tempat ubudiyyah dan membuang rasa gelisah.
Adapula definisi sabar menurut perspektif Al-Ghazali yang artinya suatu kesanggupan mengendalikan diri disaat hawa nafsu berkobar, ataupun kapabilitas untuk memutuskan mengamalkan perintah agama saat muncul desakan nafsu.
Berbeda dengan Dzun Nun Al-Misri, ia mendefinisikan sabar dengan meninggalakn larangan Allah SWT, bersikap tenang disaat mengalami musibah, serta memperlihatkan dirinya orang yang berkecukupan, walaupun ia bukan orang berada.
Dalam Alqur’an Allah SWT. menginstruksikan sabar kepada seluruh umat manusia untuk menaikkan harkat dan martabat mereka. Salah satu surat yang menginstruksikan sabar yakni terdapat pada Surat Al-Baqarah ayat 155:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Artinya:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira ini kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah:155).
Pada surat Al-Baqarah ini, Allah SWT menjelaskan ketetapan memberikan ujian kepada seluruh umat manusia, ujian-ujian tersebut uraikan menjadi beberapa macam:
Pertama, ujian ketakutan. Dalam memaknai ujian ketakutan ini ada dua opini, yakni:
- Ibnu Abbas memaknai dengan rasa takut terhadap kelompok musuh dan goncangan ketika di medan perang.
- Imam Syafi’i memaknai ujian ketakutan yaitu rasa taku kepada Allah SWT.
Kedua, ujian kelaparan. Maksutnya adalah Allah SWT memberikan ujian dengan rasa lapar yang luar biasa. Sedangkan menurut Imam Syafi’i ujian rasa lapar itu pasti akan diberikan Allah kepada hambanya yang mukmin pada saat bulan ramadan, yaitu disaat mereka diwajibkan untuk melakukan ibadah puasa di bulan ramadan.
Ketiga, ujian kekurangan harta. Maksud dari kekurangan harta disini yaitu dikarenakan orang muslim pada zaman dulu sibuk memerangi orang kafir, sehingga menyebabkan mereka sedikit melakukan kegiatan berdagan dan bekerja. sedangkan menurut Imam Syafi’i maksud dari ujian kekurangan harta ini, yaitu berkurangnya harta dikarenakan melakukan kewajiban membayar zakat.
Keempat, ujian kekurangan jiwa. Menurut Ibnu Abbas, berkurangnya jiwa ini dikarenakan adanya kematian baik dimedan jihad maupun karena pembunuhan. Sedangkan, menurut Imam Syafi’i, berkurangnya jiwa ini dikarenakan kematian yang penyebabnya adalah penyakit.
Kelima, ujian kekurangan buah-buahan. Menurut Imam Syafi’i, yang dimaksud denga kata “buah” disini adalah anak (buah hati). Artinya, akan ada ujian yang diberikan kepada orang tua dengan meninggalnya buah hati yang dicintainya. Sedangkan, menurut Ibnu Abbas, maksud dari ayat ini yaitu berkurangnya tumbuh-tumbuhan, serta lenyapnya keberkahan.
Oleh karena itu, setiap orang yang sanggup menahan diri dari bertutur dan bertindak yang memperlihatkan sikap tidak terima akan takdir yang diterimanya, maka ia termasuk orang yang bersikap sabar, dan Allah SWT akan memberikan imbalan pahala atas kesabarannya.
Sabar memiliki berbagai macam bentuk, seperti halnya yang terdapat dalam hadis yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, Rasulullah bersabda: “Sabar dalam Alqur’an terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu sabar dalam melaksanakan perintah Allah, sabar dalam menjauhi larangan Allah, dan sabar pada saat pertama kali tertimpa musibah.”
Melaksanakan perintah Allah SWT seperti sabar dalam berbakti kepada orang tua. Implementasi ini dapat dilihat pada kisah Uwais Al-Qarni yang dengan sabar merawat dan tidak pernah meninggalkan ibunya yang dalam kondisi lumpuh dan buta sendirian, serta mewujudkan keinginan ibunya untuk melaksanakan ibadah haji. Namun karena Uwais tidak memiliki biaya, ia akhirnya mencari solusi dengan membeli seekor anak sapi.
Uwais menggunakan anak sapi tersebut untuk berlatih membentuk otot pada tubuhnya dengan cara menggendong sapi itu setiap pagi naik turun bukit. Ia berlatih menggendong anak sapi itu, agar kuat menggendong ibunya saat melakukan perjalanan ibadah haij dari Yaman ke Mekkah.
Dia rela melakukan perjalanan yang jauh dan sulit demi mewujudkan keinginan ibunya. Pada saat wukuf di Ka’bah Uwais menggendong ibunya dengan berjalan tegap. Karena ketaatan pada ibunya inilah yang menyebabkan Uwais Al-Qarni mendapat julukan penghuni langit.
Dari artikel ini dapat disimpulkan, bahwa Allah SWT memerintahkan kepada setiap umat manusia untuk bersabar, dan Allah Swt. akan memberikan imbalan pahala terhadap orang yang mau bersabar. Seperti halnya Uwais Al-Qarni yang bersabar dalam merawat ibunya yang lumpuh dan buta, sampai ia mendapat julukan penghuni langit.
Referensi:
- https://tafsirweb.com/624-surat-al-baqarah-ayat-155.html
- https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-155
- Amrulloh Syarbini, Jumari Haryadi, Dahsyatnya Sabar, Syukur dan Ikhlas Muhammad SAW, (Bandung, Penerbit Ruang Kata, 2010)
*) Mahasiswa Prodi Ilmu Alqur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.
Editor: Adis Setiawan