Kita tahu, pada masa Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, serta masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in (abad ketiga Hijriyah), para ulama fiqih sekaligus menjadi ulama tasawuf (ahli ibadah); kedua bidang ini menyatu. Sementara banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi pejabat negara, para ulama justru berlomba-lomba untuk menolaknya.
Contohnya adalah Imam Abu Hanifah yang diminta menjadi qadhi (hakim) oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, tetapi beliau menolak hingga akhirnya dihukum. Begitu pula Imam Malik, guru Imam Syafi’i. Penguasa saat itu ingin menjadikan kitabnya, Al-Muwattha’, sebagai undang-undang negara, tetapi beliau menolaknya. Benar, para ulama menolaknya. Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki keinginan untuk tunduk di bawah ketiak penguasa atau negara.
Namun, keadaan berubah seiring waktu. Pada abad kelima Hijriyah, ketika Al-Ghazali hidup, perpecahan antara ulama dunia dan ulama akhirat akhirnya terjadi. Sebagian ulama mulai menerima tawaran—bahkan berambisi—untuk menjadi pejabat negara. Para ulama secara bertahap meninggalkan prinsip-prinsip etika independensi mereka.
Al-Ghazali berpendapat bahwa inilah yang menjadi “lonceng” kematian ilmu agama, sebab para ulamanya telah menyerah. Setelah tunduk pada keinginan penguasa, ilmu agama berubah menjadi instrumentalisasi atau alat untuk mendapatkan keuntungan material. Al-Ghazali menyebut mereka sebagai ulama su’ (ulama jahat) yang melakukan pengkhianatan intelektual. Bahkan, Al-Ghazali menyebut mereka sebagai ulama al-mutarassimun (ulama yang hanya mementingkan formalitas).
Dengan kata lain, menurut Gus Ulil, para ulama tersebut hanya menyembah huruf dan aksara, tetapi tidak memahami substansi di baliknya. Akibatnya, Al-Ghazali menyebut ilmu fiqih kala itu sebagai ilmu dunia, bukan ilmu akhirat, meskipun dasarnya adalah wahyu. Beliau menyebutnya ilmu dunia karena tujuan utamanya telah bergeser sekadar untuk menjaga ketertiban duniawi.
Hal itulah yang mendorong Al-Ghazali untuk menulis ulang ilmu fiqih dengan pendekatan berbeda. Selama tinggal di Baghdad, Al-Ghazali menulis tiga kitab fiqih mazhab Syafi’i: Al-Basith (yang luas), kemudian diringkas menjadi Al-Wasith (pertengahan), dan akhirnya diringkas lagi menjadi Al-Wajiz (ringkas)—yang kelak banyak dipelajari para ulama.
Di fase selanjutnya (setelah uzlah), Al-Ghazali menulis ulang pembahasan tersebut dalam Ihya’ Ulumuddin. Meskipun sebagian isinya memuat pembahasan fiqih, namun semangat yang dibawa adalah semangat tasawuf (fiqih sufistik) untuk memperbaiki kitab-kitab fiqih yang sebelumnya telah disalahgunakan.
Untuk apa Al-Ghazali mengecam Ilmu Kalam?
Gus Ulil menegaskan bahwa mutakallimun (ahli ilmu kalam/teolog) adalah kelompok kedua yang dikritik Al-Ghazali. Kritik ini banyak dikutip dalam kitab-kitabnya seperti Minhajul Abidin, Ihya’ Ulumuddin, dan Al-Munqidz Min Adh-Dhalal. Apa maksud kritik tersebut?
Pada dasarnya, Al-Ghazali berpendapat bahwa cara beragama terbaik adalah keberagamaan ala orang-orang awam, selama situasi normal dan tidak ada kekacauan politik, akidah, atau keragu-raguan. “Mayoritas penduduk surga adalah orang-orang yang polos (awam/ al-bulh),” demikian makna sebuah hadis yang dikutip.
Secara tersirat, Al-Ghazali menyatakan bahwa orang tidak perlu belajar ilmu kalam (teologi dialektis) jika keadaan akidahnya baik-baik saja, karena ilmu kalam hanya diperlukan dalam kondisi tidak normal (darurat). Analogi sederhananya: orang tidak perlu belajar strategi perang jika situasi damai dan tidak ada musuh menyerang.
“Jika ada musuh datang dan menebar keraguan (syubhat), maka wajib ada orang yang maju ke depan menjadi tentara untuk membela akidah orang-orang awam,” prinsip Al-Ghazali. Inilah alasan beliau menulis kitab Iljam Al-Awam ‘an ‘Ilm Al-Kalam (Mengekang Orang Awam dari Ilmu Kalam). Kenapa perlu dicegah? Karena jika orang awam mendalami perdebatan ilmu kalam yang rumit, mereka justru akan semakin bingung dan tersesat.
Jadi, sarjana ilmu kalam ibarat tentara yang dibutuhkan untuk membela akidah hanya jika ada ancaman. Oleh karena itu, Al-Ghazali mengingatkan agar ahli ilmu kalam tidak perlu merasa “sok” (sombong), karena ilmu mereka hanya instrumen pertahanan dalam situasi krisis.
Mengapa Al-Ghazali mengkritik kelompok Islam lain?
Menurut Gus Ulil, ternyata Syiah Ismailiyah adalah sasaran kritik utama Al-Ghazali. Mengapa Syiah Ismailiyah?
Pertama, alasan politik. Al-Ghazali mendukung stabilitas negara Sunni. Saat itu, Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad (Sunni) sedang diancam oleh Daulah Fatimiyah yang berpusat di Kairo (Syiah Ismailiyah). Untuk merespons ancaman ini, Al-Ghazali menulis kitab Fadha’ih al-Batiniyah atau dikenal juga sebagai Al-Mustazhiriyah (didedikasikan untuk Khalifah Al-Mustazhir).
Kedua, alasan teologis. Keyakinan Syiah Ismailiyah berbeda secara mendasar dari Sunni dalam hal sumber pengetahuan. Para pengikut Ismailiyah percaya pada doktrin Ta’lim, di mana Imam adalah sumber kebenaran mutlak.
Bagi mereka, kebenaran nabi hanya dapat diakses melalui Imam Ahlul Bait. Jika seseorang mencari kebenaran lewat akal (nalar) tanpa bimbingan Imam, mereka menganggapnya sebagai kesalahan. Sebaliknya, ulama Sunni seperti Al-Ghazali berpendapat bahwa setelah era Nabi, kebenaran dapat digali melalui dalil dan akal sehat, dan para ulama—sebagai pewaris nabi—adalah pemegang otoritas keilmuan tersebut.
Wallahu a’lam bisshawab.

