Oleh: Muhammad Rizqi Mubarrok*
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT.
Dengan cara tawqifi, yang pengerjaannya tidak dibuat-buat atau asal jadi, atau memberikan tambahan dan pengurangan sesuai kehendak manusia. Al-Qur’an dari zaman Nabi sampai zaman sekarang tetap sama, tidak ada perubahan sedikit pun di dalamnya.
Dr. Subhi al-Salih mendefinisikan Al-Qur’an dalam bukunya Mabahahits Fi Ulum Al-Qur’an mengemukakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah bentuk masdar dari kata qira’ah yang berarti membaca.
Diperkuat oleh pendapat lain yang mengatakan kata Al-Qur’an berasal dari kata qara’ah yang berarti bacaan atau himpunan, karena ia merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari khususnya bagi umat Islam di dunia.
Al-Qur’an pada masa Nabi belum terbukukan dan belum ditulis yang terkumpul dalam sebuah mushaf masih terpisah-pisah dan masih berserakan tidak seperti zaman sekarang ini. Penulisan ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi masih dituliskan di sebuah kayu, pelepah kurma, batu, dan lain sebagainya.
Penulisan pada masa itu masih belum dikenali, karena pada saat itu sahabat lebih mengutamakan hafalan daripada tulisan. Dan belajar Al-Qur’an pada masa itu langsung dibimbing oleh Nabi Muhammad SAW.
Setelah Nabi wafat, tulisan Al-Qur’an pada masa itu masih berserakan. Kemudian kepemimpinan diambil alih oleh Khulafa ar-Rasyidin, pada masa Abu Bakar banyak orang murtad yang tidak mengakui ia sebagai khalifah, sehingga menyebabkan peperangan Yamamah pada tahun 12 Hijriyah.
Yang menyebabkan orang-orang penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan ini, sehingga menyebabkan Umar khawatir dan menyampaikan usulan kepada Abu Bakar agar ayat-ayat Al-Qur’an dijadikan satu mushaf.
Abu Bakar pada saat itu menunjuk Zaid bin Tsabit dan dibantu oleh beberapa sahabat untuk mengumpulkan tulisan Al-Qur’an yang masih berserakan. Kemudian setelah ia wafat, pembukuan Al-Qur’an dilanjutkan oleh Umar bin Khattab, dan pada tahun 25 Hijriyah atau 646 Masehi proses pembukuan diselesaikan oleh khalifah Utsman bin Affan.
Tujuan dari pembukuan mushaf ini adalah untuk menyatukan umat Islam agar berpegang teguh pada satu mushaf yang dinisbatkan dengan nama Mushaf Utsmani.
Penulisan mushaf utsmani dengan penulisan mushaf yang lain berbeda. Karena pada saat itu penulisan masih belum ada tanda baca, sehingga membuat orang non-Arab merasa kesulitan dalam membaca Al-Qur’an.
Orang yang pertama kali mendapatkan ide untuk memberikan tanda baca dalam Al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk wilayah Bashrah.
Awal mula pemberian tanda baca dalam Al-Qur’an dilakukan, ketika Mu’awiyah saat itu melihat anak muda banyak melakukan kesalahan dalam membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu, Mu’awiyah memberikan teguran kepada Ziyad bin Abihi.
Tanpa buang waktu, Ziyad memberikan surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly untuk memberikan tanda harakat dalam Al-Qur’an, agar tidak ada kesalahan lagi dalam membaca Al-Qur’an. Tetapi Abu al-Aswad ini menolak perintah dari Ziyad, dikarenakan merasa keberatan dengan tugas yang telah diberikan kepadanya.
Di sisi lain, Ziyad membuat perangkap kecil untuk mendorong Abu al-Aswad untuk memenuhi perintahnya. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu dijalan yang biasa dilalui oleh Abu al-Aswad, lalu berpesan:
“Jika Abu al-Aswad lewat jalan ini, bacalah salah satu ayat Al-Qur’an tapi lakukan lahn terhadapnya! Ketika Abu al-Aswad lewat orang ini membaca ayat yang awalnya “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”, seketika Abu al-Aswad terpukul atas bacaan orang tersebut.
Akhirnya, Abu al-Aswad memenuhi permintaan dari Ziyad untuk memberikan tanda harakat dalam Al-Qur’an. Kemudian Abu al-Aswad menunjuk seorang pria dari suku Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh ia adalah harakat (nuqath al-I’rab).
Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca Al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut.
Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik di bawahnya, dhammah ditandai dengan titik di depannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik.
Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca Al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali selesai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan kembali ke halaman selanjutnya.
Setelah itu, murid-murid dari Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus, ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya atau biasa dinamakan tanda sukun dan tasydid yang diletakkan di bagian atas huruf.
Jadi, dapat disimpulkan pada saat itu, dari banyaknya perbedaan dalam pemberian tanda harakat dalam Al-Qur’an sama sekali tidak merubah isi bacaan Al-Qur’an itu sendiri. Ia masih tetap sama dan tidak ada seorang pun yang dapat merubah tanda harakat di dalamnya, karena Allah sendiri yang menjaga al-Qur’an tersebut.
Daftar Pustaka:
- Nasruddin, Sejarah Penulisan al-Qur’an, Kajian Antropologi Budaya: Jurnal Rihlah 2015.
- Wahid, Abdul. Kajian Sejarah dan Perkembangan dalam Menjaga Keotentikan Al-Qur’an: Cendekia, Jurnal Studi Keislaman, 2022.
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Editor: Adis Setiawan