Dalam kitab sejarah Dinasti Tang
kita menjumpai untuk pertama kalinya pemberitaan tentang datangnya utusan
daerah Mo-lo-Yeue di Cina pada tahun 644 dan 645 Masehi. Nama Mo-lo-yeu
ini mungkin dapat dihubungkan dengan Kerajaan Melayu yang letaknya di Pantai
Timur Sumatra dengan pusatnya di sekitar Jambi.
Sekitar tahun 672 Masehi,
I-tsing yang merupakan pendeta Budha dari Cina dalam perjalannya dari Katon
menuju India, singgah di She-li-fo-se (S. Beal menyebut tempat ini di
Sungai Musi), selanjutnya mereka berlayar ke Mo-lo-yeu dengan
menggunakan kapal raja.
Mengenai letak Malayu ini ada
perbedaan di kalangan para ahli. Ada yang menduga letaknya di Jambi sekarang.
Namun ada juga yang menyebut Malayu letaknya di Semenanjung Tanah Malayu. Dan
pendapat yang lebih kuat adalah Melayu terletak di Pantai Timur Sumatra.
Setelah penahlukan Malayu oleh Kerajaan Sriwijaya sekitar tahun 685 Masehi,
sejak itu dalam jangka waktu yang lama nama Malayu tidak pernah disebut sumber-sumber sejarah.
Baru pada abad XIII nama Malayu
dijumpai dalam kitab Pararaton, dan kitab Nagarakrtagama, Pupuh. Di dalam kedua
sumber itu disebutkan bahwa tahun 1275 Masehi, Raja Kertanegara mengirim
tentaranya ke Malayu. Letak Malayu yang sangat strategis di Pantai Timur
Sumatra dekat Selat Melaka memegang peranan penting dalam dunia pelayaran dan
perdagangan melalui Selat Melaka yaitu antara India, Cina dan Indonesia bagian
Timur.
Sementara itu, pengaruh kerajaan
Mongol sudah tidak terbendung lagi. Tahun 1281, pasukan Mongol sudah menyerbu
Campa. Tahun 1287, Pagan jatuh ke tangan tentara Mongol. Kemudian tahun 1280,
1281, 1286 Masehi dan yang terakhir tahun 1289 Masehi, Kubhilai Khan mengirim
utusan ke Singhasari minta agar Raja Kertanegara mau mengakui kekuasannya. Akan
tetapi semua perutusan tadi diusir kembali setelah mukanya dirusak.
Melihat kenyataan ini, rupa-rupanya
ekspedisi Pamalayu mempunyai hubungan erat dengan ekspedisi Kerajaan Mongol
yang sedang giat dilancarkan Khubilai Khan untuk menguasai daerah Asia Tenggara
dan juga dalam rangka politik perluasan kekuasaan kerajaan Singhasari.
Ekspedisi ini berhasil menjalin hubungan persahabatan antara Singhasari dan
Malayu.
Untuk mempererat persahabatan ini Raja Sri Kertanegara Wikramadharmottunggadewa
mengirimkan sebuah Arca Budha Amonghapasalokeswara beserta 14 pengiringnya ke
Malayu (Suvarnabhumi) sebagai hadiah. Penempatan Arca ini di Dhamasraya
dipimpin oleh 4 orang pejabat tinggi dari Jawa. Pemberian hadiah ini membuat
seluruh rakyat Malayu sangat bergirang hati terutama rajanya yang bernama
Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmedewa.
Keterangan mengenai hadiah dari raja
Kertanegara ini tertulis pada bagian Lapik (alas) Arca Amoghpasera itu sendiri.
Arca ini ditemukan kembali di daerah Sungai Langsat dekat Sijunjung, di daerah
hulu Sungai Batanghari. Setelah peristiwa ini, tidak diperoleh keterangan
lainnya mengenai keadaan di Sumatra, baru kemudian pada masa pemerintahan
Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani(1328-1350) kita memperoleh sedikit
keterangan tentang daerah Malayu. Rupa-rupanya kerajaan Malayu ini muncul
kembali sebagai pusat kekuasaan Sumatra sedangkan Sriwijaya setelah adanya
ekspedisi Pamalayu dari raja Kertenegara, tidak terdengar lagi beritanya.
Dari prasasti-prasasti yang banyak
ditemukan di daerah Minangkabau, dapat diketahui bahwa pada pertengahan abad
XIV ada seorang raja yang memerintah di Kanakamedini (Pulau Emas) yang bernama
Adityawarman, anak dari Adwayawarman. Nama ini dikenal juga di dalam prasasti
yang dipahatkan pada Arca Manjursi di Candi Jago dan berangka tahun 1341. Di
dalam prasasti ini disebutkan ia bersama-sama dengan Gajah Mada telah
menahlukan Pulau Bali.
Sumber : Sejarah Nasional Indonesia
II karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Diterbitkan
Balai Pustaka